"Ibu miris, nak!” ujar ibu saya. “Ibu miris melihat anak Ibu memasak di dapur, sementara istrinya pergi bekerja.”
Ibu menyampaikan kesedihannya karena melihat saya menjemur pakaian sambil menggendong anak. Saya paham dengan keresahan Ibu. Tetapi Ibu tidak paham dengan misi saya sebagai bapak rumah tangga.
Di Indonesia, menjadi bapak rumah tangga masih dipandang sebelah mata. Namun negara-negara maju sudah lama memakluminya. Jepang, misalnya, belakangan ini dipuji karena kebijakan memberikan cuti selama tiga bulan kepada ayah yang istrinya baru saja melahirkan. Untuk mendorong lebih banyak laki-laki Jepang mengambil cuti itu, Menteri Lingkungan Hidup Shinjiro Koizumi telah mengumumkan bahwa ia akan mengambil paternity leave tersebut.
Pemerintah Jepang sejak tahun 2010 sudah menganjurkan ayah lebih banyak meluangkan waktu di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Bahkan ada sebuah proyek yang dijalankan oleh pemerintah Jepang melalui Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja, yaitu “ikumen”. Ikumen adalah campuran dari kata Jepang “Ikuji” yang berarti anak dan “men” dari bahasa Inggris yang artinya laki-laki. Intinya adalah mengajak para ayah untuk lebih terlibat dalam perkembangan anaknya.
Kampanye ini tercetus karena pemerintah menganggap tingkat stres yang sudah tinggi pada penduduk Jepang terus naik. Para ayah bekerja keras, sementara para ibu tidak memiliki ruang gerak lain ketika harus mengurusi semua urusan rumah tangga.
Baca juga: 'Keluarga Cemara' dan Hilangnya Peluang Tampilkan Peran Setara Suami Istri
Saya pernah membaca sebuah tulisan dari seorang profesor Sosiologi dan Antropologi di perguran tinggi AS. Dalam tulisannya, ia mengatakan sebuah negara yang tidak serius mencetak generasi yang baik akan berakibat fatal untuk masa depan negaranya. Padahal, bagaimana bisa merawat anak secara serius dan benar jika ayah stress oleh pekerjaan dan ibu tidak punya bala bantuan di rumah?
Orang tua yang tidak seimbang hidupnya tentu sangat berdampak buruk pada anak yang butuh pendampingan secara sehat, baik jasmani dan rohani. Orang tua memiliki peran penting dalam hal itu.
Sudah lama sistem yang menempatkan ibu hanya pada urusan dapur dan ayah bekerja di luar rumah, tidak dapat lagi menjawab tantangan masalah-masalah keluarga zaman sekarang. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat memerlukan pengawasan pertumbuhan anak dengan serius dan seimbang.
Kembali pada konsep Ikumen di Jepang, setelah dijalankan hampir lima tahun sejak kampanye ini dipublikasikan, tercatat ada pertumbuhan ekonomi di Jepang. Tingkat indeks kebahagiaan juga secara perlahan meningkat pada penduduk Jepang.
Masako Ishii-Kuntz, Profesor Sosiologi Universitas Ochanomizu di Tokyo mengatakan pertumbuhan ekonomi ini disebabkan karena perusahaan lebih mudah merekrut karyawan, tanpa khawatir karyawan perempuan tidak akan kembali bekerja lagi setelah melahirkan sehingga tidak menghambat produktivitas perusahaan. Indeks kebahagiaan meningkat karena mulai adanya kembali rasa percaya diri bagi penduduk Jepang untuk menikah dan memiliki anak. Sebab Jepang pernah berada dalam fase krisis kependudukan di mana penduduk senior lebih mendominasi daripada usia produktif oleh karena generasi muda Jepang enggan menikah dan memiliki anak.
Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?
Konsep Ikumen ini bahkan perlahan disambut dengan baik oleh orang tua muda di sana. Salah satunya oleh Mamoru Hosoda, seorang sutradara animasi. Ia membuat film animasi yang menceritakan sebuah proses pasangan suami-istri yang menemukan solusi kebahagiaan bagi keluarganya yaitu suami menggantikan peran ibu saat anak keduanya lahir dan membiarkan ibunya bekerja. Judul film itu Mirai dan telah masuk nominasi sebagai film animasi terbaik di Academy Award pada tahun 2019.
Tantangan terbesar bagi keluarga yang memilih konsep bapak di rumah dan ibu bekerja adalah bagaimana konsep itu masih dianggap bukan hal yang normal. Bahkan sangat sulit untuk membuat mertua mengerti kondisinya.
Ketika ibu saya menyatakan keprihatinannya karena saya masak di dapur, yang dapat saya lakukan untuk mereka paham adalah memperlihatkan bahwa anak saya tumbuh dengan baik dari segi emosi dan materi. Menjadi bapak rumah tangga bukan berarti seorang ayah tidak dapat mencari pendapatan. Saya masih mendapatkan pendapatan dengan menerima pekerjaan lepasan (freelancer). Kehadiran teknologi internet dan hadirnya e-commerce memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkan pendapatan dari rumah.
Lalu, mengapa tidak ibu-nya saja yang mencari pendapatan tambahan di rumah?
Rasanya akan berbeda. Seorang ayah yang tidak pernah mengurus rumah tangga, sering merasa berat hati jika Ibunya memiliki kesibukan lain selain urusan anak dan rumah. Selain itu, akan sulit baginya memahami beratnya mengurusi anak dan rumah sekaligus sendiri.
Saat seorang ayah meluangkan waktu untuk mengurus rumah tangga, ia akan memahami bahwa rumah tangga bukan soal tugas yang dibagi-bagi secara kaku. Rumah tangga adalah soal-soal yang dihadapi suami-istri secara bersama untuk mencapai kenyamanan kedua belah pihak.
Comments