Cerita Britney Spears yang berada dalam “sangkar emas” ayahnya, Jamie Spears, yang tadinya hanya bisik-bisik gosip, sudah dikonfirmasi oleh sang diva pop sendiri.
Britney awalnya tidak berkomentar saat dokumenter dokumenter “Framing Britney Spears” garapan The New York Times diluncurkan Februari 2021, dan diekori pendapat berbagai pihak terkait perwalian legal (consevartorship) yang Jamie pegang.
Sebelumnya, sekelompok penggemarnya pun telah membuat gerakan #FreeBritney yang lantas viral di media sosial sejak tahun lalu.
Sampai akhirnya baru-baru ini, pelantun “Lucky” tersebut buka suara di pengadilan Los Angeles soal tragedi yang dihadapinya selama berada di bawah conservatorship Jamie. Satu di antaranya yang membuat sebagian orang membelalakkan mata adalah larangan dari Jamie untuk Britney melepas kontrasepsi IUD yang terpasang selama 13 tahun dalam tubuhnya.
Berita ini dimuat The New York Times Rabu (23/6) lalu dengan tajuk “Britney Spears: ‘I’ve Just Want My Life Back’”. Tak hanya soal kontrasepsi, Britney juga mengaku dipaksa minum obat dan menjalani psikoterapi, serta disuruh bekerja di luar keinginannya.
“Saya selama ini berpura-pura. Saya shock dan merasa trauma,” kata Britney via telepon yang diperdengarkan di pengadilan.
Apa yang dialaminya tersebut Britney anggap memalukan sehingga selama bertahun-tahun dia tutup mulut soal Jamie. Tapi, bukannya Britney tidak berupaya sama sekali. Pada beberapa kesempatan ia jujur menceritakan kondisinya di pengadilan, tetapi tetap tak dipercaya. Karenanya, ia pun tidak secara terang-terangan mengumbar kondisi dia yang sebenarnya kepada publik.
Terkait pemaksaan kontrasepsi, ia berkata bahwa “tim ayahnya” tak mengizinkan dia ke dokter untuk melepas IUD karena akan berpengaruh terhadap kariernya. Padahal, Britney mengatakan, “Saya ingin bisa menikah (lagi) dan punya anak. Sementara dalam conservatorship ini, saya tidak bisa melakukan itu.”
Baca juga: Kontrasepsi untuk Laki-laki: Mengapa Banyak yang Ogah Pakai?
Pemaksaan Kontrasepsi adalah Kekerasan Seksual
Isu pemaksaan kontrasepsi sebenarnya ada sejak lama di mana-mana, tetapi jarang sekali mengemuka. Kasus Britney hanya satu di antara sekian banyak yang mendapat perhatian dan rasa prihatin publik.
Dalam kondisi seperti itu, perempuan tidak lagi memiliki tubuhnya sendiri dengan berbagai alasan. Pada kasus Britney, itu terkait pekerjaannya sebagai penghibur. Namun, dalam banyak kasus lainnya, pemaksaan kontrasepsi berhubungan dengan kondisi fisik seperti dialami oleh banyak perempuan difabel.
Penulis dan jurnalis asal Kanada, Liz Plank mengangkat isu ini di media sosialnya, @feministabulous, seiring tersebarnya pengakuan Britney tadi.
“[Anda] berpikir adalah suatu hal gila ketika Britney tidak bisa mencopot IUD-nya? Saat ini itu [pemaksaan kontrasepsi] legal dilakukan terhadap perempuan dengan disabilitas dengan metode sterilisasi,” kata Plank.
Hal yang Plank angkat ini juga relevan dengan kondisi di Indonesia, tidak hanya di negara-negara Barat yang sering salah dianggap lebih “progresif”. Sikap anti terhadap pemaksaan kontrasepsi sebagaimana Plank utarakan sejalan dengan isi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pasal 11 dan 14, yang masih diperjuangkan banyak pihak untuk disahkan sampai detik ini.
Di Pasal 11 dinyatakan, pemaksaan kontrasepsi termasuk bentuk kekerasan seksual. Sementara di Pasal 14, dijelaskan bahwa pemaksaan kontrasepsi mencakup perilaku mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Adapun di bagian penjelasan Pasal 14, pemaksaan kontrasepsi yang dimaksud dalam UU ini terdiri dari berbagai macam metode: Memasukkan atau melekatkan alat ke tubuh seseorang; memaksa penggunaan obat herbal maupun kimia; atau sterilisasi (pengikatan atau pemotongan saluran indung telur atau sperma atau pengangkatan rahim) tanpa persetujuan seseorang. Lebih lanjut ditekankan, persetujuan yang diberikan oleh orang dalam usia anak tidak dianggap sebagai persetujuan sesungguhnya.
Pada rapat dengar pendapat umum soal RUU PKS dengan Badan Legislatif Maret 2021 lalu, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah menjelaskan tentang pemaksaan kontrasepsi yang belum spesifik diatur dalam UU yang sudah ada.
“Dalam UU Pengadilan HAM mengatur harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ini berarti kalau tidak ada syarat TSM, maka pemaksaan kontrasepsi tidak bisa dipidana. Sementara, di UU Disabilitas istilah ada, tapi tanpa sanksi dan unsur," kata Siti dikutip dari Tempo.co.
Baca juga: 5 Alat Kontrasepsi untuk Perempuan dan Efek Sampingnya
Pemaksaan Kontrasepsi pada Perempuan Difabel
Plank, yang merupakan aktivis pembela hak kaum difabel, menyebutkan dalam beberapa cuitannya bahwa perempuan atau ibu dengan disabilitas mengalami kesulitan akses terhadap anak-anaknya karena kondisi mereka. Di Indonesia pun kasus serupa masih dilumrahkan, terlebih oleh keluarga terhadap anak/saudara perempuan penyandang disabilitas.
Pada salah satu pemberitaan VOA Indonesia 2018 silam, dikatakan bahwa pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan difabel terjadi karena pihak keluarga menganggap anak atau saudaranya yang difabel rentan mengalami kekerasan seksual. Karena itu, mereka berpikir lebih baik memasang kontrasepsi pada yang bersangkutan untuk mencegahnya hamil.
Dalam sebuah lokakarya Perlindungan Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi Perempuan Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) di Yogyakarta tiga tahun lalu, direktur Sapda Nurul Saadah Andriani menyatakan bahwa pemasangan paksa kontrasepsi juga merupakan bentuk kekerasan seksual. Mirisnya, tak hanya pihak keluarga yang mengupayakan pemasangan kontrasepsi, tetapi juga pihak sekolah tempat perempuan difabel belajar.
Alih-alih menghentikan kekerasan seksual, pemaksaan kontrasepsi pada perempuan difabel justru melanggengkan tindakan tersebut karena pelaku tahu, korban kemungkinan besar tidak akan hamil, kata Nurul.
Masalahnya lebih rumit ketika perbincangan soal pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan difabel menyangkut mereka yang mengalami disabilitas intelektual. Pasalnya, saat mereka mengalami kekerasan seksual, entah itu pemerkosaan atau pemaksaan kontrasepsi, pengakuan mereka kerap tidak dipercaya aparat atau masyarakat.
Kendati demikian, pihak Komnas Perempuan tetap mendorong diberlakukannya syarat ketat sebelum pemasangan kontrasepsi pada perempuan difabel intelektual.
Larangan yang Diabaikan Demi “Kepentingan Sendiri”
Sejak 2014, sejumlah badan PBB seperti OHCHR, UN Women, UNAIDS, UNDP, UNFPA, UNICEF dan WHO telah menyuarakan kampanye menentang pemaksaan sterilisasi kepada berbagai pihak, tidak hanya kaum difabel. Dalam publikasi mereka yang berjudul “Eliminating forced, coercive and otherwise involuntary sterilization: an interagency statement”, dinyatakan bahwa pemaksaan sterilisasi juga mencakup orang-orang dengan HIV, masyarakat adat dan minoritas etnis, juga pada kelompok transgender serta interseks.
Lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia (HAM) di berbagai belahan dunia pun telah mengutuk perbuatan sterilisasi paksa. Mereka menilai tindakan medis tersebut telah secara fundamental menyalahi HAM, termasuk hak atas kesehatan, hak mendapat informasi, hak privasi, hak untuk menentukan punya anak berapa dan rentang berapa tahun, serta hak bebas diskriminasi dalam keluarga. Bermacam pelanggaran hak asasi ini tak ubahnya upaya untuk merendahkan harkat seseorang, tidak manusiawi, dan bentuk penghukuman yang kejam.
Tiga tahun setelah pernyataan badan-badan PBB tersebut keluar, persoalan pemaksaan kontrasepsi masih saja terjadi, bahkan bisa dibilang sampai saat ini, hanya saja tak banyak yang mengetahui dan mempublikasikannya.
Adalah Catalina Devandas, Special Rapporteur PBB terkait hak kaum difabel, yang melaporkan masih terjadinya pemaksaan sterilisasi, terlebih terhadap perempuan muda dan penyandang disabilitas.
“Studi menunjukkan, sterilisasi perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas terus terjadi, bahkan sampai tiga kali lebih tinggi dari populasi umum,” demikian petikan laporan Devandas.
Tidak hanya terkait prokreasi, pemaksaan kontrasepsi juga dilakukan di berbagai negara oleh keluarga perempuan difabel karena mereka tidak mau kerepotan mengurus putri/saudari difabelnya saat menstruasi.
Ia menyayangkan sikap pihak keluarga yang mensterilisasi perempuan disabilitas dan mendorong pihak pengadilan dan tenaga kesehatan untuk mengafirmasi keinginannya. Semua itu bagi Devandas tidak lebih dari usaha mendahulukan “kepentingan mereka sendiri” karena tidak mau berhadapan dengan risiko terkait kehidupan anggota keluarga difabelnya tersebut.
“Hukum dan kebijakan yang diskriminatif mengikis hak fundamental anak perempuan dan perempuan muda difabel untuk memilih dan punya kontrol atas tubuhnya, tidak mengacuhkan integritas mereka, serta merendahkan martabatnya hanya untuk mendahulukan kepentingan para profesional dan pengasuh [keluarga/perawat] mereka,” tulis Devandas.
Comments