Women Lead Pendidikan Seks
October 09, 2017

Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda

Olok-olok terhadap status janda mengandung bibit-bibit kekerasan dan turut andil mempertahankan KDRT.

by PR Ujianti
Issues // Politics and Society
Share:
Sebuah kelakar soal janda membuat saya memutuskan keluar dari sebuah grup WhatsApp. Saya pergi begitu saja, tanpa pamit atau sedikit basa-basi ucapan selamat tinggal, sebagai bentuk protes karena lagi-lagi status janda dijadikan bahan olok-olok. Miris juga, karena grup itu menggunakan bendera akademisi.
 
Terlepas dari status saya sendiri sebagai perempuan bercerai dan orang tua tunggal dari dua anak, saya merasa betapa entengnya kita menjadikan kondisi orang lain yang dianggap tidak memenuhi standar masyarakat sebagai bahan olok-olok agar kita menjadi pusat perhatian dan obrolan menjadi meriah.
 
Kata ‘janda’ sendiri, menurut kamus, berarti perempuan yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Pada awalnya kata ini bermakna netral, namun lama kelamaan mengalami pembusukan. Seiring stigma negatif yang dilekatkan masyarakat pada perempuan yang tidak bersuami, kata ‘janda’ kerap digunakan dalam canda atau olok-olok yang sifatnya seksis. Mulai dari tulisan di belakang truk pengangkut pasir sampai di berbagai meme yang bertebaran di media sosial dan grup pertemanan. Bagi pelaku yang menjadikannya sebagai bahan olok-olok tentu menyenangkan, tetapi bagi yang memanggul status tersebut tentunya amat menyakitkan.
 
Seorang kawan yang telah bercerai selama lima tahun sampai memilih untuk menutup rapat-rapat statusnya karena takut cemoohan masyarakat. Padahal ia bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya dan tidak pernah merugikan siapa pun. Ada juga beberapa perempuan yang menjelang hari raya bukannya merasa bahagia karena akan kumpul keluarga, malah merasa tertekan karena lagi-lagi harus menghadapi omongan keluarga tentang status jandanya.
 
Masyarakat Indonesia menganggap janda sebagai sosok yang tidak bermoral, dan hal ini menjadi akar atau dasar dari stigma. Stigma tersebut menyerang identitas moral dan harga diri seorang perempuan, dan membuatnya sulit untuk menampilkan diri sebagai seorang perempuan terhormat dan memiliki moral yang baik. Karena dianggap ‘rendah’ dan tidak terhormat, maka dianggap pantas untuk dijadikan bahan olok-olok dan guyonan.
 



Disadari atau tidak oleh masyarakat, olok-olok terhadap status janda sebenarnya mengandung bibit-bibit kekerasan dan turut andil mempertahankan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
 
Pertama, olok-olok status janda memberi peluang terjadinya kekerasan seksual pada perempuan. Janda dianggap telah memiliki pengalaman seksual namun tidak terikat pada pernikahan, maka ia dianggap ‘kesepian’ dan dijadikan target seksual oleh para pria. Olok-olok itu sendiri sebenarnya sudah merupakan bentuk pelecehan verbal. Sayangnya masyarakat sudah tidak bisa membedakan mana yang pantas dijadikan bahan bercanda dan mana yang tidak. Padahal jika olok-olok dianggap sebagai sebuah kewajaran, maka peluang untuk berkembang menjadi pelecehan fisik juga besar.
 
Kedua, karena takut dengan stigma negatif dan olok-olok masyarakat terhadap janda, banyak perempuan memilih untuk tetap berada dalam perkawinan meskipun ia sendiri tidak bahagia karena, misalnya, suami berselingkuh atau suami melakukan kekerasan. Ini berarti para penggemar guyonan status janda turut melestarikan kekerasan terhadap perempuan dan dalam rumah tangga. Kalaupun memutuskan bercerai, para perempuan ini kemudian memilih untuk menutupi hal tersebut rapat-rapat.
 
Anggota keluarga juga berpotensi melakukan kekerasan dengan melarang anggota keluarga perempuannya yang berstatus janda keluar rumah karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarga atau cepat-cepat memaksanya untuk menikah kembali agar terhindar dari aib.
 
Ketiga, mereka yang suka mengata-ngatai janda sebenarnya mendorong pengucilan sosial pada salah satu kelompok anggota masyarakat, membuat para janda kehilangan kesempatan mendapatkan dukungan, memberi manfaat kepada masyarakat dan mencari nafkah. Bibit kekerasan yang muncul bersifat sosial sekaligus ekonomi, padahal banyak dari para janda ini adalah kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Bagaimana bisa fokus bekerja dan mencari nafkah, jika terus menerus dihantui kekhawatiran akan menjadi obyek pelecehan seksual di tempat kerja?
 
Teman saya bilang, “Ah, itu beraninya pas online saja. Pas offline dan ketemu orangnya langsung, ya, diam saja.”
 
Online atau offline, menggunakan status orang lain sebagai bahan olok-olok tetap tidak dibenarkan. Beberapa lelucon hanya menunjukkan kedunguan kita sendiri dan kurangnya empati. Bagaimana jika itu ibu anda sendiri, atau adik anda, atau anak anda kelak?
 
Terkadang, untuk menghentikan kekerasan, yang diperlukan hanyalah empati. Dan empati tidak tergantung pada tingkat pendidikan, status sosial ekonomi ataupun keyakinan kita. Melainkan kerelaan untuk tidak memberi makan ego kita dengan memanfaatkan keadaan atau situasi orang lain.
 
PR Ujianti adalah pengajar, peminum kopi dan penulis, yang bermimpi punya toko buku sekaligus kedai kopi yang nyaman.