Women Lead Pendidikan Seks
January 18, 2022

‘Arcane’: Perkawinan Teknologi, Perang, dan Kesenjangan

Serial adaptasi gim ‘League of Legends’ ini menggambarkan kengerian dari dunia yang tidak setara. Kemasannya yang ciamik membuat serial Netflix ini dengan mudahnya menggusur ‘Squid Game’.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Screen Raves
‘Arcane’: Perkawinan Teknologi, Perang, dan Kesenjangan
Share:

Di antara asap dan bara api peperangan, nyanyian Powder, anak perempuan berambut biru merayap. Prajurit dari Piltover dengan baju besi dan laras panjangnya tanpa belas kasih menembakkan peluru ke arah penduduk Zaun. Mereka tergeletak mati dalam keadaan mata terbelalak lebar.

Powder tetap berjalan dengan langkah kecilnya. Ditemani kakak perempuannya yang berambut merah jambu, Vi mendadak berhenti. Mereka mengedarkan pandangan mencari di mana gerangan orang tua mereka, berharap dalam hati keduanya baik-baik saja. Namun, tentu saja itu sekadar harapan.

Saat gencatan senjata disepakati, mereka melihat dua sosok manusia tergeletak di jalan. Bapak dan ibu. Keduanya mati dengan mimik serupa seperti warga sipil lainnya: Mata terbelalak lebar.

Vi menangis. Ia bingung harus bagaimana.

Sumber: IMDB

Baca Juga:   8 Serial Netflix yang Kupas Tabu dalam Masyarakat

Tragisnya kisah Vi dan Powder sebagai anak yatim piatu korban peperangan ini cuma salah satu yang digambarkan dalam serial Arcane (2021). Serial adaptasi gim League of Legends besutan Christian Linke dan Alex Yee ini secara resmi dirilis di Netflix pada (6/11) mengantongi animo positif dari para penikmat animasi. Dengan visual yang indah, serial ini secara apik menawarkan banyak elemen kejut yang mampu membuat penonton susah move on.

Kengerian Dunia yang Tidak Setara

Arcane bisa dibilang adalah cerminan nyata dari masyarakat abad ke-21. Serial ini memuaskan rasa rindu para penikmat animasi dewasa yang menginginkan kisah kompleks nan reflektif, yang mampu menggambarkan masyarakat hari-hari ini. Sebagai penciptanya, Linke dan Yee secara sempurna menangkap kengerian, tentu saja dengan mengetengahkan isu kesenjangan sosial yang penting.

Dalam hal ini, Linke dan Yee secara gamblang menggambar kehidupan Piltover dan Zaun dengan kontras. Piltover sebagai upper city digambarkan sebagai dunia utopis nan modern dengan penduduknya yang hidup serba makmur seakan tidak ada hari buruk yang dapat menimpa setiap penduduknya.

Sumber: IMDB

Segala kemajuan yang dimiliki Piltover tidak lepas dari peran Hextech, teknologi misterius yang dapat memanipulasi penciptaan sihir. Tidak heran, Piltover akhirnya juga menyandang gelar sebagai dunia kiblat ilmu pengetahuan. Dunia yang menjadi impian bagi bangsawan dan akademisi.

Baca Juga:  'Black Mirror's Nosedive': Media Sosial dan Tuntutan Hidup Masa Kini

Namun, gemerlapnya Piltover yang menyilaukan sirna begitu saja ketika Linke dan Yee membawa penontonnya ke dalam undercity, Zaun. Sebagai pihak yang kalah dalam perang, Zaun adalah kota yang harus rela tunduk pada kuasa Piltover. Sayangnya, walau dalam kuasa Piltover, Zaun tidak sedikit pun mendapat keuntungan dari kemajuan yang dimiliki upper city tersebut.

Piltover lepas tangan sepenuhnya atas nasib Zaun. Zaun yang telah kalah dalam perang dibiarkan terpuruk dalam nestapanya sendiri. Ia menjadi kota distopia. Kumuh, diselimuti kegelapan, dan dihuni oleh pengemis, gelandangan, penjahat, serta organisasi kriminal yang bergerak hanya untuk membuat para penduduknya makin sengsara.

Kesenjangan sosial ini pun semakin ketara ketika diskriminasi kelas bekerja dalam kemiskinan struktural yang harus dialami oleh Vi dan Powder, dua saudara yang hubungannya disinggung sepanjang serial ini dan menjadi bahan bakar berjalannya cerita.

Kesengsaraan dan keretakan hubungan mereka menjadi titik balik kuat dalam membangun kengerian atas dunia yang tidak setara. Mulai dari bagaimana mereka berdua sejak kecil harus mencuri dan menemukan cara apa pun semata-mata hanya untuk bertahan hidup dalam situasi tak menentu, hingga harus terpisah karena penangkapan Vi yang justru membuat relasi keduanya memburuk.

Hubungan antara kakak dan adik ini digambarkan secara tragis ketika mereka terpisah ke dalam alam kebaikan dan kejahatan masing-masing. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik Arcane, di mana karakternya berada dalam batas moralitas abu-abu dengan perasaan tertindas terkhianati, dan kehilangan yang berperan layaknya bom waktu yang mematikan.  

Teknologi Jadi Kunci Konflik Dunia Distopia Arcane

Layaknya serial bergenre fiksi distopia pada umumnya, Arcane mengeksplorasi struktur sosial dan politik yang secara implisit menggarisbawahi konflik yang ditengarai oleh teknologi. Dengan visual yang mempesona, melalui Arcane, Linke dan Yee secara sukses membangun atmosfir mencekam nan tragis yang membuat penonton bertanya-tanya tentang realitas kehidupannya di abad ke-21.

Baca Juga:   5 Cara ‘The Chair’ Angkat Isu Perempuan

Banyak sekali irisan yang begitu reflektif dan membumi, sampai-sampai penonton bisa dibuat merinding tentang betapa realitas yang digambarkan keduanya mengandung pararel yang luar biasa mirip. Inilah mengapa Arcane menjadi sangat menarik untuk diikuti. Di tengah gemerlapnya Piltover, Linke dan Yee berusaha menggarisbawahi teknologi memiliki dua sisi mata pisau yang saling bersebrangan.

Di satu sisi, teknologi dalam penggambaran Hextec telah membangun fondasi kuat peradaban manusia yang lebih maju. Hextec terus menerus dikembangkan atas dasar ilmu pengetahuan dan diciptakan untuk mendorong kesetaraan di masyarakat. Namun, di sisi yang lain teknologi tidak lain hanya berperan sebagai perpanjangan tangan politik kepentingan kelompok elit.

Hextec yang didasari ilmu pengetahuan dikorupsi oleh tangan-tangan para elit untuk mendulang profit. Dengan kerakusan manusia, ia menjadi benda yang diperdagangkan untuk meningkatkan devisa Piltover yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan kelompok mereka. Misi untuk menciptakan masyarakat setara melalui Hextec pun perlahan sirna, karena ia tidak lagi digunakan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk Zaun. Penduduk yang secara de facto berada dalam kuasa Piltover itu sendiri.

Kemudian Hextec semakin kehilangan maknanya ketika salah satu konselor dari Piltover yang merupakan ilmuwan dengan moralitas putihnya didepak begitu saja dari meja kuasa. Teknologi yang tadinya digunakan untuk misi kemanusiaan pun berubah menjadi alat untuk menghancurkan kehidupan orang lain yang dianggap sebagai pemberontak, mereka yang mendambakan kebebasan dalam cengkram Piltover. Teknologi pada prosesnya bukan menjadi penyelamat tetapi senjata pembunuh mematikan yang hanya memandang kelas.

Hextec pada akhirnya adalah pemicu kesenjangan sosial ekstrem. Ia adalah biang kerok dari segala pemberontakan atas dasar kebebasan, karena ia telah menjadi alat perpanjangan tangan diskriminasi kelas yang diprakarsai rasa untuk membungkam mereka yang berusaha keluar dari bayang-bayang kemiskinan dan kekerasan struktural menahun.

Pendek kata, Arcane tidak hanya menawarkan hiburan melalui visualnya dan aksi cadas para karakternya, tapi juga menggambarkan refleksi nyata masyarakat. Oleh karena itu, Arcane bukan hanya animasi belaka, tapi medium alat kritik sosial. Ia mampu memberikan pemahaman mendalam tentang kesenjangan sosial yang bersifat struktural pun tentang sisi lain teknologi yang hanya memperburuk jurang ini.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.