Women Lead Pendidikan Seks
April 14, 2017

Game of Thrones: Bertahan Hidup ala Perempuan-perempuan Westeros

Serial 'Game of Thrones' menghadirkan representasi perempuan-perempuan yang bertahan hidup di dunia yang sangat "laki-laki".

by Sagitta Indriati
Culture // Screen Raves
Share:

Serial Game of Thrones yang tayang di saluran TV kabel HBO ini telah memancing banyak perhatian karena adegan-adegan berdarah dan penuh unsur seksual hingga ceritanya yang tidak mudah ditebak.

Diadaptasi dari novel A Song of Ice and Fire karya George R. R. Martin, GoT mengisahkan perebutan tahta di wilayah imajinatif, Westeros, yang digambarkan sebagai sebuah daratan yang dikuasai oleh tujuh kerajaan. Di antara tujuh kerajaan tersebut ada satu kerajaan yang memimpin, memerintah dari ibukota Westeros, King’s Landing.

Bagi sebagian penggemar serial ini, Westeros merupakan refleksi dari kehidupan nyata. Westeros adalah arena bagi para pemegang kekuasaan untuk saling berebut tampuk kepemimpinan dengan berbagai cara, membuat wilayah ini sangat tidak stabil dan penuh konflik. Konflik ini kemudian tidak hanya menerpa para pemegang kekuasaan, yakni para “Lord”, tapi juga berimbas pada keluarga mereka.

Dalam sistem sosial Westeros yang patriarkal, sangat sulit bagi perempuan untuk bertahan hidup dan memiliki hak atas dirinya sendiri. Apalagi dalam situasi konflik politik, mereka harus bertahan dua kali lebih keras daripada para pangeran dan anak laki-laki dalam keluarga. Anak-anak perempuan Westeros seringkali tidak lebih dari alat politik, dikawinkan atas dasar koalisi antar keluarga penguasa. Tekanan seperti itu membuat beberapa perempuan Westeros mengambil jalannya sendiri untuk tetap bertahan hidup dalam situasi sosial yang tidak menguntungkan mereka.

Menjadi Alpha Female ala Daenerys dan Cersei

Dalam ,musim 7 mendatang nampaknya dua alpha female ini akan head to head (dan menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu penggemar). Meski keduanya berada pada kubu yang saling berlawanan tapi harus diakui mereka berdua serupa: sama-sama mendobrak banyak norma sosial yang berlaku di masyarakat Westeros. Dampaknya, makian seperti bitch, whore, slut, dianggap tidak tahu sopan santun menjadi seperti makanan sehari-hari untuk mereka saking seringnya kata itu muncul. Bahkan di kalangan fandom (grup penggemar) ada istilah Battle of The Bitches untuk mereka, plesetan dari salah satu judul episode, Battle of The Bastards.

Gaya Daenerys dan Cersei ini bisa dibilang adalah cara bertahan hidup paling keras dan tajam, dengan menduduki puncak-puncak kekuasaan di Westeros yang sangat maskulin. Mereka sendiri bukannya tidak pernah terikat dengan laki-laki, karena sebelum mereka berada pada posisinya sekarang mereka pernah menikah dengan seorang raja. Namun setelah para raja itu mati, mereka memilih untuk berdiri sendiri di tengah kekuasaan, dan menjadi pusat kekuatan itu sendiri.

Membangun Aliansi ala Margaery

Jawaban seorang Margaery Tyrell saat ditanya “Do you want to be a queen?” adalah “No, I want to be The Queen”, menjelaskan prinsip hidupnya. Margaery mungkin sadar bahwa untuk berada di puncak kekuasaan seperti Daenerys atau Cersei adalah hal yang sulit dilakukannya. Namun alih-alih berpasrah diri, Ia menggunakan jalur lain untuk berada di posisi tersebut. Margaery memilih membangun aliansi dengan pemegang kekuasaan melalui pernikahan.

Prinsipnya untuk menjadi The Queen, membuat dirinya tidak hanya menjadi ratu yang patuh pada raja. Ia menjadi orang di belakang layar pada setiap keputusan-keputusan raja. Dengan mengambil jalur yang tidak terlalu berisiko mendapat cibiran, langkah Margaery ini membawa dirinya pada posisi yang lebih leluasa dalam kondisi sosial Westeros.

Sumber: HBO

Berada di Area Abu-abu ala Sansa Stark

Pada musim pertama serial ini, sosok Sansa Stark merupakan anak perempuan yang rapuh dengan mimpinya untuk dapat menikah dengan prince charming. Namun kenyataan membuat dirinya menyadari bahwa tidak ada hidup yang sedamai itu di Westeros. Ditambah kondisinya yang berakhir sendirian karena ditinggal mati ayahnya, dan suaminya yang psikopat, hal itu mengubah karakter Sansa yang naif menjadi lebih realistis dan tidak mudah percaya. Ia juga belajar bahwa untuk bertahan hidup di pusat Westeros, janganlah terlalu mengandalkan orang lain. Tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu pikirannya selain dirinya sendiri.

Sansa sendiri tidak setajam dan seagresif Daenerys, tidak pula seambisius Margaery. Ia tidak mau terlibat banyak dalam pusaran politik, keinginannya hanya ingin pulang ke rumah, meski nyatanya ia tetap harus tetap terlibat konflik kekuasaan.

Family, Duty, Honor ala Catelyn

Catelyn Tully adalah ibu dari lima anak yang keluarganya hancur karena konflik politik di Westeros. Awalnya ia sama sekali tak tertarik untuk masuk ke dalam pusaran politik Westeros. Namun setelah suatu kejadian menimpa anaknya, ia memantapkan diri untuk mencari keadilan. Catelyn bisa saja diam dan merelakan apa yang telah terjadi pada anaknya, namun ia memilih untuk berjalan ke King’s Landing dan mencari keadilan di sana. Ia hampir tak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia hanya ingin membawa keadilan dan rasa aman untuk anak-anak dan keluarganya.

Berlatih Menjadi Prajurit ala Brienne dan Arya

Penampilan Arya Stark dan Brienne The Tarth tidak seperti “Lady” pada umumnya. Mereka lebih sering terlihat menggunakan baju selayaknya laki-laki, bahkan Brienne hampir selalu memakai baju zirah. Mereka memilih melepaskan atribut-atribut perempuan dan melatih diri sekuat tenaga agar mampu tampil tangguh. Tampil menggunakan atribut perempuan tidaklah aman untuk mereka, apalagi dalam masa pelarian. Bergaya maskulin dan terlihat tak terkalahkan rasanya lebih melindungi mereka dari ancaman luar, dan tentunya mereka memang sulit dikalahkan dalam pertarungan.

Membuat Sistem Sendiri ala Lyanna

Klan Mormont tempat Lyanna lahir mungkin satu-satunya klan di Westeros yang tidak mempunyai “Lord”. Mormont tidak mengikuti sistem mainstream Westeros, jadi sebetulnya Lyanna memang sudah terjaga dengan sistem di klan-nya. Tapi Mormont tetap berada di Westeros, sehingga jika ia keluar dari wilayah klannya, maka sistem Westeroslah yang berlaku. Dengan sistem genealogi yang matrilineal, klan Mormont hanya memiliki daerah kekuasaan yang kecil dan cenderung tidak meluas. Meskipun begitu, klan Mormont merupakan klan kuat yang sulit digeser.

Kisah serial Game of Thrones ini pada dasarnya memang tidak dibuat dengan tujuan yang feminis, bisa dilihat dari banyaknya adegan tanpa busana pada musim-musim awal untuk menarik perhatian penonton. Namun, seiring berkembangnya jalan cerita muncullah tokoh-tokoh perempuan yang mencuri perhatian, bahkan kebanyakan dari mereka kini menjadi inti dalam cerita yang sangat maskulin tersebut. Bagi saya, serial ini menghadirkan representasi perempuan-perempuan yang bertahan hidup di dunia yang sangat “laki-laki”.

Sagitta Indriati adalah blogger film dan penikmat dongeng. Blognya dapat dilihat di watchandwords.wordpress.com