Aktivitas belanja menjadi bagian tidak terlepaskan dalam kehidupan sekarang ini, terlebih pada momen-momen hari raya dan setelah adanya fasilitas e-commerce. Di Cina, enam minggu sebelum Natal ada Single Day, yang sekarang memegang rekor sebagai hari belanja terbesar di dunia.
Kemudian, Black Friday, diskon Cyber Monday, belanja pra-Natal, dan sekarang ada belanja diskon pasca-Natal dan Tahun baru. Setelahnya, ada hari Kasih Sayang (Valentine), Idul Fitri, dan seterusnya. Diskon belanja terus berjalan hampir sepanjang tahun dalam berbagai variasi.
Bagi peritel, sale merupakan kesempatan baik untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan barang yang mangkrak lama di gudang, mengganti dengan barang baru, serta memanfaatkan tendensi pembeli yang akhirnya melakukan pembelian tak terencana.
Sementara, bagi konsumen, sale menjadi alasan untuk menghabiskan uang dan memberikan hadiah, baik itu bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya. Hal ini sangat diharapkan, bahkan didorong terjadi ketika banyak diskon yang ditawarkan.
Di luar dari keuntungan ekonomis, ada harga lain yang harus dibayar ketika musim sale. Secara emosional, pembeli bisa merasa sangat menyesal telah menghabiskan uang yang sebenarnya tidak perlukan.
Secara finansial, mereka akan terjebak (lagi) dalam utang karena merasa ‘harus memiliki’ barang murah tersebut saat musim sale tiba.
Secara psikologis, ini memperburuk kondisi orang yang mengidap gangguan belanja kompulsif, atau oniomania, karena ada legitimasi untuk membeli hadiah dan atau menghabiskan uang.
Baca juga: Meskipun Krisis, Konsumen Tetap Belanja Ramadan
Semua ini ditambah dengan biaya lingkungan. Sebagai seorang peneliti marketing, saya mempelajari bagaimana seseorang bertindak melalui ‘kacamata perilaku’, dan terdapat dua tipe yaitu:
1. Tipe dengan budaya membuang
Budaya membuang, yang terjadi di industri mode, adalah budaya semakin banyak membeli, semakin banyak membuang.
Walau hubungan antar keduanya masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah, secara logis kita mengetahui diskon mengarah kepada pembelian barang baru, dan akhirnya pembuangan barang lama.
Analogi tersebut kami buktikan dengan mengambil contoh fenomena berkurangnya ruang hidup. Di Inggris, ukuran kamar tidur mengecil sementara rata-rata ukuran ruang keluarga tiga kali lebih kecil dibandingkan tahun 1970-an. Meski demikian, masyarakat masih membeli lebih banyak barang dibandingkan tahun 1970an.
Untuk memberi ruang bagi barang baru, kita mau tidak mau membuang yang lama. Hal ini akhirnya memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Sebagai contoh, sebuah laporan parlemen Inggris pada awal 2019 menyebutkan ada sekitar 300.000 ton limbah tekstil dibuang setiap tahunnya, atau setara dengan 5 kg per individu.
Limbah tersebut akhirnya dibawa ke TPA atau dibakar dengan insinerator. Laporan tersebut juga menekankan “kurang dari 1 persen” material garmen yang bisa didaur ulang. Budaya membuang ini sangat mencemari Bumi.
Baca juga: Ini yang Perlu Diperhatikan Sebelum Belanja Diskon Tanggal Cantik
2. Diskon artinya banyak produk yang dikembalikan
Pandangan kedua adalah ‘kacamata pengembalian produk’, yang menyatakan kemungkinan hubungan antara penjualan dengan tingkat pengembalian barang yang banyak terlihat dalam penjualan daring. Sale seperti Black Friday pun sudah berorientasi digital, dengan sekitar tiga perempat penjualan melalui internet.
Pengembalian barang daring melibatkan banyak aktivitas tidak ramah lingkungan. Pengembalian barang, pengumpulan dan redistribusi barang oleh kurir, keduanya membutuhkan mobilisasi alat transportasi, yang mengeluarkan emisi karbon.
Sementara, kegiatan membersihkan, memperbaiki, dan atau mengemas barang juga memerlukan banyak sumber daya alam, dan sangat mungkin menghabiskan lebih banyak material bahan bakar fosil atau minyak sawit.
Kegiatan pemrosesan, transportasi, serta pembuangan barang sekali pakai dan kemasan tak terdaur ulang juga akan menggunakan banyak lahan, dan kemudian meninggalkan jejak karbon yang tidak sedikit.
Sebagai konsumen, kita jarang melihat hal-hal tersebut, yang ternyata memiliki dampak sangat buruk bagi lingkungan.
Misalnya, Vogue Business melaporkan pengembalian barang di AS menghasilkan 2,27 juta ton limbah dan 15 juta ton emisi karbon per tahun. Sebagai pembanding, angka tersebut setara dengan limbah 5 juta orang dalam 1 tahun.
Melalui tulisan ini, saya tidak mencoba merendahkan nilai komersial atau rasa kegembiraan karena aktivitas konsumsi, yang bisa dicapai saat kita lakukan dengan bijak. Namun, saya sangat mengharapkan bahwa penjualan semacam ini bisa mencapai keseimbangan antara sisi komersial, konsumsi, dan lingkungan.
Kita sudah melihat berbagai dampak buruk krisis iklim, dan sudah selayaknya kita semakin sadar akan perilaku konsumtif yang sangat merugikan lingkungan kita sendiri.
Dengan mempertimbangkan dampak lingkungan aktivitas belanja kita, mungkin kita bisa memperkaya pengalaman belanja atau mengurangi rasa bersalah di tengah periode belanja. Mari belanja dengan bijak untuk melindungi Bumi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments