Women Lead Pendidikan Seks
January 07, 2021

Bagaimana Akhiri ‘Victim Blaming’? Jadikan Kekerasan Seksual Masalah Sosial

Pandangan bahwa kekerasan seksual adalah masalah individu menyuburkan tindakan ‘victim blaming’ di masyarakat.

by Frenia Nababan
Safe Space
Share:

“Kok dia berani ya, menyentuh kamu seperti itu? Apa kalian dekat?”

“Kenapa waktu itu kamu mau diantar pakai mobilnya?”

“Nah, mungkin kamu dianggap kayak ngasih harapan, apalagi kamu juga suka kirim-kirim WhatsApp  ke dia.”

Pernyataan dan pertanyaan intimidatif  seperti ini masih kerap terdengar dalam ruang publik kita ketika berbicara soal kekerasan seksual. Si empunya pertanyaan bisa siapa saja: Atasan kita, rekan kerja, teman, bahkan keluarga.

Masih timbulnya ungkapan-ungkapan di atas merupakan salah satu bukti bahwa budaya pemerkosaan (rape culture) kian lincah menjajah nalar. Rape culture tumbuh pada lingkungan sosial ketika kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan secara terus menerus.

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukan hanya tidak sensitif terhadap kesulitan korban, tapi cenderung menyudutkan dan menyalahkan korban (victim blaming). Hal ini bisa terjadi berkali-kali pada korban, mulai dari ketika bercerita ke teman sendiri sampai saat mengadukan kasus kekerasan seksual ke polisi.

Apa Itu Victim Blaming

Komunitas perlindungan korban kekerasan seksual dari Harvard Law School (HALT) dalam artikel “How to Avoid Victim Blaming” merujuk victim blaming sebagai suatu sikap atau perilaku yang menunjukkan bahwa korban, bukannya pelaku, yang diminta untuk lebih bertanggung jawab atas penyerangan atau kekerasan yang terjadi pada dirinya.

Victim blaming menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih belum dianggap sebagai permasalahan sosial. Individu dibebankan untuk menjaga diri dan mengupayakan agar kekerasan seksual tidak terjadi pada dirinya.

Victim blaming dalam kasus kekerasan seksual bisa dianalogikan sebagai pejalan kaki yang ditabrak oleh pengendara motor di trotoar, tapi kita malah sibuk menginterogasi si pejalan kaki kenapa ia bisa sampai tertabrak. Si pejalan kaki kemudian dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kamu jalannya zig zag kali, jadi memprovokasi?”, “Lah, udah tahu trotoar itu pas jam pulang kantor gelap, kenapa lewat situ?”, “Atau jangan-jangan, kamu bajunya kurang ngejreng kali, jadi enggak keliatan?”.

Baca juga: Dukungan Psikososial Lewat Komunitas Penting untuk Pemulihan Penyintas

Organisasi nirlaba untuk perlindungan dan pemulihan korban dari Canada, The Canadian Resource Center for Victims of Crime menyebutkan beberapa jenis tindak kejahatan tempat victim blaming kerap ditemukan: Kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, tindak pidana yang terjadi kepada pekerja seks, dan pembunuhan. 

Ketika terjadi kekerasan seksual, sering kali orang sekitar korban mengambil jalan pintas yakni menyalahkan korban. Hal itu dilakukan karena mereka mempercayai hipotesis bahwa kita telah hidup dalam tatanan sosial yang sudah adil (just world hypothesis).

Kekerasan Seksual sebagai Persoalan Sosial

Peristiwa kekerasan seksual bukan konstruksi sederhana yang dapat dipahami hanya dengan mengukur sifat psikologis individu (korban dan pelaku) yang terlibat di dalamnya. Kekerasan seksual adalah suatu peristiwa yang sangat kompleks karena melibatkan interaksi sosial yang dinamis. Perlu dipahami, kekerasan seksual tidak hanya melibatkan korban dan pelaku, tetapi juga semua anggota masyarakat dan institusi sosial yang ada di dalamnya.

Kita perlu memeriksa hubungan hal-hal seperti komunikasi, identitas, peran, struktur sosial yang lebih besar seperti ekspektasi peran gender, hingga budaya dan kekuasaan dari pihak yang terlibat, termasuk cara pandang individu dalam masyarakat dalam persoalan kekerasan seksual. Dengan demikian, baru kita akan lebih memahami kompleksitas interaksi ini. Hal ini penting agar kita dapat memandang pelecehan dan kekerasan seksual sebagai fenomena sosial yang lebih besar.

Baca juga: Jangan Biarkan Korban Pelecehan Seksual Diam

Untuk  menghindari sikap menyalahkan korban, kita perlu berpikir menggunakan imajinasi sosiologis (sociological imagination), seperti yang diperkenalkan oleh sosiolog Charles Wright Mills dalam bukunya, The Sociological Imagination (1959).

Imajinasi sosiologis adalah kemampuan untuk melihat keterkaitan antara kehidupan kita sebagai individu dengan kekuatan sosial yang lebih besar. Imajinasi sosiologis melihat kemampuan manusia dengan mengaitkan hubungan antara permasalahan individu dan situasi sosial yang ada di lingkungannya.  

Mills mendesak kita untuk memahami bahwa masalah pribadi kita, misalnya mendapatkan atau kehilangan pekerjaan, harus dipahami sebagai masalah publik yang lebih besar. Misalnya, kehilangan pekerjaan terjadi bukan karena individu tersebut tidak mampu bekerja tapi karena resesi ekonomi.

Jacquelyn Knoblock, akademisi yang juga penyintas kekerasan seksual dari University of Massachusetts Boston, kemudian mengaplikasikan penggunaan imajinasi sosiologis ini ke dalam peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.

Knoblock mengemukakan bahwa pada awalnya, ia menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan seksual yang terjadi. Sampai kemudian, ia berpikir bahwa kekerasan berbasis gender dapat dilihat menggunakan imajinasi sosiologis sebagai masalah pribadi—karena menyangkut harkat dan martabat korban—dan sekaligus sebagai masalah sosial.

Meskipun kekerasan seksual adalah sebuah hal yang sangat personal bagi siapa pun yang mengalaminya, dengan menggunakan imajinasi sosiologis, korban tidak harus menanggung sendiri permasalahannya karena kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi masalah sosial (publik).

Selama kekerasan seksual dipandang sebagai persoalan individu saja, korban akan menanggung beban berat sendirian, salah satunya dari victim blaming yang menyerang individu dan terus subur di masyarakat.

Jika kekerasan seksual dilihat sebagai isu sosial, korban akan terhindar dari victim blaming dan semua pihak akan terdorong untuk berjuang melawan kekerasan seksual karena menjadi permasalahan publik.

Berkaca dari Gerakan Disabilitas

Penghapusan kekerasan seksual, terutama yang berkaitan dengan victim blaming, dapat dilakukan dengan mencontoh apa yang telah dilakukan dalam gerakan disabilitas. Sebelumnya, terdapat dua cara pandang dalam melihat disabilitas yaitu model medis dan model sosial.

Model medis menekankan bahwa permasalahan disabilitas merupakan masalah personal yang terletak pada disfungsi individu. Model ini kemudian menekankan rehabilitasi individu sebagai jalan keluar. Seseorang dengan disabilitas dianggap sebagai pasien yang perlu diobati agar dapat berfungsi.

Tujuan utama dari model ini adalah membuat seorang dengan disabilitas dapat berfungsi secara maksimal mengikuti standar sosial yang ada. Contoh penerapan model ini adalah ketika seseorang dengan disabilitas fisik dan berkursi roda hendak memasuki sebuah gedung lantas terhalang tangga, maka masalah yang disoroti ialah orang dengan kursi roda tersebut.

Sebaliknya, model sosial melihat disabilitas dari kacamata sosial yang lebih besar. Model ini melihat bahwa akar permasalahan munculnya disabilitas adalah lingkungan yang tidak ramah penyandang disabilitas. Hal inilah yang membuat seseorang dengan disabilitas tidak dapat berfungsi secara maksimal.

Disabilitas dianggap sebagai masalah sosial karena terkait dengan aksesibilitas. Aksesibilitas menciptakan peluang yang memungkinkan semua orang memiliki akses untuk meningkatkan kehidupan mereka dengan kapasitas mereka sendiri. Karena itu, tujuan utama dari penerapan model sosial ini adalah menciptakan inklusivitas bagi semua kalangan masyarakat termasuk kaum penyandang disabilitas.

Baca juga: Kawal RUU PKS: Kekerasan Seksual Bukan Hanya Urusan Perempuan

Sebagai implikasinya, pihak yang perlu diajari bukan individu dengan disabilitas tersebut, melainkan masyarakat. Mengambil contoh yang sama,  ketika seseorang berkursi roda terhalang masuk ke gedung, masalah disabilitas bukan terletak di individu tersebut, melainkan pada gedung yang tidak menyediakan layanan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas fisik seperti dia.

Bila kini kita melihat penerjemah bahasa isyarat di televisi, gedung-gedung dan transportasi umum mulai berbenah diri mengadakan layanan bagi seseorang dengan disabilitas, itu adalah hasil dari model sosial yang meletakkan masalah disabilitas sebagai isu sosial.

Berkaca dari cara pandang disabilitas dengan model sosial tadi, sudah seharusnya penghapusan kekerasan seksual tak hanya menjadi urusan gerakan perempuan saja, apalagi hanya urusan individu. Perubahan cara pandang dengan melihat kekerasan seksual sebagai isu sosial menghindarkan korban dari tindakan victim blaming dan keharusan mengemban bebannya sendirian. Hal tersebut akan mendorong semua pihak untuk sama-sama berjuang melawan kekerasan seksual karena menjadi permasalahan publik.

Sebagaimana dalam gerakan disabilitas dan gerakan-gerakan advokasi lainnya, hal yang tak kalah penting diusung dalam gerakan penghapusan kekerasan seksual adalah penyediaan ruang aman untuk semua orang. Salah satu bagian dari ruang aman adalah orang-orang atau wadah yang bersedia mendengar dan mempercayai korban alih-alih menyalahkan atau menuduhnya macam-macam.

Dengan menyediakan ruang aman dan berhenti melakukan victim blaming, kita telah berupaya memberangus rape culture sampai ke akar-akarnya. Hal ini penting karena tentunya kita tidak mau mewariskan budaya pemerkosaan yang berbahaya tersebut ke generasi berikutnya.

Frenia Nababan adalah pengajar Komunikasi dan Pemerhati Gerakan Sosial di Dialoka.