Women Lead Pendidikan Seks
March 02, 2021

4 Dampak UU Cipta Kerja dan PP Turunannya Bagi Buruh Perempuan

UU Cipta Kerja dan kedua PP turunannya mendorong buruh perempuan agar mudah diatur, tunduk perintah, tidak protes, dan siap diupah murah.

by Jafar Suryomenggolo
Issues
Omnibus Law_RUU Cilaka_KarinaTungari
Share:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) mengubah banyak sendi kehidupan kita. Seperti yang telah diulas oleh banyak ahli, UU tersebut akan berdampak dahsyat mulai dari perihal tata-kelola lingkungan hidup hingga kehidupan masyarakat adat di Indonesia.

Awal Februari 2021, Presiden telah menetapkan 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Terdapat dua PP yang secara khusus mengenai dunia kerja, yakni PP No. 35/ 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (singkatnya PKWT-PHK), dan PP No. 36/ 2021 tentang Pengupahan.

Apa saja yang perlu kita cermati terkait dampak pada buruh perempuan dari kedua PP tersebut?

  1. UU Cipta Kerja Perpanjang Waktu Kontrak, Perluas Cakupan Buruh

Menurut PP No. 35/2021, Pasal 6 dan Pasal 8, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) “dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun.” Aturan ini memperpanjang waktu kontrak. Menurut peraturan lama (UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan), PKWT adalah paling lama tiga tahun—yang sesungguhnya juga bermasalah karena terlalu lama. Jadi, alih-alih menyelesaikan masalah yang ada dengan memperpendek waktu kontrak, PP No. 35/2021 malah memperpanjang waktu kontrak.   

Selain itu, PP No. 35/2021 memperluas cakupan PKWT menjadi buruh kontrak, buruh musiman, buruh untuk produk baru, dan juga buruh cadangan untuk mengejar target produksi. UU no. 13 /2003 tidak menentukan hal tersebut. Dapat dipastikan, PP No. 35/2021 ini mempermudah pengusaha untuk memperkerjakan buruh kontrak.

Dari banyak laporan, kita tahu bahwa kebanyakan buruh perempuan bekerja sebagai buruh kontrak. Baik itu di pabrik-pabrik industri maupun di sektor jasa (misalnya hotel), juga buruh kerah putih (seperti bank). Aturan PP No. 35/2021 jelas akan makin mempersulit kehidupan buruh perempuan. Mereka akan terperangkap dalam bianglala setan kontrak kerja yang makin lama. Tidak ada kepastian bagi buruh perempuan untuk menjadi buruh tetap atau buruh permanen.  

Baca juga: 3 Ancaman UU Cipta Kerja bagi Para Aktivis Lingkungan dan HAM

  1. Upah Minimum Makin Tidak Jelas, Perburuk Kesenjangan Upah

Pada hakikatnya, upah minimum adalah upah yang diperlukan oleh buruh (dan keluarganya) untuk setidak-tidaknya dapat menjamin kebutuhan hidup yang paling minimum untuk hidup layak. Hal ini diakui dalam PP No. 36/ 2021 Pasal 2 yang menyatakan bahwa “setiap buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Anehnya, di dalam Pasal 25 ayat 4, upah minimum ditetapkan berdasarkan “kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.”  Hal ini adalah sesuatu yang baru. Disebutkan ada “tiga variabel”, yakni paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.  Meski terdengar ilmiah dan obyektif, aturan ini justru membingungkan karena upah minimum didasarkan sepenuhnya dan semata-mata atas pertimbangan kondisi mekanisme pasar bebas.

Secara ekonomi, ketiga variabel ini sendiri juga mengandung kelemahannya masing-masing dan tidak bisa dianggap sebagai ukuran yang mutlak, apalagi sampai dijadikan ukuran untuk menentukan upah minimum.

Kita tahu bahwa ada kesenjangan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Ini adalah masalah nyata, telah lama ada (kronis), dan merugikan perempuan. Sayangnya, penentuan upah minimum menurut UU Cipta Kerja dan PP No. 36/2021 tidak menawarkan jalan keluar atas permasalahan kesenjangan upah. Aturan ini malah menjustifikasi kesenjangan sebab buruh perempuan dianggap cukup memperoleh upah minimum, yang ukurannya semakin tidak jelas. 

Baca juga: Masyarakat Adat Kian Rentan Akibat Omnibus Law UU Cipta Kerja

  1. Pesangon Makin Kecil dalam UU Cipta Kerja

Menurut PP No. 35/2021, ketentuan tentang uang pesangon hanya menjadi separuh dari aturan umum jika perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan perusahaan (Pasal 41), terjadi pengambilalihan perusahaan (Pasal 42), terjadi efisiensi akibat kerugian (Pasal 43 dan 44), perusahaan tutup (Pasal 45), adanya kewajiban pembayaran utang (Pasal 46), dan perusahaan pailit (Pasal 47).  Ini semua adalah hal baru, yang tidak ada dalam aturan sebelumnya, dan mengurangi hak buruh akan pesangon.

Misalnya, dalam hal perusahaan pailit, menurut Pasal 95 dalam UU No. 37/ 2004 tentang Kepailitan, hak buruh mesti diutamakan. Anehnya, menurut PP No. 35/2021 ini, uang pesangon buruh hanya sebesar separuh dari ketentuan normal. Hal ini jelas merugikan buruh.

Dalam banyak kasus, perusahaan sengaja “pailit” agar bisa terhindar dari ketentuan membayar upah pesangon buruh.  Selain itu, menurut Pasal 52 PP No. 35/2021, pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh karena alasan buruh melakukan pelanggaran, dan uang pesangonnya hanya separuh dari ketentuan normal.

Dengan aturan baru yang memperkecil nilai pesangon, PP No. 35/2021 menggerus hak-hak buruh yang telah ada sebelumnya. Hal ini mempersulit buruh untuk memperoleh uang pesangon selayaknya, dan mengabaikan arti penting uang pesangon sebagai jaring pengaman sementara bagi buruh selama mereka mencari pekerjaan baru.

  1. UU Cipta Kerja Abaikan Kebutuhan Buruh Perempuan

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 18/2020, ada 64 komponen yang menjadi “kebutuhan hidup layak.” Sayangnya, penetapan 64 komponen tersebut masih berdasarkan kebutuhan buruh laki-laki. Barang-barang kebutuhan buruh perempuan (atau istri buruh) tidak dipertimbangkan.

Baca juga: UU Cipta Kerja Tak Ciptakan Lapangan Kerja, Perkuat Oligarki

Misalnya, dari 64 komponen tersebut, ada 5 komponen untuk sarana kesehatan. Hal tersebut mencakup alat cukur dan deodoran—ini jelas sesuai dengan kebutuhan buruh laki-laki. Tidak ada komponen pembalut sanitasi yang kita tahu adalah kebutuhan rutin perempuan, apalagi kebutuhan untuk alat perlengkapan (ikat rambut atau bandana, atau juga kain jilbab, dan masker), juga kosmetik, yang sudah dianggap lumrah di masa kini. Hal ini juga mengingat hampir 70 persen buruh bekerja di kawasan perkotaan.

Baik PP No. 35/2021 maupun PP No. 36/2021 sama sekali tidak memperhitungkan “kebutuhan hidup layak” buruh perempuan. Aturan-aturan ini malah mengabaikan perlunya kebijakan yang mengandung pengarusutamaan gender.   

UU Cipta Kerja Kebijakan yang Salah Arah

Dari empat hal di atas, kita bisa melihat bahwa UU Cipta Kerja dan kedua PP turunannya mendorong buruh perempuan agar mudah diatur, tunduk perintah, tidak protes, dan siap diupah murah. Jadi, pemerintah masih bertumpu pada “kebijakan buruh murah” sebagai strategi memancing investasi asing di kancah persaingan internasional, guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Padahal, dalam banyak kajian ekonomi mutakhir, “kebijakan buruh murah” ini sudah lama dikritik, ditinggalkan, dan tidak disarankan sama sekali. Sebab di dalam kenyataannya, kebijakan ini justru menghambat pertumbuhan industri lokal, dan mematikan perkembangan inovasi dan alih-teknologi (technology transfer) yang menjadi penunjang utama persaingan dunia usaha di tingkat internasional. Terlebih, kebijakan ini tidak sesuai dengan “pembangunan manusia” (human development) yang mensyaratkan kualitas hidup manusia.

“Kebijakan buruh murah” bukanlah obat mujarab. Kita semua tentu ingin Indonesia terbebas dari “perangkap negara berpendapatan menengah” (middle-income trap) dan bisa menjadi negara berpendapatan tinggi (high-income country) pada 2045. Sayangnya, alih-alih mewujudkan ambisi tersebut, UU Cipta Kerja dan kedua PP malah melanggengkan ketidakadilan dan kesenjangan yang masih terus ditimpakan pada pundak buruh perempuan

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Jafar Suryomenggolo bermukim di Paris, Perancis. Ia adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019).