Beberapa hari yang lalu, saya membaca artikel milik Inge Agustin berjudul Masuk Surga. Saya sepakat dengan pemikiran yang muncul dalam artikel tersebut, saya seperti membaca kata-kata yang selama ini terpaksa berdiam dalam otak saya. Kemudian, saya jadi teringat dengan kata-kata sakral yang selama ini selalu dibicarakan dengan teman-teman: pahala.
Pahala menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ganjaran Tuhan atas perbuatan baik manusia atau buah perbuatan baik. Dengan pengertian tersebut, kita semua yang hidup di dunia, berusaha untuk terus berbuat baik dan berharap kelak semakin banyak pahala yang dikumpulkan. Semakin banyak pahala semakin banyak pula kesempatan untuk masuk surga.
Tapi, apakah sesederhana ini? Berbuat baik lalu dapat pahala yang banyak lalu masuk surga? Mengapa dengan Tuhan sekali pun kita masih saja berlaku pamrih? Kenapa selalu ada kepentingan di balik aksi kita berbuat baik?
Saya tahu, hidup kita ini dijalankan dengan bahan bakar mimpi dan harapan. Umat beragama yang ada di dunia ini pasti mengharapkan untuk dapat banyak pahala dan masuk surga. Buat saya, itu tampak seperti kamu main di arena bermain, kamu kumpulkan tiket sebanyak-banyaknya, lalu kamu dapat hadiah, kamu bahagia.
Tapi, jika tidak, apakah kamu akan sedih berkelanjutan? Kenapa rasanya mengharapkan pahala ini seperti bertentangan dengan ilmu ikhlas yang selalu dikatakan oleh banyak orang? Iya, saya tak sepaham itu tentang ilmu ikhlas, masih banyak sekali yang belum saya ketahui. Tapi yang saya tahu, mengharapkan imbalan dari apa yang telah kita perbuat, bukanlah pengertian dari ikhlas.
Jika berkaca pada semesta yang kita pijaki saat ini, semesta akan selalu mencari kondisi seimbangnya. Jika kita berlebihan mengeksploitasi alam, maka dengan sendirinya alam itu sendiri akan menyeimbangkan dirinya (yang biasa kita sebut bencana). Karena kita merupakan bagian dari semesta tersebut, maka diri ini dan lingkungan sekitar akan selalu mencari kondisi seimbangnya.
Yang saya maksud di sini adalah saat kita berbuat baik dan buruk maka akan selalu ada timbal balik dari lingkungan sekitar kita. Karena hidup itu memang seimbang, tidak ada baik yang terlalu berlebihan maupun sebaliknya. Jika ada yang berlebihan maka semesta ini akan membuatnya seimbang lagi.
Dalam kondisi yang berlebihan, kita akan dengan mudah menghakimi orang lain yang berbeda pandangan. Menyebutkan ini dan itu sebagai hal yang haram, merupakan perkara mudah jika kita tak benar-benar tahu apa yang sebenarnya kita ketahui. Kita buta saat kita berlebihan. Padahal semua orang di dunia ini sama, yang berbeda adalah kondisi seimbang yang tercipta pada diri tiap manusia.
Mengutip kata-kata Inge Agustin, surga merupakan sebuah konsep. Bagaimana jadinya bila surga dan neraka itu ada di dunia ini? Bahwa kebahagiaan yang kita peroleh selama ini adalah hadiah dari Tuhan atas apa yang kita perbuat, dan kesedihan adalah sebuah pelajaran? Apakah kita akan terus berburu pahala dan mengejar surga padahal hadiah itu sudah diberikan setiap saat oleh-Nya? Dan apakah kita tidak mau mencicipi neraka padahal pelajaran berharga untuk menghargai hadiah dari-Nya diperoleh dari neraka tersebut? Bagaimana jika destinasi kita setelah tiada adalah kembali lagi pada-Nya, bukan berada di sisi-Nya, tapi ada di dalam-Nya?
Rasanya, Tuhan tak seperti orangtua kita, yang selalu memberikan imbalan atas semua hal-hal baik dan prestasi bagus di sekolah. Tuhan, zat yang tak terdeskripsikan yang ada di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Aku dan kamu sama, sama-sama dijiwai oleh zat kecil yang merupakan bagian dari Tuhan. Kenapa kita masih mengejar surga padahal Tuhan selalu ada bersamamu? Kenapa kita selalu berburu pahala padahal setiap hari hadiah itu selalu kita terima?
Kita, manusia, makhluk yang dibatasi akal dan pikiran, dan pemikiran kita tentang-Nya masih terbatas pada hadiah-hadiah juga hukuman-hukuman.
Tuhan tak terbatas, tak terdeskripsikan, dan jalannya tak akan pernah terduga.
Comments