Sejak Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (AS) menganulir hak aborsi secara federal di negara tersebut, perdebatan pro kontra praktik aborsi mencuat di berbagai belahan negara.
Di Indonesia, tindakan aborsi masih banyak mengundang kontroversi. Narasi yang paling kuat adalah mengategorikan aborsi sebagai pembunuhan dan, oleh karena itu, dilarang atas nama agama. Perwakilan tokoh dari enam agama yang diakui secara hukum di Indonesia – Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu – yang tergabung dalam Majelis Keagamaan pernah membuat pernyataan sikap bersama yang dengan tegas menolak praktik aborsi karena bertentangan dengan ajaran agama masing-masing.
Faktanya, para ahli hukum keagamaan Islam dan Kristen – dua agama yang paling banyak dianut di Indonesia – mengatakan sumber-sumber tulisan keagamaan, seperti Alquran, Hadis, dan Alkitab, tidak pernah mengatur bahkan tidak menyatakan apapun tentang aborsi.
Baca juga: Penipuan Sampai Risiko Nyawa: Konsekuensi Besar Aborsi Tidak Aman
Apa Kata Alquran Tentang Aborsi?
Zahra Ayubi, Associate Professor bidang keagamaan yang juga pakar etika Islam dari Dartmouth College, AS, menegaskan yang disebutkan dalam ayat-ayat Alquran dan hadis (perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad) bukanlah membahas tentang aborsi itu sendiri, bukan juga tentang apakah aborsi sama dengan membunuh, namun tentang bagaimana melihat proses yang terjadi di dalam rahim sebagai bagian dari rahmat dan kasih sayang Tuhan.
Jadi, bicara tentang aborsi, jawabannya tergantung dari keyakinan dan kepercayaan individual tentang belas kasihan Tuhan dan keadaan mereka ketika memutuskan untuk melakukan aborsi.
Terkait perdebatan usia kehamilan yang diperbolehkan untuk dilakukannya aborsi, Zahra mengatakan bahwa para ahli hukum Islam dan bioetika Muslim merujuk pada ayat-ayat tertentu dalam Alquran dan hadis yang mendeskripsikan tahap kehamilan manusia.
Ayat yang paling sering dikutip adalah surat Al-Mumimun ayat 12-14 (23:12-14) yang menyebutkan:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Kami Tempatkan dia sebagai setetes mani di tempat peristirahatan yang kokoh, kemudian Kami ciptakan setetes mani itu menjadi zat yang menempel, kemudian Kami ciptakan zat yang menempel itu menjadi gumpalan embrio, kemudian Kami ciptakan dari tulang-tulang gumpalan embrio, kemudian Kami pakaiankan tulang-tulang itu dengan daging, kemudian Kami ciptakan sebagai makhluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, sebaik-baik pencipta.”
Ada juga hadis Bukhari: 430 menyebutkan tentang bagaimana Nabi Muhammad menggambarkan apa yang terjadi di dalam rahim:
“Manusia dipertemukan dalam rahim ibu selama empat puluh hari dalam bentuk setetes cairan, dan kemudian menjadi segumpal darah kental untuk jangka waktu yang sama, dan kemudian sepotong daging untuk periode yang sama… Kemudian jiwa ditiupkan ke dalam dirinya…”
Berdasarkan rujukan-rujukan tertulis, Islam membagi garis waktu kehamilan menjadi 3 tahap, yang berlangsung selama 120 hari (40 hari x 3 tahap). Inilah saat ketika janin diberikan ruh atau ketika Tuhan meniupkan kehidupan ke dalam janin tersebut.
Tahap ini diyakini sebagai titik di mana janin menjadi satu entitas hidup sepenuhnya dan sudah memiliki hak-hak kehidupan. Janin tersebut sudah memiliki hak waris; ia dapat mewariskan kepada saudara-saudaranya atau kerabatnya yang lain jika ia meninggal.
Pada masa itu, menurut Zahra, deskripsi tentang tahap kehamilan ini lebih bertujuan untuk menentukan hukum waris yang berlaku jika terjadi kematian janin, bukan untuk menjawab pertanyaan seputar aborsi.
Baca juga: Dari AS hingga Rusia, Jalan Mundur Akses Aborsi Aman
Alkitab Tak Pernah Sebut Tentang Aborsi
Melanie A. Howard, Associate Professor bidang studi Biblika dan Teologi dari Fresno Pacific University, AS, mengatakan bahwa banyak argumen berbasis keimanan yang digunakan umat Kristen untuk mendukung pandangan mereka tentang aborsi. Padahal teks berusia 2.000 tahun itu tidak pernah menyebutkan apa pun tentang aborsi.
Aborsi, menurut Melanie, sudah dikenal dan dipraktikkan sejak zaman penulisan Alkitab, meskipun metodenya sangat berbeda dari metode yang digunakan di zaman modern kini.
Contohnya adalah Soranus, seorang dokter Yunani, yang pernah merekomendasikan cara untuk mengakhiri kehamilan seperti dengan puasa, bloodletting (melukai pasien dan membiarkan darah pasien keluar sedikit demi sedikit), melompat-lompat, dan membawa beban berat.
Melanie mengungkapkan bahwa padanan kata “aborsi” dalam Bahasa Ibrani dan Yunani tidak muncul baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Artinya, topik tersebut tidak disebutkan secara langsung.
Meski demikian, tetap saja kelompok pendukung maupun penentang hak aborsi berusaha berlindung pada Alkitab untuk mendukung argumentasi dan membenarkan posisi mereka.
Kubu penentang hak aborsi merujuk ke beberapa teks yang menunjukkan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai sebelum kelahiran. Misalnya, Alkitab dibuka dengan menggambarkan penciptaan manusia “menurut gambar Tuhan”: cara untuk menjelaskan nilai kehidupan manusia, bahkan mungkin sebelum manusia dilahirkan.
Dalam Alkitab juga disebut beberapa tokoh penting, termasuk para nabi, Yeremia, Yesaya dan Rasul Paulus, yang sudah ditakdirkan mengemban tugas-tugas suci sejak mereka masih di dalam rahim. Sementara itu, Mazmur 139 menegaskan bahwa Tuhan “merajutku di dalam rahim ibuku.”
Di sisi lain, kubu pendukung hak aborsi juga bisa menggunakan teks Alkitab yang dapat mendukung argumentasi mereka.
Keluaran 21, misalnya, yang menyebutkan:
“Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan hakim. Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa.”
Teks tersebut kerap ditafsirkan bahwa nyawa ibu lebih diprioritaskan daripada kehidupan janin.
Baca juga: 4 Alasan Kenapa Aborsi Aman dan Legal Diperlukan
Agama Hindu dan Buddha juga Tak Melarang
Menurut Samira Mehta, Assistant Professor bidang studi Gender, Perempuan dan Yahudi dari University of Colorado Boulder, AS, sebagian besar umat Hindu meyakini adanya reinkarnasi, yang berarti bahwa fisik manusia hadir melalui kelahiran dan pergi melalui kematian. Akan tetapi, kehidupan sendiri tidak memiliki awal atau akhir. Setiap momen dalam tubuh manusia dilihat sebagai bagian dari siklus kehidupan yang tak berkesudahan.
Para ahli bioetika melihat bahwa Hinduisme pada dasarnya pro-kehidupan, sehingga memperbolehkan aborsi hanya jika untuk menyelamatkan nyawa ibu. Namun, jika melihat praktiknya, alih-alih merujuk pada teks-teks kuno yang dianggap suci, umat Hindu cenderung lebih mengikuti apa yang dilakukan para pendahulunya. Di India, yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk Hindu, aborsi adalah hal biasa terutama pada janin perempuan.
Di AS, para komunitas Hindu imigran, komunitas Hindu Asia Amerika, dan penduduk asli yang telah memeluk agama Hindu memberikan keragaman pandangan dan pendekatan terhadap aborsi. Secara keseluruhan, 68 persen dari mereka meyakini aborsi harus legal, terlepas apa pun alasannya.
Sementara itu, umat Buddha juga memiliki pandangan yang bervariasi tentang aborsi. Religius Coalition for Reproductive Choice – organisasi pejuang hak aborsi asal AS – menyatakan bahwa:
“Buddhisme, seperti agama-agama lain di dunia, menghadapi kenyataan bahwa aborsi terkadang menjadi keputusan terbaik dan pilihan yang justru benar-benar bermoral. Hal ini tidak berarti tidak ada masalah sama sekali terkait praktik aborsi, tetapi ini artinya umat Buddha dapat memahami bahwa keputusan reproduksi adalah bagian dari kompleksitas moral kehidupan.”
Pendekatan Buddha terhadap aborsi menekankan aborsi adalah keputusan moral yang kompleks yang harus dibuat dengan tujuan belas kasih.
Baca juga: Aborsi Paksa, Bagaimana Hukum Indonesia Mengaturnya?
Misinterpretasi demi Kepentingan Pribadi
Zahra mengatakan banyak individu yang menganggap Islam sebagai agama penindas gender dan represif terhadap hak-hak perempuan dibandingkan dengan agama lain.
Di AS, banyak yang menyebut putusan MA yang menganulir Roe v. Wade sebagai “Syariat Kristen”. Ini karena mereka menganggap putusan tersebut merefleksikan pandangan Islam sembari juga sepenuhnya mengakui bahwa MA AS cenderung didominasi oleh pandangan Kristen.
Padahal, nyatanya, negara-negara yang banyak diyakini sebagai negara Islam konservatif, seperti Arab Saudi dan Iran, menerapkan undang-undang tentang aborsi yang jauh lebih liberal daripada di negara-negara bagian di AS yang melarang aborsi.
Zahra menekankan bahwa terlepas dari berbagai perbedaan pandangan Islam tentang aborsi, tetap ada satu kesamaan yang diyakini, yakni konsep Islam tentang rahmat dan kasih sayang Tuhan.
Sementara itu, Melanie mengatakan tentu saja umat Kristen dapat mengembangkan argumen berbasis iman mereka sendiri terkait masalah politik modern saat ini. Namun, ia mengingatkan bahwa meskipun Alkitab ditulis pada masa ketika praktik aborsi kerap dilakukan, buku suci tersebut tidak pernah secara langsung membahas masalah ini.
Menurutnya, jika ada yang mengklaim Alkitab secara khusus menentang atau pun mendukung aborsi, artinya mereka memelintir teks tersebut demi melindungi kepentingan mereka pribadi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments