Women Lead Pendidikan Seks
February 25, 2022

Bagaimana Muslim Muda di Indonesia Perjuangkan Isu Lingkungan?

Mereka menganggap diri sebagai “khalifah” – atau wakil Tuhan di dunia – yang mengemban tugas sakral untuk menjaga alam.

by Pamela Nilan dan Gregorius Ragil
Issues
Share:

Riset teranyar kami mencatat, anak muda Muslim di Indonesia yang memperjuangkan isu lingkungan menggunakan nilai agama sebagai landasan yang kuat bagi aktivisme mereka. Dalam hal ini, mereka menganggap diri mereka sebagai “khalifah” – atau wakil Tuhan di dunia – yang mengemban tugas sakral untuk menjaga alam.

Temuan ini sejalan dengan meningkatnya popularitas “Islam hijau” sebagai agenda yang penting bagi anak muda secara global.

Indonesia selama ini punya rekam jejak yang buruk terkait perlindungan alam. Ada berbagai masalah terkait polusi hingga deforestasi yang masih terus berlangsung hingga kini. Perekonomian yang pesat tampaknya tumbuh seiringan dengan kerusakan lingkungan.

Di tengah tren mengkhawatirkan tersebut, sebagian aktivis lingkungan Muslim berusia muda berkomitmen dan bersemangat untuk meningkatkan kesadaran rekan-rekan mereka tentang krisis ekologi. Mereka memandang polusi dan perusakan lingkungan sebagai hal yang haram.

Baca juga: Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi

Aktivisme yang Dijiwai Ayat Suci

Dalam penelitian, kami mewawancarai 20 aktivis lingkungan berusia 19-23 tahun dari berbagai kampus di Jawa dan Sumatra. Para aktivis muda Muslim ini memiliki wawasan akademik yang kokoh – mereka menggunakan ini sebagai jembatan antara teologi Islam dengan praktik konservasi lingkungan.

Misalnya, Pertiwi di Palembang, Sumatra Selatan, merupakan lulusan pesantren. Ia belajar tentang pesan-pesan dalam Alquran secara mendalam.

Pada saat kuliah, ia bergabung dengan suatu organisasi yang berkampanye melawan polusi Sungai Musi dengan cara meningkatkan kesadaran komunitas di pesisir sungai, melobi korporasi besar yang menjadi pencemar, dan mengadakan program bersih-bersih sungai.

Pertiwi mengatakan, aktivisme yang ia lakukan berlandaskan ayat-ayat Alquran yang membahas kehancuran kondisi alam.

“Lihat saja banyak nenek moyang kita, Allah murka pada mereka kan? Ia tidak hanya marah karena sifat manusia yang merusak lingkungan, tapi juga karena tindakan manusia yang secara langsung mengganggu ciptaan Allah,” katanya.

Ia mengamini, pengrusakan lingkungan adalah hal yang haram, termasuk membuang sampah sembarangan.

“Ini melanggar Sang Pencipta. […] Tuhan melihat, mendengar, dan mengetahui apa saja yang dilakukan manusia,” ungkapnya.

Sementara, rekannya yang bernama Fahmi mempelajari teknik kimia. Ia bergabung dengan Sobat Bumi – suatu gerakan hijau yang diinisiasi oleh Pertamina.

Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Fahmi mengalami suatu pencerahan saat ia sedang mendaki melewati hutan pegunungan di suatu taman nasional. Ia menyadari kebenaran yang terkandung dalam Alquran.

“Barang siapa yang menjaga lingkungan di sekitarnya, maka Allah akan menjaganya juga baik di dunia ini maupun di akhirat,” terangnya.

“Manusia bisa benar-benar merasakan rahmat-Nya. Rasa syukur itu betul-betul [bisa berwujud] penyesalan atas kesalahan seperti mencemari lingkungan segar yang memberikan kita udara untuk bernapas.”

Salah satu responden kami yang lain di Bandung, Jawa Barat yakni Iin, merupakan anggota aktif dari gerakan Youth for Climate Change (YFCC) Indonesia. Ia percaya manusia memegang amanat dari sebagai khalifah, atau wakil Tuhan di muka bumi.

“Istilah khalifah disebut dalam suatu ayat yang menyatakan, ‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah [wakil atau utusan] di muka bumi’‘,” katanya mengutip Al-Quran 2:30.

Ia juga punya kebanggaan atas aspirasi kariernya dalam konservasi lingkungan.

“Kalau pun saya berkarier di bidang lingkungan, saya tahu gajinya tidak akan sebesar bekerja untuk perusahaan minyak dan gas,” katanya.

“Saya tidak masalah dengan itu, karena saya selama ini digaji oleh Tuhan dengan napas, makanan, dan anugerah untuk menjalani kehidupan sehari-hari.”

Sementara itu di Jakarta, responden lain dalam studi kami yang bernama Heri bergabung dengan gerakan kampusnya untuk membersihkan Sungai Ciliwung – salah satu sungai yang paling tercemar di dunia.

Baca juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

“Ajaran agama yang saya dapat [di madrasah (sekolah Islam)] memuat wawasan tentang lingkungan. Harmoni itu harus vertikal dan horizontal, ’hablum minallah‘ dan ’hablum minannas‘. Ini mengatur bagaimana kita harus berinteraksi dengan lingkungan,” kata Heri.

Ungkapan Heri sejalan dengan pesan Mustofa Bisri (sering disapa “Gus Mus”), tokoh agama populer yang terafiliasi dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Gus Mus pernah mengunggah cuitan bahwa kehidupan manusia di dunia tidak hanya berkaitan dengan Allah (hablum minallah), tapi juga sesama manusia (hablum minannas) dan lingkungan (hablum minal alam).

Ini merupakan wujud paradigma dalam Alquran yang mengajarkan pentingnya berpegang teguh pada keimanan yang melampaui batas ruang dan waktu. Ini juga merupakan keyakinan umum di banyak agama, bahwa amalan seseorang di dunia akan terbawa hingga akhirat (“as above, so below”).

Para aktivis muda ini berlandaskan pada berbagai referensi Alquran tersebut untuk menjelaskan kewajiban moral mereka untuk terlibat dalam konservasi dan perbaikan kondisi alam. Kemurnian alam dipandang sebagai cerminan dari kesempurnaan ciptaan Tuhan yang penuh dengan kebaikan.

Mereka merasa memiliki tugas moral untuk mencegah orang Indonesia lain melakukan pencemaran lingkungan. Mereka juga berkampanye secara aktif untuk kembali mengajak para pencemar yang beragama Islam di daerah mereka untuk kembali pada nilai agama.

Misalnya, responden menunjukkan suatu kaos yang menggambarkan bulan sabit dan bintang, dengan tulisan: “Bahkan saat kiamat tiba, jika seseorang memegang tunas kelapa di tangannya, ia sebaiknya menanamkannya.”

Para aktivis muda terkadang mengibaratkan perjuangan lingkungan mereka sebagai suatu perjalanan menantang yang dipandu oleh Tuhan. Namun, mereka tidak berkecil hati karena mereka percaya akan diberikan imbalan di akhirat karena telah berupaya sebaik mungkin menjadi khalifah.

Landasan Moral untuk Aksi Hijau

Dalam gerakan “Islam hijau” yang baru, aktivis Muslim muda menggunakan wawasan keagamaan mereka untuk membangun suatu komunitas yang kritis dan bersemangat untuk menjaga dunia alam.

Gerakan “Islam hijau” kini semakin penting karena menawarkan logika moral untuk memajukan aksi lingkungan di dunia.

Sebaliknya, banyak strategi sekuler untuk mitigasi krisis iklim sekadar berlandaskan pada klaim ilmiah yang sulit dijelaskan pada masyarakat, atau nilai global yang abstrak, yang bisa jadi susah diresapi secara personal dan spiritual.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Pamela Nilan adalah Professor Sosiologi University of Newcastle dan Gregorius Ragil Wibawanto adalah Dosen Sosiologi Fisipol UGM.