Women Lead Pendidikan Seks
August 21, 2020

Bu Tedjo yang Dicerca Juga Dipuja dan Refleksi Budaya Kolektif Kita

Film pendek ‘Tilik’ dan sosok Bu Tedjo berhasil menarik perhatian warganet karena kedekatan cerita dan tokohnya.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Culture // Screen Raves
Share:

Film pendek berdurasi 32 menit berjudul Tilik (yang berarti menjenguk dalam Bahasa Jawa) dan tokoh utama bernama Bu Tedjo viral di media sosial baru-baru ini. Saking terkenalnya, wajah Siti Fauziah sang pemeran Bu Tedjo sekarang bisa ditemui di berbagai meme atau stiker digital.

Mengusung cerita sederhana tentang sekelompok ibu-ibu dari sebuah kampung di Yogyakarta yang hendak menjenguk lurahnya di rumah sakit di kota, film ini menyisipkan berbagai isu sosial yang dikemas dengan gaya komedi.

Ada isu mengenai literasi media digital dan hoaks ketika Bu Tedjo berbincang dengan kawan-kawannya di atas truk dalam perjalanan menjenguk Ibu Lurah. Tilik dengan apik merefleksikan kondisi masyarakat kita pada umumnya yang terbagi menjadi kelompok kritis dan kelompok penelan bulat-bulat segala informasi yang menyebar di internet.

Sebagian orang mungkin lebih berfokus pada isu perempuan muda lajang dan label pelakor ketika perbincangan, eh…pergunjingan yang diinisiasi Bu Tedjo menyinggung soal sosok Dian. Ketika mayoritas masyarakat di sana menganggap sudah selayaknya perempuan seumuran Dian (yang kira-kira usia 20-an) menikah, kelajangan Dian justru memicu kecurigaan-kecurigaan seperti dirinya adalah simpanan om-om dan suka menggoda suami-suami orang.

Baca juga: ‘The World of the Married’: Pelakor, Drakor, dan Inspirasi Sekelas Ted Talks

Namun sejatinya, sebagaimana diungkap dalam wawancara di SuaraJogja dan di balik layar Tilik (yang bisa ditemukan di Youtube), pembuat film lebih ingin memotret realitas sosial, termasuk budaya kolektif orang-orang Indonesia. Soal kebiasaan bergunjing adalah satu hal, tetapi mereka lebih ingin menekankan pada bagaimana masyarakat kita begitu guyub dan mengekspresikan solidaritasnya kepada satu sama lain, termasuk ketika ada di antara mereka yang sakit. Jarak jauh bukan halangan bagi mereka untuk mewujudkan hal tersebut.

Sikap solider juga ditunjukkan ketika truk yang ibu-ibu itu tumpangi mogok. Sebagian besar dari mereka membantu mendorongnya, tetapi sebagaimana di hidup nyata, ada saja yang enggan untuk berpartisipasi seperti Bu Tedjo dan Bu Ning.

Ketika Bu Tedjo membicarakan Dian dengan negatif, kawannya yang lain, Bu Tri memperlihatkan dukungan kepadanya. Ini terjadi ketika ada kejadian yang dirasa menyinggung Bu Tri, yaitu saat suaminya mengobrol lama dengan Dian dan ia merasa cemburu. Adanya dukungan semacam ini seolah meneguhkan keinginan dan pesan Bu Tedjo kepada ibu-ibu lainnya untuk waspada terhadap sosok semacam Dian ini.

Insecurity tentu sudah jadi hal klasik yang melekat di banyak individu, apalagi bila dikaitkan dengan isu relasi percintaan atau rumah tangga. Namun kembali lagi kita diingatkan, bukankah ketika ada perselingkuhan atau saat pasangan menaruh hati (belum sampai bertindak apa-apa) kepada perempuan lain, yang seharusnya jadi fokus dan diperkarakan adalah kualitas dua orang yang berpasangan itu? Apakah menyalahkan pelakor saja bisa menuntaskan permasalahan hubungan yang karatan dan masalah komunikasi, transparansi, dan kesetiaan seseorang?

Baca juga: Perempuan Simpanan: Korban Atau Tak Bermoral?

Film yang didukung oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga menyoroti isu sosial lain seperti pemilihan lurah dan kebiasaan menyogok warga setempat supaya mendukung seseorang. Ini menjadi relevan ketika film diproduksi pada 2018, masa-masa menjelang pemilihan presiden, dan saya rasa hingga sekarang di berbagai ruang lingkup, entah di lingkungan pendidikan atau kantor, di tingkat daerah maupun pusat, serta di relasi-relasi dalam berbagai industri. Kebiasaan menyogok juga terlihat ketika ibu-ibu ini dan Gotrek, sang supir truk harus berhadapan dengan polisi. 

Masalah status sosial dan kecenderungan pamer juga sedikit ditunjukkan dalam film ini. Di berbagai masyarakat, perhiasan masih menjadi salah satu penanda paling sering ditonjolkan ketika orang menduduki strata lebih tinggi. Saya geli sendiri ketika menonton satu adegan di mana Bu Tedjo sengaja memamerkan gelang dan cincin emasnya saat berbicara dengan Bu Ning, salah satu ibu yang ikut menjenguk, dan Gotrek. Ada juga adegan ketika Bu Tedjo menyebutkan suaminya kini kenal dengan pejabat-pejabat, bukan hal yang lumrah dirasakan oleh orang biasa-biasa saja.

Warganet adalah Bu Tedjo

Sebagian orang boleh jadi gemas atau sebal melihat kelakuan Bu Tedjo: Sudah doyan bergosip dan berprasangka buruk, tukang pamer pula. Tetapi ada juga yang justru suka sekali dengan sosoknya. Bahkan, salah satu kawan saya bilang, “Kalau orang-orang sebel sama Bu Tedjo, ih…gue mah suka banget. Gue adalah Bu Tedjo.”

Menarik ketika ia mengatakan itu. Memang benar, gampang sekali kita menemukan Bu Tedjo-Bu Tedjo lain dalam keseharian, bahkan barangkali dalam diri kita sendiri. Masalahnya, kita mau mengaku seperti itu atau tidak?

Bu Tedjo tak perlu dicela atau dipuja, tapi dijadikan pengingat untuk lebih kritis, untuk mengerem penghakiman, dan untuk mengevaluasi diri dan relasi sebelum kita menunjuk satu orang menjadi musuh bersama.  

Buka media sosial, lihat warganet yang berbondong-bondong bergunjing sampai berkontribusi membikin trending di Twitter kalau ada selebritas yang melakukan blunder atau sesuatu yang dianggap aib.

Coba amati juga akun-akun yang memang isinya tidak lebih dari rumor atau screenshot-screenshot yang jadi bahan ledekan dan hujatan berjamaah. Ada selebritas yang wajah atau tubuhnya berubah sedikit, langsung dikomentari, “Ih, pasti operasi”, sementara yang biasa terlihat bergaya hidup mewah padahal jarang kelihatan berkarya atau terlihat biasa-biasa saja performanya, disebut “pasti punya gadun”.

Perilaku macam Bu Tedjo ini tentu saja sudah langgeng bergenerasi-generasi. Sebelum era media sosial yang mendorong sikap kepo dan doyan bergunjing, orang-orang (tidak hanya ibu-ibu, loh) juga sudah punya kecenderungan berperilaku macam ini, didukung pula oleh munculnya infotainment-infotainment kemudian.

Ketika ada suatu hal yang dianggap “menyimpang” atau tidak sesuai dengan ekspektasi dominan, perilaku menghakimi dalam budaya kolektif kita muncul. Stigma akan mengekori mereka yang menyimpang itu, tanpa orang-orang berusaha atau setidaknya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi atau dialami orang tersebut.

Bukan hanya kepada Dian stigma itu dilekatkan. Stigma terhadap perempuan janda pun menjadi isu yang mau diangkat oleh Wahyu Agung Prasetyo, sang sutradara. Di salah satu adegan, ada pembicaraan tentang Dian yang ditinggal bapaknya sejak usia dini dan ibunya hanya punya sawah kecil. Bu Tejo menyangsikan usaha Dian dan ibunya sampai bisa membeli ponsel dan motor baru, seolah-olah perempuan tidak bisa bekerja keras dan hidup mandiri tanpa sokongan suami.

Baca juga: Mbah Satinem: Wajah Tradisional Feminisme di Indonesia

Dalam wawancara dengan CNN, ia menyatakan bahwa isu janda menjadi salah satu keresahannya dan beberapa kru film lain yang beribu seorang janda.

“Orang yang berstatus single, terutama perempuan, kan selalu jadi bahan gunjingan, selalu jadi momok, bahan omongan enggak enaklah. Kami mengalami itu sebagai anak yang punya orang tua seorang janda dan menjadi keresahan kami. Itu yang coba kita bawa ke medium film. Kita punya statement bahwa perempuan juga berhak atas pilihan hidupnya. Jadi jangan nge-judge dengan cepat karena kalian tidak tahu background story-nya seperti apa,” kata Agung.

Alih-alih melihat Bu Tedjo sebagai sosok yang patut dicela atau dipuja, dari film yang memenangi Piala Maya 2018 untuk kategori film pendek terpilih ini, saya melihatnya sebagai pengingat bagi kita semua untuk beberapa hal: Untuk lebih kritis menyikapi informasi yang masuk, baik dari mulut kawan maupun internet; untuk lebih mengerem  penghakiman sebelum mengetahui kebenarannya langsung dari pihak terkait; untuk mengevaluasi diri dan relasi yang sedang dijalani sebelum kita menunjuk satu orang menjadi musuh bersama.   

Tilik bisa diartikan menjenguk, tapi di sisi lain, ia punya makna kuat lain yang juga menjadi pengingat kita (yang saya ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia): Penglihatan yang teliti. Tidakkah dalam ketelitian kita mesti menjauhi penilaian yang prematur?   

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop