Setiap tahun, Tahun Baru Islam dirayakan dengan meriah di kompleks rumah saya, kecuali tahun ini jelas karena ada pandemi. Karena tidak ada perayaan itulah saya jadi sadar bahwa saya tidak tahu menahu soal sejarah di balik kalender Hijriah ini, meskipun sudah (disuruh) mengaji sejak kecil. Saya hanya tahu bahwa yang menetapkan penanggalan tersebut adalah sahabat Nabi Muhammad, Khalifah Umar bin Khattab.
Akhirnya pada pergantian tahun penanggalan Islam itu kemarin, Kamis, (20/8), saya menghubungi Mudir atauDirektur Universitas Mahad Ali Kebon Jambu Cirebon, Kyai Marzuki Wahid dan menanyakan hal ini kepada beliau. Obrolan santai itu ternyata menguak fakta bagaimana Tahun Baru Hijriah bukan hanya sekadar penanggalan, tapi juga penanda peradaban Islam yang ramah dan cinta keberagaman.
Mindblowing sih.
Selengkapnya, berikut cuplikan obrolan saya dengan Kyai Marzuki pada 1 Muharam kemarin.
Magdalene: Boleh diceritakan sejarah penanggalan Hijriah ini, Kyai?
Kyai Marzuki: Sebetulnya penanggalan itu ada sejak zaman Nabi Muhammad lahir, tetapi ada dua sistem penanggalan, yaitu Syamsiah atau berdasarkan perputaran matahari, seperti yang kita sebut penanggalan Masehi. Satu lagi Qomariyah atau berbasis perputaran bulan. Nah sebelum Islam datang, kedua sistem ini sudah digunakan.
Tapi penanggalan itu hanya berupa tanggal dan bulan saja, tapi tidak ada tahun. Karena waktu itu kekuasaan Islam di masa Khalifah Abu Bakar (tepat setelah Nabi wafat) tidak terlalu luas ya, sehingga penanggalan untuk administrasi itu enggak terlalu diperhatikan. Ketika masa Umar bin Khattab, jaringannya mulai meluas, sudah mulai masuk ke Mesir, Suriah. Umar sering mengirimkan surat kepada banyak gubernur.
Waktu itu, Umar sering mengirimkan surat pada Gubernur Bashrah (negara Irak), Abu Musa Al Asyari. Dalam suratnya, Abu Musa mengatakan kepada Umar bahwa ia bingung karena dalam surat-surat itu tidak ada tahunnya, padahal itu penting sekali untuk administrasi. Nah, dari sini Umar baru tersadarkan bahwa penting sekali ada sistem kalender yang kemudian bisa digunakan.
Setelah itu Umar mengumpulkan sahabat-sahabatnya seperti Ali bin Abi Thalib, Abdurahman bin Auf, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, pokoknya yang senior. Di pertemuan itu mereka membicarakan soal kalender ini, dan ditanya kita akan menggunakan kalender mana. Lalu semua sepakat menggunakan kalender qomariyah sebagaimana sebelumnya mereka gunakan.
Nah, lalu dibahas lagi, kira-kira starting pointnya dari mana? Apakah tahun ini dimulai sejak Nabi Muhammad lahir, saat beliau diangkat sebagai nabi, ketika Nabi hijrah ke Madinah, atau ketika beliau wafat?
Akhirnya usulan yang disepakati adalah dari (keponakan sekaligus menantu Nabi) Ali bin Abi Thalib, yang mengusulkan titik awalnya adalah ketika Nabi dan pengikutnya hijrah (dari Makkah ke Madinah, menyusul persekusi dari bangsa Quraisy). Ini adalah momentum yang sangat berarti, karena Nabi ketika hijrah itu dia betul-betul membangun sebuah peradaban baru. Nabi membangun sebuah bangsa yang sebagian orang menganggapnya sebagai negara. Akhirnya sepakatlah semua, tahun pertama akan dimulai pada masa Nabi hijrah.
Baca juga: Pesan Anti-rasialisme dalam Islam 14 Abad Lalu Masih Relevan
Jadi ini juga mengapa sistem kalender ini dinamai Hijriah?
Iya, kalender qomariyah itu akhirnya dinamakan kalender hijriah karena berawal dari hijrahnya nabi.
Satu Hijriah itu dihitung ketika Nabi hijrah ke Madinah pada 622 Masehi. Sehingga setiap tahun baru ini orang-orang selalu mengaitkan momentum ini sebagai hijrahnya Nabi dan ini dikaitkan dengan soal transformasi. Apa yang sudah dilakukan sebelumnya, apa yang akan dilakukan selanjutnya. Saya pikir ini bagus dan penting juga.
Apa hikmah dari hijrahnya Nabi dan relevansinya dengan situasi sekarang?
Kita tahu Nabi berdakwah di Mekah itu selama 10 tahun, dan kalau dibilang gagal enggak juga, hanya pengikutnya saat itu sedikit sekali. Selama 13 tahun Nabi berdakwah, beliau diejek, dimaki-maki, diludahi, dianggap orang gila. Hanya beberapa orang saja yang menjadi pengikutnya, mungkin di bawah 100 orang. Pada saat itu ajaran-ajaran yang banyak didakwahkan soal aqidah, soal meluruskan keyakinan dari politeisme ke monoteisme, dan ini sangat berat sekali tantangannya.
Suatu hari, orang-orang kafir Quraisy berencana untuk membunuh Nabi, tetapi dia sudah mendapatkan bocoran rencana tersebut. Nah, malam itu, Nabi merencanakan hijrah, pindah ke Madinah ditemani oleh Abu Bakar, Ali, dan beberapa orang lainnya.
Bayangkan waktu itu perjalanannya menggunakan unta dan jarak dari Makkah ke Madinah itu sekitar kurang lebih 500 kilometer, ibaratnya perjalanan kita dari Jakarta ke Semarang.
Sebelum Nabi berangkat ke Madinah, beberapa pengikutnya memang sudah ada yang hijrah terlebih dahulu, tapi enggak rombongan begitu. Jadi hijrahnya sendiri-sendiri agar tidak dicurigai.
Kabar hijrahnya Nabi sudah tersebar di Madinah, dan dia disambut di sana. Orang yang hijrah ke Madinah adalah Muhajirin dan orang yang menyambut adalah Anshar.
Saya lihat banyak sekali transformasi yang dilakukan oleh Nabi di masa itu. Hikmahnya adalah orang kalau memang menghadapi kesulitan atau masalah ya jangan berkutat di situ terus, karena bisa jadi itu bakal membosankan, atau putus asa, tetapi kita harus cari solusi, alternatif, dan inovasi sehingga bisa memberikan jalan keluar. Dan itu yang dilakukan oleh nabi.
Ada lagi yang menarik dari peristiwa hijrahnya Nabi ini. Waktu itu Nabi membuat sebuah perjanjian, yang dinamakan Shohifatul Madinah atau Piagam Madinah. Ini dilakukan karena di sana ada dua suku besar, Aus dan Khazraj, yang sering berperang. Nah di sana juga banyak agama, ada Yudaisme, Kristiani, dan paganisme.
Baca juga: Menelusuri Jejak Feminisme di dalam Islam
Nabi ingin membangun sebuah bangsa ini, maka dari itu dia buat perjanjian ini, yang saya sebut sebagai konsensus nasional, yang dirangka sendiri oleh nabi.
Apa saja yang menarik dari Piagam Madinah ini?
Nah ini ada cerita dari sebuah hadis, saat ditulis Muhammad Rasulullah SAW, oleh Nabi kata rasul itu dicoret. Sebut saja Muhammad, katanya, karena mereka tidak bakal menerima kita. Soalnya tidak semua para pihak yang ikut menandatangani perjanjian ini seorang muslim.
Ada sahabat yang tidak setuju dengan keputusan Nabi, tetapi Nabi tetap dengan keputusannya. Nah ini saya jadi ingat di Indonesia, juga pernah terjadi dulu ketika Kyai Wahid Hasyim mencoret kalimat “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” di Piagam Jakarta. Kan waktu itu ada protes dari orang Indonesia Timur, nah Bung Karno meminta saran ke Wahid Hasyim. Akhirnya kalimat tersebut dicoret demi persatuan dan kesatuan di Indonesia.
Dan poin kedua yang kita ambil dari Piagam Madinah ini adalah, tidak ada dasar-dasar dari Al-Quran atau hadis. Ya memang kan Al-Quran saat itu belum selesai diturunkan, masih proses turun, hadis apalagi. Karena itu, kalau ada orang-orang yang ingin konstitusinya didasarkan oleh Al-Quran dan hadis, menjadikan Islam sebagai ideologi, itu berlebihan. Nabi enggak begitu, ia mementingkan persatuan semua pihak.
Ada berapa pasal di dalam piagam tersebut dan mengatur apa saja?
Di dalam piagam tersebut ada 47 pasal. Yang mengatur relasi antara orang Islam dengan orang Islam supaya rukun itu ada 23 pasal. Nah, 24 pasal lainnya mengatur relasi antara muslim dengan non-muslim dan suku-suku yang ada di sana. Pokoknya tidak boleh saling memerangi, kalau ada yang diperangi kita harus saling membantu, tetapi tidak saling melemahkan, lalu ada nilai keadilan, kesetaraan.
Nah, ada kata-kata yang menarik menurut saya di Piagam Madinah itu. Bunyinya begini, “Sesungguhnya mereka semua itu adalah bangsa yang satu.” Kata “mereka” di dalam kalimat tersebut mengarah pada pihak yang menandatangani piagam tersebut. Artinya kan Nabi membuat mereka bersatu. Ini kan seperti Indonesia, ada banyak suku dan agama, dan karena ada Pancasila ini semua jadi satu yaitu bangsa Indonesia. Karena itu saya selalu bilang Indonesia ini Islami banget, dan bahkan Indonesia itu cermin besarnya Madinah pada masa Nabi.
Comments