Film atau serial TV pahlawan super sering kali menampilkan karakterisasi yang tak melulu hitam putih dan ada pesan tersembunyi di dalamnya. Di serial The Falcon and The Winter Soldier (2021) misalnya, Marvel Studios tak hanya jualan laga ciamik, tapi menyisipkan pesan anti-rasialisme yang dialami warga kulit hitam Amerika Serikat (AS).
Serial yang dibidani Kari Skogland itu mendadak jadi relevan dengan konteks Indonesia sekarang, bahwa white-washing juga terjadi di industri film dan produk-produk budaya populer kita. Bahkan dalam realitas sehari-hari di belahan timur Indonesia, perempuan-perempuan Papua dengan mudahnya digeser oleh artis berkulit terang, Nagita Slavina, di gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) hanya karena lebih “menjual”.
Baca juga: Black Lives Matter dan Bagaimana Dunia Iklan Bisa Dukung Kampanye Antirasialisme
Dalam salah satu episode serial The Falcon and The Winter Soldier tersebut, Sam Wilson atau The Falcon sang pahlawan berkulit hitam, ditegur polisi ketika bertengkar dengan Bucky Barnes atau The Winter Soldier. Polisi yang tidak mengenali Sam otomatis menuduhnya mengganggu Barnes yang berkulit putih, tanpa repot mengkonfirmasi. Adegan ini sepintas mengingatkan penonton akan kebrutalan polisi AS terhadap warga kulit hitam yang melahirkan gelombang protes Black Lives Matter (BLM).
Semangat BLM tidak hanya disisipkan ketika Sam dan Bucky didatangi oleh polisi. Tokoh John Walker pada serial televisi ini bertanya kepada penjahat yang membunuh Lemar, si pahlawan berkulit hitam, "Apakah hidup Lemar berarti?" Adegan ini sekaligus menyentak kesadaran kita, apakah nyawa orang-orang kulit hitam mudah ditebus dengan harga murah?
Serial ini tak mau tanggung mengupas rasialisme hanya di permukaan. Di beberapa bagian, kesulitan ekonomi penduduk kulit hitam juga ditampilkan dengan jelas. Wilson memang dikenal sebagai seorang pahlawan super, tapi ia super melarat hingga harus menjual aset keluarga serta memohon pinjaman bank.
Apa yang dialami Wilson adalah bukti bahwa kelompok kulit hitam AS bisa dengan mudahnya menjadi korban rasisme sistemis. Berbagai riset menunjukkan, kekayaan yang dimiliki oleh warga kulit putih dan kulit hitam di negara Paman Sam bisa saja sama. Namun, kesempatan yang diberikan seperti lapangan pekerjaan, rumah yang layak, serta pinjaman uang dari bank terlampau timpang. Sehingga, walaupun mungkin terwujud, kelayakan hidup masyarakat kulit hitam tidak akan bisa diraih semudah mereka yang berkulit putih.
Perjuangan Warga Kulit Hitam Dulu dan Sekarang
The Falcon dan The Winter Soldier juga menyelipkan sejarah kelamnya perjuangan warga kulit hitam di AS. Barnes memperkenalkan Wilson kepada seorang mantan pejuang kulit hitam, Isaiah Bradley, veteran Perang Korea yang secara sukarela menjadi kelinci percobaan di AS namun tidak diperlakukan secara manusiawi. Wilson yang baru mengetahui keberadaan Bradley akhirnya kian sadar bahwa ada problem rasisme serius di negaranya.
Baca juga: Pesan Anti-rasialisme dalam Islam 14 Abad Lalu Masih Relevan
Bradley sendiri ditampilkan sebagai sosok yang pesimistis bahwa pola pikir masyarakat AS tentang penumpasan rasialisme sudah cukup maju. Dia pula yang mengingatkan Sam akan konsep semu white hope yang hanya memberikan privilese pada kaum kulit putih, alih-alih pahlawan kulit hitam sepertinya.
Berikutnya, yang disampaikan Isaiah juga menjadi sentilan bagi publik dan media. Bahwa representasi orang berkulit hitam pada posisi yang kuat tidak ditampilkan sebanyak mereka yang berkulit putih. Ada beberapa ikhtiar untuk mendobrak itu dalam beberapa film pahlawan super lewat karakter Miles Morales di Spiderman, Kamala Khan di Miss Marvel, atau Chadwick Boseman di Black Panther. Namun, ini saja belum cukup.
Karena itulah, serial yang rilis usai protes BLM ini menjadi angin segar yang makin mengukuhkan bahwa artis kulit hitam sama pentingnya seperti artis kulit putih. Wilson hadir sebagai harapan. Alih-alih menolak peran sebagai Captain America yang baru, dia justru mengambil posisi tersebut untuk menginspirasi dan membantu orang lain. Seperti yang disampaikan oleh Wilson pada Bradley, akan sia-sia perjuangan nenek moyang mereka selama ratusan tahun melawan rasisme dan perbudakan apabila dia berhenti di situ saja.
Baca juga: Bagaimana Rasialisme Terbentuk dan Bertahan di Masyarakat?
Selamat Tinggal Supremasi Kulit Putih
Tidak hanya dari sudut pandang orang kulit hitam, The Falcon and The Winter Soldier turut menampilkan opini dari orang kulit putih. Hal ini terlihat ketika Barnes menyadari dia tidak akan pernah paham apa rasanya hidup sebagai warga kulit hitam. Barnes pun meminta maaf pada Wilsom akan abainya ia terhadap isu rasisme selama ini.
Dengan adanya white supremacy atau rasa superior warga kulit putih di AS, tidak semua orang mau legowo meminta maaf seperti Barnes. Namun, semoga serial ini menjadi pengingat bagi orang-orang soal kedudukan yang setara sebagai manusia antara warga kulit hitam dan putih.
Comments