Bagaimana jika kita bisa mewarisi lebih dari gen orang tua kita? Bagaimana jika kita bisa mewarisi kemampuan untuk menghidupkan dan mematikan gen?
Kemungkinan ini terungkap setelah studi terbaru kami diterbitkan di Nature Communications. Kami menemukan informasi selain gen yang diturunkan dari ibu ke anak yang bisa memengaruhi bagaimana kerangka mereka berkembang. Itulah informasi “epigenetik” yang biasanya diatur ulang antargenerasi.
Baca juga: Meneladani Feminisme dari Ibu yang Tak Lulus SMA
Penelitian kami dilakukan pada tikus, kasus pertama dari jenisnya pada mamalia di mana efek epigenetik jangka panjang dari telur ibu dibawa ke generasi berikutnya. Ini memiliki konsekuensi seumur hidup bagi kesehatan generasi tersebut.
Namun, kami tidak dapat memastikan bahwa perubahan epigenetik yang setara juga diwariskan pada manusia, termasuk implikasinya terhadap perkembangan kerangka kita dan dampak potensial pada penyakit yang kita derita di kemudian hari.
Sebentar, Apa Itu Epigenetika?
Gen kita (paket DNA) memberi tahu tubuh kita untuk membuat protein tertentu. Tetapi sel kita juga membutuhkan instruksi untuk mengetahui apakah suatu gen harus digunakan (dinyalakan) atau tidak (dimatikan).
Instruksi ini datang dalam bentuk penanda kimia atau “epigenetik” (molekul kecil) yang berada di atas DNA. kamu akan mengumpulkan penanda ini sepanjang hidupmu.
Pikirkan bagaimana tanda baca membantu pembaca memahami sebuah kalimat. Penanda epigenetik memungkinkan sel untuk memahami urutan DNA.
Tanpa penanda epigenetik ini, sel mungkin membuat protein pada waktu yang salah atau tidak sama sekali.
Baca juga: Usia Harapan Orang Indonesia Naik 80 Persen, tapi Harapan Hidup Sehat Rendah?
Waktu sangat penting untuk menentukkan bagaimana embrio berkembang. Jika gen tertentu diekspresikan (diaktifkan untuk menghasilkan protein) terlalu dini atau terlambat, embrio tidak akan berkembang dengan baik.
Apa yang Kita Temukan?
Kami tertarik untuk memahami fungsi protein dalam telur tikus (ovum) yang disebut SMCHD1.
Dengan menghilangkan SMCHD1 dari telur tikus, kami menemukan tikus yang berkembang dari telur yang kekurangan SMCHD1 memiliki kerangka yang berubah, dengan beberapa vertebra di tulang belakangnya tidak sempurna.
Ini hanya bisa dijelaskan oleh perubahan epigenetik karena hilangnya SMCHD1 dalam telur.
Secara khusus, kami melihat satu set gen yang dikenal sebagai gen Hox. Ia mengkodekan serangkaian protein yang diketahui mengontrol bagaimana kerangka mamalia berkembang.
Gen Hox ditemukan di semua hewan, dari lalat hingga manusia, dan sangat penting untuk membentuk tulang belakang kita. Evolusi telah menyesuaikan waktu ekspresi gen Hox selama perkembangan embrio untuk memastikan kerangka dirakit dengan benar.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga: Pekerjaan yang Selalu WFH
Studi kami menunjukkan bahwa penanda epigenetik yang dibuat oleh SMCHD1 ibu dalam telurnya dapat memengaruhi bagaimana gen Hox ini diekspresikan pada keturunannya.
Temuan ini merupakan kejutan besar karena hampir semua penanda epigenetik dalam telur terhapus segera setelah pembuahan. Pikirkan ini sedikit seperti reset pabrik.
Ini berarti bahwa informasi epigenetik dari telur ibu dibawa ke keturunannya adalah hal yang tidak biasa untuk membentuk bagaimana mereka tumbuh.
Apa Ini Artinya Buat Kita?
Temuan kami menunjukkan bahkan gen yang tidak kamu warisi dari ibumu masih dapat memengaruhi perkembangan kamu.
Ini mungkin memiliki implikasi untuk anak-anak dari perempuan dengan varian dalam gen SMCHD1 mereka. Variasi dalam SMCHD1 menyebabkan penyakit pada manusia seperti bentuk muscular dystrophy.
Di masa depan, SMCHD1 mungkin menjadi target obat baru untuk mengubah fungsi protein dan membantu pasien dengan penyakit yang disebabkan oleh variasi SMCHD1. Jadi, penting untuk memahami apa konsekuensi gangguan SMCHD1 dalam telur pada generasi mendatang.
Bagaimana dengan Penyakit Lainnya?
Para ilmuwan sekarang mulai memahami bahwa penanda epigenetik yang ditambahkan ke gen kita sensitif terhadap perubahan lingkungan. Ini bisa berarti variasi lingkungan, seperti pola makan atau tingkat aktivitas fisik kita, dapat memengaruhi cara gen kita diekspresikan. Namun, perubahan ini tidak mengubah DNA itu sendiri.
Keadaan epigenetik paling banyak mengalami perubahan saat telur berkembang dan selama perkembangan embrio yang sangat awal, karena “pengaturan ulang pabrik” antar generasi. Ini berarti embrio lebih rentan terhadap perubahan epigenetik, termasuk lingkungan, selama masa perkembangan.
Saat kami menemukan lebih banyak kasus di mana informasi epigenetik diwarisi dari ibu, mungkin contohnya pola makan atau perubahan lingkungan lain yang dialami ibu dapat diwarisi pada generasi berikutnya.
Mengingat bahwa para ilmuwan sekarang dapat mempelajari apa yang terjadi dalam satu telur, kita berada pada posisi yang tepat untuk menentukan bagaimana hal itu dapat terjadi dan mencari tahu apa sebenarnya yang dapat kita warisi.
Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Comments