Covid-19 memicu lonjakan pengguna sepeda hampir di seluruh dunia (bike boom). Sepeda dipilih, terutama sejak negara-negara membuat skema pembatasan sosial. Sebagai kendaraan alternatif katanya.
Data itu bukan pepesan kosong. Pada Juli 2020, Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) mencatat kenaikan sebanyak 1.000 persen pada jumlah pesepeda di Jakarta. Data Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta pada 2005 juga menyebutkan, jumlah pesepeda per hari hanya mencapai sekitar 47 orang, dan pada 2020 angkanya menjadi 3.000 pesepeda per hari.
Dua tahun berlalu, fenomena bike boom ini pun tak kunjung surut. Hal yang juga disusul dengan perencanaan pembangunan infrastruktur bagi pesepeda. Pada masa jabatannya di 2020, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, mencanangkan lajur sepeda sepanjang 500 km. Lajur ini terdiri dari lajur sepeda terproteksi, lajur berbagi (shared street), serta di trotoar atau complete street.
Pada Agustus 2020, pemerintah DKI Jakarta akhirnya berhasil merealisasikan lajur sepeda sepanjang 114,5 km. Lajur inilah yang membuat jumlah pesepeda di Jakarta tetap stabil, yaitu 4.000 pesepeda per hari, dikutip dari data Dishub yang sama.
Tidak hanya di Jakarta, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dilansir dari Republika mengungkapkan, telah menyediakan tujuh titik jalur khusus sepeda sepanjang 15 kilometer di Kota Bandung pada 2020. Jalur ini kemudian bertambah sebanyak 3 km di 2021.
Namun, peningkatan jumlah pesepeda juga timbulkan masalah baru. Di luar dari kesalahan pesepeda yang tak mematuhi rambu lalu lintas seperti kasus kecelakaan pesepeda di Jalan Harmoni, Jakarta beberapa waktu lalu, pesepeda masih jadi pengguna jalan paling rentan selain pejalan kaki. Kecelakaan selalu mengintai para pesepeda di Indonesia.
Hal ini terefleksikan dalam data kecelakaan yang dikeluarkan Bike to Work yang mencatat ada 63 kasus kecelakaan pesepeda di Indonesia selama 2021. Kasus kecelakaan ini sebagian besar terjadi di Pulau Jawa sejumlah 93,3 persen atau sekitar 59 kasus di jalan raya. Dari 63 kasus tersebut, 36 di antaranya memakan korban jiwa.
Angka-angka ini sayangnya tak memberikan gambaran besar kasus kecelakaan pesepeda di Indonesia. Masih banyak kecelakaan pesepeda yang tak terdokumentasi dan diangkat oleh media. Hal ini tentu jadi pertanyaan besar. Kenapa kasus kecelakaan pesepeda kerap terjadi? Apakah keselamatan pesepeda belum jadi prioritas dan infrastrukturnya belum mumpuni?
Baca Juga: Ayo Gowes: Sepeda sebagai Instrumen Feminisme
Pesepeda Masih Dianaktirikan di Jalanan
Indonesia sebenarnya telah lama memiliki dasar hukum yang mengakomodasi hak atas rasa aman dan keselamatan para pesepeda. Dasar hukum ini tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan.
Di UU Nomor 22 Tahun 2009, keselamatan pesepeda jadi prioritas utama, sama halnya dengan pejalan kaki (Pasal 106 ayat (2)). Karena itu, tak hanya pesepeda berhak mendapat fasilitas pendukung keamanan dan keselamatan (misalnya lajur khusus sepeda). Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pesepeda dapat dipidana.
UU Nomor 22 Tahun 2009 ini kemudian disempurnakan Permenhub Nomor 59. Dalam hal ini, Permenhub secara lebih rinci mengakomodasi peraturan bersepeda dan hak pesepeda di jalan. Di dalamnya tercantum hal-hal dasar yang wajib dan dilarang dilakukan pesepeda selama berkendara hingga rincian fasilitas pendukung bagi pesepeda seperti pembagian lajur sepeda dan parkir umum.
Sayangnya, walaupun peraturan-peraturan sudah dikeluarkan, keselamatan dan keamanan pesepeda di jalan tetap tidak terjamin. Hal yang dikonfirmasi langsung oleh tiga perempuan pesepeda yang Magdalene wawancarai.
Dimulai dari Efi, 30. Perempuan seniman ini sejak 2018 telah menggunakan sepeda untuk moda transportasi jarak dekat. Dari pergi ke kantor hingga jalan-jalan sekitar Jakarta, Efi lebih memilih mengayuh sepedanya.
Selama empat tahun membelah jalanan dengan sepedanya, Efi mengungkapkan keselamatan dan keamanan selalu jadi kendala utamanya sebagai pesepeda dari dulu. Efi mengapresiasi usaha pemerintah dalam membangun infrastruktur para pesepeda, tapi buatnya infrastruktur yang dibangun masih belum mumpuni dan merata.
“Memang, sih, ada lajur-lajur baru, tapi itu juga hanya di beberapa titik tertentu. Padahal kan banyak juga pesepeda kantoran yang enggak lewat jalan arteri utama kaya Sudirman misalnya.”
Pembangunan jalur sepeda yang belum merata ini, kata Efi, membuat banyak karyawan kantoran, ibu-ibu pedagang, hingga starlings terpaksa memakai jalan umum. Jalan umum yang sayangnya juga banyak alami kerusakan dan membuat pesepeda seperti dirinya semakin rentan. Pernah sekali ia kesenggol mobil dan hampir jatuh. Ini terjadi karena ia menghindari lubang di jalan yang tak memiliki lajur sepeda.
“Jalur kerjaku itu dari Pancoran ke Tendean itu rusak semua. Banyak bolong dan sempit, karena ada galian. Trotoar ada tapi itu bukan untuk lajur sepeda. Kalau ada lajur sepeda tuh juga ada tutupan gorong-gorong, jalannya gradakan. Makanya aku lebih milih di luar lajur sepeda, tapi ya konsekuensinya di keselamatan,” keluh Efi.
Efi tidak sendiri. Ayas, 25. Perempuan pesepeda yang kini bekerja di NGO yang bergerak di bidang Advokasi dan Hak Asasi Manusia dan pernah menulis penelitian tentang pesepeda perempuan juga mengungkapkan hal yang sama.
Ayas mengungkapkan, selama bersepeda, ia melihat lajur pesepeda masih hanya disediakan di beberapa jalan protokol saja. Padahal pesepeda seperti dirinya, bersepeda di luar jalur protokol ibu kota. Ayas kemudian menambahkan, jika pun lajur pesepeda sudah disediakan, masih ada dua masalah turunan yang kerap ia alami.
Pertama, banyak kendaraan bermotor yang menggunakan lajur sepeda. Konsekuensinya, pesepeda harus rela “mengalah” dan memakai jalan umum. Kedua, lajur sepeda belum sepenuhnya terproteksi karena banyak hanya dibatasi oleh marka.
“Kita (pesepeda) enggak punya ruang yang cukup aman dan nyaman. Ini seakan-akan jadi pengingat sampai kapan pun kita kelompok rentan di jalanan”
Jika Efi dan Ayas adalah pesepeda yang banyak memakai rute jalanan ibu kota, maka Ninda, 32 punya pengalaman yang lebih kaya. “Ninda” adalah pesepeda yang tak hanya menggunakan sepeda untuk mobilisasi jarak dekat seperti pergi ke kantor atau sekadar jalan-jalan di ibu kota, tetapi dia juga pernah bersepeda dari Jakarta ke Bali.
Pengalamannya ini membawanya melihat posisi pesepeda dalam paradigma rencana pembangunan kota yang masih dianaktirikan. Dari banyaknya kota yang ia singgahi, masih sedikit kota yang memiliki infrastruktur khusus pesepeda.
Menurutnya, infrastruktur pesepeda tak hanya mencakup lajur sepeda saja, tetapi juga mencakup rambu-rambu lalu lintas dan lampu penerangan yang dipasang khusus untuk meningkatkan keselamatan para pesepeda. Kedua hal inilah yang Ninda lihat masih jarang sekali ia temui di berbagai kota yang ia singgahi. Tentu ini membuat isu keselamatan selalu jadi kendala utamanya bersepeda.
“Kemana pun naik sepeda, gue tuh selalu mikir ‘Selamat enggak ya balik ke rumah?’ itu sangking tau risikonya tinggi kalau bersepeda.”
Baca Juga: Gowes di ‘Ride for Equality’: Yang Muda yang Petani
Street Manner Orang Indonesia
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin ini bahasa yang cocok menggambarkan kondisi para pesepeda di Indonesia. Infrastruktur dan peraturan boleh saja sudah ada, tetapi keselamatan masih terus jadi kendala mereka. Setiap harinya, pesepeda harus berhadapan dengan perilaku jalan atau street manner orang Indonesia yang masih tak ramah pesepeda.
Ini tak hanya soal bagaimana kendaraan bermotor masih cukup sering menggunakan lajur sepeda yang hanya dilindungi marka, tetapi juga dari bagaimana cara mereka menggunakan jalan. Ninda sebagai pesepeda aktif yang pernah berkeliling di berbagai kota, street manner ini sifatnya universal.
Kendaraan bermotor, baik mobil dan motor di berbagai kota di Indonesia misalnya kerap kali memacu kecepatan yang cukup tinggi walau ada pesepeda yang menggunakan jalan bersama. Mereka cenderung tidak sabaran ketika melihat ada pesepeda. Ini tentu berbahaya karena tak sedikit kendaraan bermotor yang akhirnya gemar menyalip atau setidaknya sering menggunakan klakson dan meneriaki pesepeda di jalan bahkan ketika pesepeda sudah menggunakan bahu jalan.
“Minimal lecet dikit, diklaksonin, atau diteriakin di jalan itu ada lah. Jadi pesepeda itu pokoknya terhindar dari potensi kecelakaan itu sering. Disalip motor, mobil mendadak entah dari kanan dan kiri harus tetap tenang. Kalau enggak pasti jatuh,” keluh Ninda.
Lalu bagaimana dengan para road bikers (pesepeda yang menggunakan sepeda rode bike untuk perjalanan jarak jauh dan kecepatan tinggi)? Road bikers ini kerap kali mendapatkan komentar pedas dari masyarakat Indonesia. Banyak yang menilai eksistensi mereka membahayakan karena mereka bersepeda bukan di lajur pesepeda melainkan jalanan umum. Namun, komentar ini menurut Ninda tidak tepat sasaran.
Pasalnya, lajur pesepeda di jalan-jalan diperuntukan untuk pesepeda jarak dekat dengan batas maksimal 25 km/jam. Sedangkan road bikers rata-rata dapat melaju dengan kecepatan 30-50 km/jam. Kecepatan yang jelas tidak diperbolehkan hukum untuk melewati lajur pesepeda karena bisa membahayakan keselamatan pesepeda jarak dekat.
Maka dari itu, road bikers sebenarnya membutuhkan ruang berbeda. Sayangnya, ruang ini tidak diakomodir dalam perancangan pembangunan kota yang lagi-lagi menambah bentrokan antara pesepeda dan kendaraan bermotor. Apalagi ketika kendaraan bermotor sudah miliki street manner yang cukup problematik sehingga merasa ruangnya direbut.
Ini menarik untuk tahu dari mana street manner pengendara bermotor di Indonesia terbentuk. Dalam hal ini, Deliani Siregar, Senior Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate dari Institute for Transportation and Development Policy (ITPD) punya jawabannya. Menurut Deliani, street manner pengendara bermotor di Indonesia terbentuk secara sistemik.
Selama ini rencana pembangunan kota masih memakai paradigma yang bias. Segala hal terkait akses, keselamatan, bahkan soal kelancaran lalu lintas semua masih difokuskan pada pengendara bermotor. Ini secara tidak langsung membentuk street manner pengendara bermotor di Indonesia. Jalan dianggap jadi milik segelintir pengguna saja, kendaraan bermotor, dan keselamatan pesepeda bukan jadi prioritas.
“Bertahun-tahun kelompok rentan di jalan seperti pejalan kaki dan pesepeda dibiasakan mengalah dengan kendaraan bermotor. Ketika ruang kota berubah, yang disalahkan perubahannya padahal peraturan misalnya sudah ada sejak 2009.”
Deliani menambahkan, street manner pengendara bermotor diperparah dengan pembiaran pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengendara bermotor di jalan. Deliani bahkan pernah melihat secara langsung bagaimana polisi lalu lintas justru menyuruh pengendara bermotor yang sedang berhenti menunggu lampu merah persimpangan untuk maju sampai menutupi stop line.
Hal ini jelas membahayakan pesepeda karena stop line sengaja dibuat untuk memberikan jarak antara pesepeda dan pengendara bermotor. Jarak ini diperlukan sepeda bisa lebih cepat meninggalkan persimpangan dibanding kendaraan bermotor.
“Ketika ada pelanggaran di depan mata tidak dilakukan penindakan, kasus-kasus ini menimbulkan behaviour tidak tertib. Pengendara bermotor jadi berpikir ‘Ah saya enggak apa-apa melakukan ini’ atau ‘Ngapain saya perlu pelan-pelan jalannya” Ini justru membahayakan,” jelas Deliani.
Lalu apakah ada solusi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keselamatan para pesepeda? Deliani setidaknya menawarkan tiga hal.
Pertama, pihak kepolisian sudah seharusnya mengevaluasi penegakan hukum di jalan. Evaluasi ini dibutuhkan karena selama penegakan hukum di jalan masih kurang maka menurut Deliani ruang jalan akan terus tidak aman bagi kelompok rentan.
Baca juga: Perbaikan Akses Bersepeda Dapat Berdayakan Perempuan di Daerah Miskin
“Cara berpikir orang Indonesia itu ‘Kalau kita melakukan A, maka akan B’, jadi selama enggak ada konsekuensi yang keliatan di depan mata maka mereka merasa aman-aman aja. Enggak ada yang berubah.”
Kedua, pemerintah kota harus mengubah paradigma bias soal perencanan pembangunan tata kota. Dalam hal ini pesepeda masih dianaktirikan karena hak dasarnya kerap dilupakan dalam perencanaan pembangunan tata kota. Baru-baru ini saja misalnya Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo meminta anggaran pembangunan jalur sepeda senilai Rp 38 miliar dinolkan dalam Rancangan APBD DKI 2023. Alasannya karena lajur sepeda tidak berfungsi dan malah memperparah kemacetan.
“Harusnya penyelenggaraan fasilitas publik itu didasari untuk keselamatan kelompok rentan, pesepeda dan pejalan kaki. Namun, di sini justru kebalikannya. Maka perlu adanya pengakuan dan perubahan paradigma di sini, agar setidaknya penyelenggaraan fasilitas publik bisa inklusif dan intervensi pemerintah atas pemenuhan hak-hak kelompok rentan bisa dilakukan dengan baik”
Terakhir, Deliani mengungkapkan, para pesepeda juga bisa punya peran penting. Cara pertama adalah dengan menaati peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Deliani menyadari masyarakat punya sentimen tersendiri pada pesepeda yang kerap gunakan jalur umum, sehingga penting buat para pesepeda secara bersama-sama meramaikan ruang bersepeda yang sudah terbangun baik. Tujuannya jelas untuk menyampaikan pesan bahwa mereka ada, punya hak yang sama seperti pengguna jalan lainnya, sehingga pengadaan lajur sepeda butuh diperluas.
Selain itu, pesepeda juga bisa aktif berikan masukan pada pemerintah kota. Bisa melalui media sosial atau melalui komunitas.
“Enggak dimungkiri pemkot itu sekarang sudah banyak pakai media sosial buat mantau keluhan masyarakat. Jadi boleh mengungkapkannya lewat sosial media. Jadi boleh mengungkapkannya lewat media sosial. ‘Di sini enggak bagus jalannya. Lajurnya membahayakan.’ Ini bisa disuarakan secara individu dan bisa diteruskan lewat komunitas untuk advokasi bersama.”
Comments