Women Lead Pendidikan Seks
July 21, 2020

Banyak Jalan Menuju Roma: Siasati Aturan Nikah Beda Agama

Aturan pernikahan beda agama semakin ribet, tapi ada banyak jalan menuju Roma.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Lifestyle
Interfaith Marriage Sarah Arifin 39 Thumbnail, Magdalene
Share:

Menjalin hubungan beda agama di Indonesia memang bukan perkara gampang. Selain habis dijulidin semua orang, hubungan beda agama juga sulit dibawa ke jenjang pernikahan. Alasan regulasi yang tidak mendukung ditambah restu orang tua yang tak kunjung dikantongi membuat banyak pasangan beda agama akhirnya mundur pelan-pelan. Atau jika sudah buntu, solusi paling mentok adalah mengubah agama di KTP agar sesuai persyaratan. 

Selama ini dasar pelarangan pernikahan beda agama selalu mengacu pada Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Namun pada kenyataannya aturan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi politik serta iklim beragama di Indonesia. “Julia”, 55, yang seorang Katolik misalnya, menikah dengan suaminya yang Protestan pada 1985 tanpa kendala berarti dalam mencatatkan pernikahannya secara sipil. Menurutnya, dulu pernikahan beda agama jamak dilakukan dan tidak jadi masalah seperti sekarang ini.

“Dulu sih saya ya tinggal nikah aja, enggak kayak sekarang, katanya pihak pencatatan sipilnya banyak yang menolak. Saya bahkan enggak nikah gereja dulu, langsung catatan sipil, lancar-lancar aja,” ujar Julia kepada Magdalene.

Sulitnya menikah beda agama dirasakan Pemimpin Redaksi Magdalene.co, Devi Asmarani, yang menikah dengan suaminya yang muslim pada 2004.

“Waktu itu sedang susah-susahnya, kebanyakan orang menikah di luar negeri. Untung ada satu lembaga yang mau memfasilitasi,” ujar Devi, yang beragama Kristen.

“Zaman ibu saya dulu malah lebih gampang, itu tahun 1968. Karena orang tua saya berbeda agama juga, mereka menikah di catatan sipil dan mudah aja,” ujarnya.

Meski pencatatan pernikahan beda agama sulit dilakukan di Indonesia, tapi selalu banyak jalan menuju Roma. Asal  mau berusaha lebih dan mengeluarkan energi ekstra, pernikahan beda agama yang legal serta dicatat negara sangat mungkin dilakukan. Ada celah aturan yang bisa digugat karena UU Perkawinan 1974 sebetulnya tidak pernah melarang selama pernikahan disahkan oleh lembaga agama yang bersangkutan.

Pencatatan di dalam negeri

Beberapa daerah di Indonesia memang melarang keras pernikahan beda agama, contohnya Depok yang tidak mau sama sekali mencatatkan status warganya yang menikah beda agama. Namun ada juga kantor catatan sipil yang mau menerima pencatatan pernikahan beda agama, di antaranya di Yogyakarta, Salatiga, Surabaya, dan Bali. Sayangnya, ini hanya berlaku bagi warga yang memiliki KTP di daerah-daerah tersebut.

Baca juga: Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama

Keribetan mencatatkan pernikahan dialami Ikhaputri Widiantini, seorang Katolik, yang menikah dengan pasangannya yang penganut Aliran Kepercayaan pada 2017 di Gereja Katolik, dengan dispensasi yang diberikan Romo Paroki.

“Kalau di Katolik itu memang bisa, jadi si pasangan enggak harus pindah Katolik. Cuman harus ada dispensasi gereja. Yang surat keterangan menikah tanpa paksaan di catatan sipil,” ujar Ikhaputri, 36.

Karena ada kendala administrasi, Ikhaputri baru bisa mengurus pencatatan pernikahannya setelah tiga tahun pemberkatan. Tapi ia kemudian terbentur perubahan aturan hingga harus mengurusnya di pengadilan.

“Pada 2017 awal, surat keterangan tidak ada paksaan bagi non-Katolik untuk pemberkatan di gereja itu bisa didapat dengan mudah. Karena sudah tiga tahun, surat itu sudah tidak berlaku, dan untuk memperpanjangnya ternyata sudah tidak bisa. Saat saya mau ngurus, kantor catatan sipil di Jakarta Selatan bilang enggak bisa lagi, jadi harus lewat pengadilan,” ujar Ikhaputri.

“Padahal teman saya menikah beda agama yang perempuannya Islam, suaminya Protestan, pernikahan mereka dicatat, tanpa masalah,” ujar dosen Filsafat di Universitas Indonesia tersebut.

Meski sempat syok karena harus lewat jalur pengadilan, Ikhaputri tetap mengikuti proses yang ada. Kendala lain datang ketika ia hendak meminta surat perpanjangan statusnya ke kelurahan Grogol Selatan. Alih-alih membantu Ikhaputri, pihak kelurahan justru menasihatinya bahwa di Indonesia tidak bisa menikah beda agama dan menyuruhnya ke luar negeri saja.

“Saya bawa dokumen Undang-udang Perkawinan itu dan saya bilang ke mereka, ,aturannya saja enggak melarang. Jadi mereka sebenarnya enggak begitu mengerti tentang aturannya. Udah ke luar negeri saja, katanya. Tapi kan enggak semua orang sanggup ke sana,” ujarnya.

Untungnya, menurut Ikhaputri, proses di pengadilan tidak serumit itu. Ia hanya cukup merunut semua bukti kejadian secara kronologis, kemudian mengisi berkas-berkas pengaduan yang diberikan pengadilan. Ketika persidangan digelar, dia diharuskan membawa dua saksi, terutama yang datang menghadiri pernikahan. Seminggu kemudian dia dipanggil untuk pengumuman keputusan.

“Hasilnya adalah, pernikahan kami tidak melanggar hukum apa pun dan sah, dan Dinas Pencatatan Sipil harus mencatat pernikahan kami. Jadi jangan takut ya bagi yang mau menikah beda agama, selalu ada jalan asal kita mau usaha lebih,” kata Ikhaputri.

Baca juga: Sampai Keyakinan Pisahkan Kita? Tumbuh Besar dengan Orang Tua Beda Agama

Dana yang dikeluarkan untuk kepentingan administrasi pengadilan hanya Rp146 ribu.

Lain lagi dengan Teraya Paramehta, 35, yang melakukan dua kali prosesi pernikahan, yaitu Kristen sesuai dengan keyakinannya dan Islam, keyakinan suaminya. Pasangan yang menikah pada 2012 ini mencatatkan pernikahan mereka di Tangerang Selatan. Menurut Teraya, menemukan tokoh agama yang menoleransi pernikahan beda agama menjadi kunci keberhasilan pernikahan mereka.

“Jadi pernikahan kami itu dua kali di hari yang sama, kami menemukan pendeta dan ulama yang memiliki pandangan yang sama dengan kami. Pendeta mendaftarkan ke pencatatan sipil, dan kami juga mendapatkan sertifikat atau akta nikah sesuai syariat Islam, tapi bukan buku nikah yang dikeluarkan KUA (Kantor Urusan Agama),” ujar Teraya, yang sedang menempuh pendidikan doktor di Los Angeles, AS.

Keterlibatan lembaga agama ke pencatatan sipil menjadi penting karena sesuai aturan dalam UU Perkawinan, pernikahan baru sah apabila lembaga agama masing-masing menyebut itu sah, sehingga Dinas Pencatatan Sipil tidak punya alasan untuk menolak pencatatan pernikahan beda agama.

Walaupun tidak mendapat buku nikah sebagaimana umumnya, pernikahan Teraya tetap legal karena yang menentukan legalitas pernikahan adalah Catatan Sipil. Dokumen yang dibutuhkan pada saat itu cukup standar, yakni KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, surat keterangan belum menikah, dan izin RT/RW setempat, ujarnya.

Di Indonesia sendiri ada lembaga Indonesian Coference on Religion and Peace (ICRP) yang dikenal bisa membantu pernikahan beda agama serta konsultasi pernikahan. ICRP biasanya membantu solusi pernikahan dan pencatatan sipil, dan mereka sudah menikahkan hampir 800 lebih pasangan beda agama di Indonesia.

“Setiap pasangan mengalami hal yang berbeda-beda, dibentuk oleh pribadi yang berbeda-beda, dan menghadapi tantangan yang berbeda-beda pula. Jadi, hanya karena satu pernikahan beda agama itu berhasil, bukan berarti ada formula khusus yang bisa dilakukan semua pasangan beda agama,” kata Teraya.

“Begitu pun sebaliknya, bila ada satu pasangan beda agama yang tidak berhasil, bukan berarti pula semua pasangan beda agama akan hancur. Jadi intinya jangan berhenti berusaha mencoba berbagai cara,” ujarnya.

Menikah di luar negeri

Bagi yang mampu, menikah di luar negeri menjadi pilihan utama saat ogah menghadapi birokrasi di Indonesia. Beberapa negara seperti Australia, Singapura, Thailand dan Hong Kong merupakan destinasi mayoritas orang Indonesia yang melakukan pernikahan beda agama.

Baca juga: 5 Alasan Kita Harus Berhenti Merecoki Pasangan Beda Agama

Nadia Anindita Utami, misalnya, memilih menikah di Hong Kong pada Desember 2018 lalu setelah gagal mendaftarkan pernikahannya karena ia  Kristen sedangkan pasangannya Islam.

“Aku konsultasi sama pasangan lain yang berhasil menikah di Indonesia. Tapi waktu kita mengurus sendiri, ternyata ada sistem baru yaitu pendaftaran online. Nah, kalau beda agama itu langsung ditolak sama sistem. Padahal awal tahun 2018 itu kita tanya masih bisa ke catatan sipil. Akhirnya kita nyerah, udah enggak ada lagi celah untuk nikah di Indonesia,” ujar perempuan berusia 29 tahun itu.

Ia kemudian mencari tahu tentang pernikahan di luar negeri. Menurutnya, meski tergolong lebih dekat, Singapura punya persyaratan cukup ketat yaitu harus tinggal dulu selama 14 hari, sehingga opsi menikah di Singapura tak jadi pilihan karena biayanya tinggi.

Aturan di Thailand tidak seketat di Singapura, namun persoalannya pada alih bahasa karena semua dokumen harus diterjemahkan. Akhirnya Hong Kong menjadi pilihan yang paling realistis dan lebih terjangkau.

“Proses pendaftaran pernikahan di Hong Kong cukup sederhana dan yang terpenting bisa dilakukan lewat email. Mereka fast response banget. Jadi kita isi data diri, sampai kita mau pilih nikah tanggal berapa, dan enggak ada yang tanya agama kita apa. Ya nikah sipil aja begitu, enggak peduli agamanya apa,” ujar Nadia.

“Terus kita ke notaris dan legalisir semua dokumen, yang dikirim melalui pos ke Hong Kong. Kalau semua persyaratan sudah aman dan lengkap, dalam waktu seminggu mereka bakal menghubungi kita. Nah emailnya itu yang memberi informasi kita bisa nikah tanggal berapa, nanti ada info kita nikah di mana, dan jam berapa,” tambah Nadia.

Nadia sudah harus ada di Hong Kong tiga hari sebelum pernikahan untuk konfirmasi. Persyaratan lainnya adalah harus membawa dua orang saksi, yang bisa diwakili siapa saja. Biaya administrasi pernikahan di Hong Kong adalah Rp2,8 juta.

“Dua saksi ini bebas mau siapa saja. Misalnya mau bayar orang untuk jadi saksi pun enggak apa-apa. Sudah beres dapat akta nikah dari Hong Kong, tinggal catat di Indonesia, tujuh hari kerja kelar,” ujarnya.

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.