Women Lead Pendidikan Seks
September 09, 2020

Bagaimana Merek Kecantikan Lokal Bertahan di Masa Pandemi

Merek kecantikan lokal menjalankan sejumlah strategi ketika produk kecantikan bukan lagi prioritas konsumsi di tengah pandemi.

by Wulan Kusuma Wardhani, Reporter
Lifestyle // Health and Beauty
Skin Care_Perawatan Kulit_SarahArifin
Share:

Periode work from home (WFH) membuat kebutuhan akan pakaian dan produk kecantikan menurun, seperti dialami Aprelia Wulansari, jurnalis olahraga yang menghabiskan 82 hari pertama pandemi tanpa keluar rumah sama sekali.

Pembelian bedak berkurang banget. Aku enggak beli lipstik, eyeshadow, blush on, dan highlighter. Aku juga enggak beli kuteks lagi karena lebih sering cuci tangan,” ujarnya kepada Magdalene melalui telepon

“Produk yang tetap aku beli adalah skincare. Aku selalu pakai pelembap karena kulitku kering banget,” ujar perempuan berusia 35 tahun itu.

Sementara itu bagi Diaz Berliana, pekerja kantor bisnis rintisan dan juga seorang wiraswasta di Malang, produk kecantikan menjadi prioritas kesekian karena ia harus menghemat uang di tengah ekonomi yang tidak stabil.

“Dulu suka mencoba-coba skincare dan eyeshadow palette, tetapi sekarang aku pakai yang ada dulu. Penggunaan make up seadanya saja karena aku lebih sering pakai masker,” tambahnya.

Mei lalu, perusahaan konsultan manajemen McKinsey & Company menerbitkan analisisnya mengenai dampak pandemi terhadap industri kecantikan secara global. Perusahaan ini memprediksi, industri kecantikan dapat mengalami penurunan pendapatan sebesar 20-30 persen dibandingkan tahun lalu. Di Indonesia, beberapa perusahaan lokal yang bergerak di industri kecantikan telah merasakan dampaknya.

Elizabeth Christina Parameswari, pendiri BLP Beauty, mengatakan pendapatan perusahaan turun sekitar 15 persen akibat pandemi.

“Kami memiliki enam store. Tiga di Jakarta dan masing-masing satu di Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Akibat pandemi, toko ditutup saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama 3-4 bulan,“ ujar Elizabeth yang lebih dikenal sebagai Lizzie Parra.

Sementara itu, pendiri dan CEO Biotalk Wiwiek Wiral mengakui adanya penurunan omzet, tetapi tidak melihat itu sebagai dampak pandemi.

“Menurut saya, berkurangnya pendapatan sebesar 10-20 persen adalah hal yang wajar,” ujarnya.

Baca juga: Dompet Aman, Kulit Nyaman: 10 Produk ‘Skincare’ yang Tak Kuras Kantong

Dewi Kauw, pendiri merek Skin Dewi, mengatakan ada fluktuasi pendapatan selama enam bulan terakhir.

“Sejak Maret sampai saat ini, omzet kami naik turun. Secara keseluruhan, tahun ini lebih bumpy ketimbang tahun lalu,” ujar Dewi.

Pandemi juga menyebabkan produsen kesulitan mendapatkan bahan baku. Cahya Khairani, pendiri perusahaan kosmetik CV Dian Indah Abadi, mengatakan bahan baku yang tersedia menjadi sangat terbatas karena banyak orang memproduksi barang serupa.

“Saya menyiasatinya dengan berkolaborasi dengan sesama produsen untuk share bahan baku, apabila masih memungkinkan,” ujar Cahya, yang membuat produk-produk untuk sejumlah label lokal.

Lizzie Parra dari BLP Beauty mengatakan mereka tidak kesulitan dalam hal bahan baku, namun mengalami hambatan dalam membeli kemasan (packaging).

“Local brand rata-rata enggak punya pabrik sendiri. Biasanya mereka akan menggunakan jasa pabrik kosmetik. Jadi, dari segi bahan baku, kami sebenarnya tidak terlalu terpengaruh,” ujarnya.

“Kami sedikit terhambat pada bulan-bulan pertama pandemi. Kemasan seperti botol rata-rata diimpor dari Cina dan saat itu di sana sedang lockdown,” katanya.  

Wiwiek dari Biotalk mengatakan, ia bersyukur perusahaannya sempat mengantisipasi kondisi lockdown di Cina dengan cepat-cepat memesan produk dari sana.

“Ketika COVID-19 baru muncul di Cina, kami memperkirakan bahwa pabrik di sana akan stuck. Saat itu, kami membeli kebutuhan packaging untuk enam bulan ke depan,” tuturnya. 

Produk tertentu laris manis

Sebagaimana banyak perusahaan yang beradaptasi dengan menjual produk terkait pandemi, Wiwiek mengatakan Biotalk memanfaatkan kampanye cuci tangan yang digalakkan pemerintah untuk mempertahankan omzet penjualan.  

Kami punya produk sabun tanpa kandungan sulfat yang tidak akan membuat kulit kering walaupun sering digunakan. Kami mengampanyekan agar orang-orang sering mencuci tangan dengan sabun yang mengandung pelembap, tetapi tidak mengandung sulfat,” ujarnya.

Baca juga: 7 Produk Khusus Perempuan dan Laki-laki yang Cuma Akal-akalan Bisnis

Selama pandemi, penggunaan cairan pembersih tangan dengan kadar alkohol tinggi juga meningkat. Hal ini dapat menyebabkan kulit kering atau luka, sehingga Biotalk juga menggencarkan promosi produk salep, ujar Wiwiek.

“Kami punya salep yang bagus untuk mengobati iritasi kulit, yang juga dapat digunakan setelah mencuci tangan. Salep kami food grade dan tidak mengandung pengawet maupun pewarna,” katanya.

Sementara itu, Cahya dari CV Dian Indah Abadi mengatakan, omzet produk dekoratif dan skincare menurun sampai 50 persen, tapi ada produk lain yang penjualannya meningkat drastis. 

“Produk body care, higienis dan sanitasi mengalami kenaikan 100 persen pada medio Maret, April, dan Mei,” kata pendiri perusahaan yang terletak di Bandung itu.

Lizzie mengatakan, sebelum pandemi, riasan bibir adalah produk BLP Beauty yang paling laris. Sekarang, produk kosmetik mata mendominasi penjualan karena orang-orang memakai masker, ujarnya.

“Beruntungnya, kami enggak hanya menjual lipstik dan lip gloss. Ada peningkatan signifikan di penjualan produk rias mata seperti eyeliner, eyebrow, dan concealer,” kata Lizzie.

Perubahan strategi

Terlepas dari adanya tendensi penurunan omzet, para produsen ini umumnya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun memangkas gaji karyawan. Cahya, misalnya, mengubah strategi pemasaran untuk tetap menjaga operasional perusahaannya.

Sebelum pandemi, kami hanya menerima kontrak manufaktur atau business to business. Selama pandemi, kami mulai memasarkan produk dengan cara direct sell atau business to customer,” ujar lulusan jurusan farmasi tersebut.

Cahya tak mengurangi jumlah karyawan maupun memotong gaji namun mengurangi uang transpor bagi mereka yang WFH.

Penutupan pusat perbelanjaan juga mendorong produsen mencari solusi, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan penjualan jarak jauh.

Baca juga: 8 Iklan Lokal dengan Isu Peran Gender dan Kecantikan yang Berbeda

“Sebelum pandemi, kami telah mengandalkan penjualan online. Saat ini, kami full menjual produk secara online,” tutur Wiwiek.

“Kami membatasi jumlah orang yang bekerja di kantor dan sempat mengurangi jam kerja. Namun, kami tidak melakukan PHK terhadap karyawan maupun memotong gaji,” tambahnya.

Dewi mengatakan, penjualan produk Skin Dewi di sebuah mal di Jakarta Selatan dan Serpong juga sempat terhenti selama empat bulan. Kendati telah dibuka kembali pada bulan Juli, Dewi tetap memaksimalkan penjualan jarak jauh. 

“Selama outlet ditutup, sumber daya aku alihkan untuk hal lainnya seperti membantu penjualan online. Penjualan offline masih minim karena pengunjung mal berkurang,” tuturnya.

Dewi menambahkan, dia menjalin kerja sama dengan sebuah mal di Jakarta Selatan agar barang dapat dikirim ke pembeli.

“Banyak pelanggan tidak mau datang ke sana, sehingga kami meminta mereka untuk mentransfer uang ke rekening pihak mal. Setelah itu, kami pesankan ojek online untuk mengambil barang dan mengirimkannya ke rumah,” katanya. 

Lizzie dari BLP Beauty mengatakan, penjualan daring meningkat sekitar 500 persen.

“Pada awalnya produk-produk BLP dijual di toko daring, bukan toko fisik. Jadi, mindset pembelinya memang ‘kalau kami enggak bisa beli di toko, kami masih bisa beli di website atau di e-commerce’ ,” tuturnya.

Kenaikan tersebut memungkinkan tidak terjadi PHK, ujar Lizzie, karena dia justru memberdayakan karyawannya untuk membantu penjualan jarak jauh. 

“Puji Tuhan, kami masih bisa membayar gaji tanpa adanya pemotongan. THR pun kami bayarkan secara penuh. Kami juga tidak melakukan pengurangan karyawan,” ujarnya.

“Toko kami sempat tutup selama 3-4 bulan, tetapi bukan berarti SPG-nya enggak kerja. Kami memaksimalkan mereka untuk membantu kru online,” tambahnya.

Selain itu, Lizzie mengungkapkan bahwa dia selalu memperhitungkan adanya hal-hal yang tak terduga.

“Sebagai sebuah perusahaan, kami enggak akan selalu berada di kondisi yang maksimal. Tak seorang pun mengira akan ada pandemi, tetapi sejak dulu kami selalu memiliki emergency fund. Kami masih beroperasi karena kami bermain efektif dalam membuat sebuah keputusan,” katanya.  

Wulan Kusuma Wardhani is a media worker, a sports (particularly football) aficionado and a feminist. She's also a contributor to womensoccerid.wordpress.com. Follow @csi_wulan on Twitter.