Kamu atau orang dekatmu menderita diabetes? Diabetes diakibatkan oleh gangguan metabolik kronis. Itu ditandai dengan kadar gula darah melebih batas normal, adalah salah satu penyakit yang menyebabkan jumlah kematian tertinggi di Indonesia setelah stroke dan jantung. Diabetes juga merupakan penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan risiko serius lainnya.
Minimal 5 orang meninggal akibat diabetes di dunia setiap 5 detik sekali. Sekitar 537 juta orang hidup dengan diabetes. Penyakit ini juga bertanggung jawab atas 6,7 juta kematian pada 2021 - sebuah angka yang lebih tinggi dari total kematian akibat COVID-19 sejak 2020 hingga November 2022.
Data International Diabetes Foundation menunjukkan, sebagian negara di Asia berada dalam kondisi yang sangat parah. Misalnya, di Pakistan sedikitnya 31 persen penduduknya mengidap diabetes. Di Indonesia, walau hanya diperkirakan 11 persen, namun angka ini setara dengan 30 juta penduduk.
Salah satu faktor signifikan yang meningkatkan kadar gula darah adalah konsumsi produk olahan beras. Produk olahan ini adalah makanan yang sangat berbahaya bagi penderita diabetes. Masalahnya adalah nutrisi rendah kandungan gula (karbohidrat) cukup mahal bagi penduduk di negara-negara berpendapatan rendah-menengah seperti Indonesia.
Memang tren meningkatnya diabetes ini tidak semata-mata diasosiasikan dengan peningkatan asupan karbohidrat saja. Ada faktor lainnya, termasuk tren penurunan aktivitas fisik, meningkatnya status sosial ekonomi, dan perubahan gaya hidup masyarakat.
Baca juga: Apa itu 'Mindful Consumption': Agar Tentram Lahir Batin Saat Belanja
Mahalnya Nutrisi Rendah Karbohidrat
Diabetes sesungguhnya sudah menjadi epidemi global.
Di seluruh dunia, jumlah orang yang hidup dengan diabetes diproyeksikan meningkat menjadi 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045. Dari sisi pendanaan, tahun lalu saja, diabetes menyedot anggaran kesehatan US$966 miliar atau sekitar Rp15.000 triliun) atau 9 persen total pengeluaran kesehatan untuk orang dewasa di seluruh dunia
Ada dua jenis diabetes: Diabetes melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 1 terjadi saat kadar gula meningkat akibat sel beta pankreas rusak sehingga tidak bisa memproduksi hormon insulin yang bertanggung jawab untuk mencerna kadar gula dalam darah. DM tipe 2 lebih disebabkan oleh kenaikan kadar gula karena menurunnya sekresi insulin yang rendah oleh kelenjar pankreas.
Sedikitnya, 541 juta orang dewasa di dunia memiliki Gangguan Toleransi Glukosa (IGT), yang menempatkan mereka pada risiko tinggi diabetes tipe 2.
Masalah diabetes ini begitu pelik. Dalam teknologi pengobatan hingga kini, DM tidak dapat disembuhkan. Namun, kadar gula darah dapat dikelola. DM tipe 1 umumnya tidak bisa dicegah, dan kebanyakan terlambat diketahui.
Sementara itu, DM tipe 2 terjadi akibat perilaku dan gaya hidup, termasuk diet yang tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Berbagai studi menyarankan kombinasi aktivitas fisik dan diet sehat dapat menunda atau mencegah timbulnya diabetes tipe 2.
Adapun pendekatan mainstream untuk pencegahan dan penanggulangan diabetes adalah melalui kampanye kesadaran, pendidikan, dan akses layanan para penyintas.
Diet pun memegang peranan penting. Salah satu masalah bagi masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah dan sedang (NPRS) dalam hidup bersama diabetes adalah minimnya akses dan pilihan diet rendah karbohidrat yang tersedia secara murah dan praktis.
Salah satu ukuran kualitas diet adalah pada ukuran asupan Glycemic Index (GI) atau Indeks Glikemik yakni panduan asupan karbohidrat bagi penderita DM. GI Rendah ≤55; Sedang 56–69; dan Tinggi ≥70. Makin tinggi GI, makin buruk buat kesehatan. Makin rendah (menuju arah 30 ke bawah) makin baik buat kesehatan.
Contoh makanan berkadar protein tinggi seperti kacang tanah, rerata GI 14.
Makanan khas Indonesia seperti tempe dan tahu memiliki rerata GI 15. Telur memiliki GI antara 0-1. . GI beras putih di pasaran bisa mencapai di atas 77.
Namun, GI hanya menceritakan sebagian dari cerita. Masyarakat perlu mengetahui seberapa cepat makanan tersebut membuat karbohidrat memasuki aliran darah dan berapa banyak karbohidrat yang dapat dihasilkan per sajian. Variable tambahan yang penting diketahui adalah beban glikemik (glycemic load/GL).
Secara umum, produk olahan beras bisa mencapai GI 100. Dalam takaran yang tak dibatasi, artinya begitu masuk dan diolah pencernaan, karbohidratnya mirip banjir masuk dalam darah, memperparah metabolisme tubuh dan meningkatkan risiko kegagalan organ. Bila dalam takaran yang sedikit, GL-nya juga sedikit.
Sedangkan semangka, memiliki Indeks Glikemik lebih tinggi dari nasi (80) - tapi satu porsi kecil semangka memiliki karbohidrat yang sangat sedikit sehingga GL-nya hanya 5.
Asupan Beras Ramah Diabetes
Diet tinggi kadar pati (starch atau karbohidrat) hanya salah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap epidemi diabetes.
Beras adalah salah satu sumber utama karbohidrat dan lebih dari 3 miliar manusia di dunia mengkonsumsi nasi secara rutin.
Salah satu fakta yang mengkhawatirkan adalah tiga dari empat orang dewasa pengidap diabetes, hidup di negara-negara berpenghasilan rendah dan sedang (NPRS). Pilihan beras tentunya juga terkait harganya yang relatif terjangkau.
Bagi banyak masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di Asia, karbohidrat masih mendapatkan porsi yang signifikan dalam diet sehari-hari. Beras putih masih menjadi sumber utama.
Proses penggilingan beras yang dipoles cenderung menghilangkan secara total butiran serat dedak dan mengubah struktur kernel yang juga mengeluarkan kadar antioksidannya.
Para ahli melihat ada asosiasi yang kuat antara penggantian konsumsi beras yang ditumbuk atau digiling dengan beras putih poles dalam 6 dekade terakhir, dengan kejadian prevalensi diabetes di daerah perkotaan di Asia.
Sejauh ini, kebijakan perberasan para pemerintah di Asia, masih berfokus pada jenis beras yang tinggi produktivitasnya. Pasar secara umum masih fokus pada beras gurih (umumnya berjenis pulen) yang umumnya berkadar GI tinggi.
Walau demikian, kami melihat ketimbang menjadikan beras sebagai musuh diabetes secara total dengan peralihan pada sumber diet alternatif rendah karbohidrat, sesungguhnya ada beberapa jalan keluar. Kita perlu melihat secara detail sistem asupan beras, karakteristik beras dan perlakuan pada proses masak beras yang lebih memberi harapan bagi para keluarga berpendapatan rendah.
Penting bagi kita untuk memahami ragam karakteristik beras dengan kandungan pati atau GI yang rendah sebagai upaya yang lebih efisien dalam menghadapi risiko diabetes baik pengidap maupun yang masih pra-diabetes.
Beras putih yang gurih seperti jasmine memiliki angka GI di atas 77. Beras merah seringkali dijadikan alternatif asupan pengidap diabetes karena kandungan antioksidan dalam senyawa anthocyanin dan kandungan GI 55. Sayangnya, harga beras merah menjadi tinggi karena ketersediannya terbatas.
Baca juga: #BodyGoals Alias Jadi Nyaman dengan Tubuh Sendiri
Umumnya beras tipe butir panjang (long grain) dianggap lebih baik karena kandugan GI-nya rendah. Salah satu jenis long grain adalah beras basmati yang digemari masyarakat Asia Selatan tapi kurang disukai masyarakat Asia Tenggara dan Asia Timur, kadar GI-nya berkisar 50-58. Harga per kilo gramnya paling murah Rp35 ribu di Jakarta atau tiga kali lipat harga beras yang umum dikonsumsi masyarakat kelas bawah. Beras artifisial jenis analog sering jauh lebih mahal.
Masalahnya adalah ada variasi yang lebih beragam, baik dalam kategori long-grain maupun kategori beras basmati itu sendiri. Hal ini menyulitkan panduan praktis bagi para komsumen karena kadang terlihat ada kontrakdiksi dan rumitnya komunikasi ilmu para ahli.
Foto di atas adalah visualisasi perbandingan panjang antara basmati cokelat dan basmati XXL. Disebut XXL karena setelah dimasak panjangnya bisa mencapai 20-22 milimeter. Kadang bisa kita ringkas bahwa, makin panjang beras tanak, makin baik buat kesehatanmu. Sebagai perbandingan, rata-rata beras jasmine panjangnya hanya 7-9 mm.
Alternatif karbohidrat biasanya sangat mahal bagi yang miskin.
Salah satu solusinya adalah beras pera (pero dalam bahasa Jawa) –jenis beras yang diberikan ke pegawai negeri sipil dari Bulog dan harganya lebih murah – menghasilkan nasi yang teksturnya keras dan kering. Karena teksturnya keras, maka membutuhkan waktu lebih lama diproses dalam saluran cerna. Bila dikonsumsi secara terukur, gula darah tidak cepat melonjak secara tiba-tiba. Beras pera, walau tidak gurih, membuat kenyang lebih lama.
Konsumsi beras pera bisa diterapkan di skala rumah tangga. Pemerintah mestinya tidak hanya memberikan insentif produksi beras pera, tapi juga menerapkan strategi pendidikan publik yang lebih sistimatis terkait asupan yang ramah pada pengidap diabetes.
Kita harus mendesain ulang sistem pangan dengan memberi ruang bagi sumber pangan utama dan lokal yang rendah kadar gulanya. Hal ini akan memberikan dampak jangka panjang yang baik bagi kesehatan dan mengurangi pengeluaran kesehatan publik.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments