Women Lead Pendidikan Seks
August 05, 2020

Benarkah Menikah dengan Feminis itu Ribet?

Suami-suami yang menikahi perempuan feminis mengatakan alih-alih ribet, mereka merasa beban rumah tangga menjadi lebih ringan.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Lifestyle
Share:

“Emang siapa sih yang mau menikah sama feminis?”

“Apa-apa disebut patriarki, ribet banget punya hubungan sama feminis.”

“Siapa juga yang bakal suka sama feminazi kayak lu.”

Belakangan kata-kata menyerang feminis semacam itu sering sekali berseliweran di media sosial. Banyak yang menuduh jika feminis itu ribet sehingga akan susah mendapatkan pasangan. Belum lagi ada yang beranggapan bahwa feminis itu fobia keluarga karena selalu mempermasalahkan posisi perempuan dalam rumah tangga.

Sayangnya, pemberian label kepada feminis tersebut tanpa dibarengi dengan pemahaman secara utuh tentang apa sebetulnya yang diperjuangkan oleh feminisme. Padahal jika mau belajar lebih, patriarki tidak hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki. Konsep kesetaraan yang selama ini disuarakan feminis justru memberikan ruang untuk pasangan saling bekerja sama dan berbagi beban.

Penulis Agus Mulyadi, suami dari aktivis gender Kalis Mardiasih, misalnya, tidak pernah merasa menjalin hubungan dan rumah tangga dengan seorang feminis itu ribet seperti yang disebut banyak orang. Menurutnya, menikah dengan perempuan yang melek isu sosial serta mengedepankan kesetaraan justru menguntungkan.

Selama menjalin rumah tangga dengan Kalis, Agus mengatakan ia tidak menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang harus menanggung semua kebutuhan sang istri sebagaimana aturan normatif orang Indonesia. Keduanya bersepakat untuk berbagi peran, baik untuk pekerjaan domestik maupun dalam permasalahan ekonomi, ujarnya.

“Sedari awal aku sudah tahu kalau Kalis memang aktif bergiat di dunia aktivisme kesetaraan perempuan. Sebelum nikah kami bikin semacam perjanjian pranikah. Jadi dalam rumah tangga kami tidak ada kepala keluarga dalam bidang ekonomi, misalnya. Aku dan Kalis itu benar-benar patungan 50-50. Dari awal benar-benar tidak ada batasan. Siapa yang memang mampu membantu ya langsung saja membantu,” ujar Agus kepada Magdalene.

Ia menambahkan, sejak menikah dengan Kalis, ia banyak belajar tentang tanggung jawabnya untuk membantu pekerjaan domestik. Sebagai sulung laki-laki yang hidup dengan ibu dan adik-adik perempuan, Agus hanya fokus pada sekolah dan bekerja, karena pekerjaan domestik selama ini selalu dikerjakan oleh ibu serta adik-adiknya. Meski awalnya ia mengaku sedikit sulit membiasakan diri dengan pekerjaan domestik, namun Agus terus belajar untuk melakukannya.

Baca juga: 10 Pemahaman Keliru Tentang Feminisme

“Kalis sering mengingatkan, kalau saya bantu mencuci piring, contohnya, itu bisa menghemat waktunya beberapa menit. Awalnya memang saya enggak terbiasa, tapi dijalanin aja sama-sama sadar,” ujar Agus.

Kerja sama adalah kunci

Manfaat kerja sama dalam pembagian peran rumah tangga turut dirasakan oleh Muhammad Shobar Al Amin, suami Sakdiyah Ma’ruf, komedian yang cukup vokal dengan isu-isu perempuan dan konservatisme agama. Bagi Shobar, banyaknya pelabelan kepada perempuan yang peduli pada isu sosial seperti istrinya itu akibat keterbatasan wawasan tentang konsep kesetaraan dan kerja sama dalam rumah tangga.

“Antara dua orang yang mau menjalin relasi itu harus memahami satu sama lain. Jadi ketika merasa ada jarak (dalam pengetahuan) ya bisa didekatkan atau diimbangi,” ujarnya.

Menurut Shobar, poin kerja sama antar pasangan itu yang seharusnya perlu dipahami secara utuh, bukan langsung memberikan label kepada feminis namun tidak mau paham dengan inti dari isu yang disuarakan. Dalam menjalani rumah tangga sebagai anggota tim yang baik, Shobar mempercayai kedua belah pihak harus saling memahami pekerjaan yang dilakoni pasangan, sehingga tanggung jawab pekerjaan dan urusan di rumah bisa berjalan selaras tanpa perlu mendebatkan apa peran istri dan apa peran suami.

“Sederhananya, ketika istriku butuh waktu untuk mengerjakan tugas-tugasnya aku akan handle pekerjaan-pekerjaan yang pada saat itu harus dikerjakan, seperti ngurus anak. Kalau aku ada kerjaan, istriku yang pegang anak. Ini bukan masalah kewajiban istri yang ngurus anak. Soal anak ini kan kewajiban kita berdua ya, itu namanya kerja tim,” tambah Shobar.

Sementara itu, aktivis dari Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), Wawan Suwandi memutuskan untuk menjadi seorang bapak rumah tangga hingga anaknya berusia tiga tahun. Menurut Wawan, pembagian peran setara di rumah menjadikan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan standar normatif masyarakat tak lagi tabu untuk dilakukan. Pilihannya untuk menjadi bapak rumah tangga tentu merupakan kesepakatan bersama antara dirinya dan istri, ujarnya.

Baca juga: Setara di Kasur, Mulai dari Sumur dan Dapur

“Istilah bapak rumah tangga itu sama dengan istilah ibu rumah tangga. Artinya seseorang ada di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas domestik. Pilihannya, saya atau istri yang bekerja, tapi istri lebih suka bekerja full time dan saya bisa menerima itu tidak apa-apa,” ujar Wawan yang sudah menjalani rumah tangga selama sepuluh tahun tersebut.

“Rumah tangga kami tidak mengenal kalau suami pendapatan harus lebih besar dari istri, karena konsep yang kami terapkan sejauh kita menghasilkan uang, ya kita lakukan itu,” ia menambahkan.

Menurut Wawan, penerapan konsep kesetaraan di rumahnya juga cukup membantu kesehatan mentalnya. Ia tidak lagi harus selalu tampil sebagai laki-laki serta kepala keluarga yang dominan dan kuat layaknya stereotip yang selama ini dibebankan kepada suami.

“Kami merasa relasi yang dibangun tanpa tekanan itu sangat enak untuk dijalankan. Berbagi peran ini sangat berpengaruh pada kesehatan mental,” ujar Wawan.

Toxic masculinity

Toxic masculinity yang lahir dari konstruksi sosial masyarakat patriarkal memberi beban kepada laki-laki untuk menjadi pihak yang selalu kuat dan dominan, termasuk dalam rumah tangga. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada sulitnya penerimaan padangan baru seperti feminisme yang menggugat hal-hal semacam itu. Padahal, adanya standar normatif yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah sedang perempuan di rumah saja, membuat keputusan laki-laki yang secara sukarela memilih untuk menjadi bapak rumah tangga seperti Wawan tidak lepas dari cibiran.

Wawan yang lebih lihai di dapur sering mendapat pertanyaan dan pernyataan mengejek dari tetangganya ketika ia tengah berbelanja sayur dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sadar bahwa konsep kesetaraan dalam rumah tangga belum menjadi sesuatu yang dinormalkan di Indonesia, Wawan biasanya melihat hal itu sebagai kesempatan untuk memberi tahu isu gender kepada ibu-ibu kompleks rumahnya.

“Kalau saya sih biasanya sengaja biar ditanya, nanti baru dapat kesempatan untuk menjelaskan. Kalau saya ngomongin konsep gender tanpa ada sebab nanti disebut gila. Belakangan, mereka malah curhat, suami mereka boro-boro mau masak, disuruh jagain anak bentar aja enggak mau. Dari sana baru mereka ngerti pentingnya pembagian peran,” ujar Wawan.

Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi

Ia mengatakan munculnya pelabelan atau “peringatan” agar tidak memilih pasangan feminis itu bisa jadi timbul dari toxic masculinity tersebut, terutama dari laki-laki misoginis.

“Maskulinitas itu sudah diterapkan sejak kecil. Saat laki-laki percaya akan hal itu dan melakukan hal itu dia tidak merasa bahwa itu sesuatu yang salah. Sementara teman-teman feminis kan melihat itu sebagai sesuatu yang salah. Laki-laki itu kan egonya cukup besar, ketika egonya dituding salah atau diserang dia akan marah. Jangankan mau mempelajari dan memahami, mau membaca atau mendengar saja itu sudah antipati,” kata Wawan.

Selain faktor toxic masculinity yang kadung mengakar di tatanan masyarakat kita, Agus mengatakan  label-label negatif terhadap feminis juga muncul karena ada beberapa pihak yang menyampaikan isu feminisme dengan cara yang tidak ramah kepada mereka yang awam. Hal itu diperburuk dengan orang-orang di sosial media yang gampang menggeneralisasi sesuatu secara sepihak, ujarnya.

“Stigma semacam itu memang jamak terjadi bukan hanya kepada feminis tapi pada banyak aliran. Termasuk pula Islam garis keras yang dianggap sebagai kelompok yang dikit-dikit haram. Padahal enggak semua orang yang Islamnya kuat itu suka mengharamkan sesuatu,” kata Agus.

“Sama kayak feminisme di mana orang melihat ada satu pihak yang suka meributkan segala sesuatu. Nah sayangnya pihak itu kemudian dianggap sebagai representasi feminisme. Seolah-olah feminis itu ribet. Padahal aku nikah sama Kalis bahagia-bahagia aja,” ujarnya.

Baik Agus, Wawan, maupun Shobar berpendapat bahwa memilih pasangan itu tidak seharusnya hanya berdasar pada pandangan orang. Begitu pun ketika kita tertarik dengan feminis. Pahami terlebih dulu apa yang mereka perjuangkan, jangan langsung antipati.

“Jangan banyak percaya kepada stigma orang. Sebelum kamu menjalani sendiri, cinta itu tidak bisa direpresentasikan dari pendapat orang lain. Kalau kamu tertarik dengan seorang feminis, ya cari tahu tentang feminisme itu apa. Tidak perlu takut mencintai seseorang hanya karena termakan label-label yang diberikan orang lain,” ujar Agus.

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.