Hampir tiap hari, gelap merayap di sebuah rumah. Namun, malam itu bukan malam biasa. Ada suara lengkingan tangis Soo-Hyun, anak perempuan yang pecah. Tangisnya makin menjadi saat sang ibu menolak membuka kunci pintu kamar tempat ia dikunci.
“Umma, bukakan pintunya. Umma! Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mencoba melarikan diri lagi. Aku cinta padamu Umma,” serunya sembari menangis.
Ibunya tak bergeming. Cuek bebek ia masuk ke kamarnya sendiri dan berkata, “Mengapa kamu tidak bisa melihat betapa diriku kesakitan, Soo-Hyun?”
Mendengar ini, tangisan Soo-Hyun segera berubah jadi lengkingan hingga sang ibu kesal. Saking kesalnya, perempuan tengah baya itu berusaha melukai Soo-Hyun dengan kabel listrik yang masih menyala. Ia ingin anaknya memahami rasa sakitnya. Tangan Soo-Hyun pun terbakar, penuh luka.
Ketika rasa sakit itu makin tak bisa dibendung, mendadak Soo-Hyun terbangun dari mimpinya. Ya, mimpi Soo-Hyun dewasa. Mimpi yang berasal dari trauma masa kecil, yang sialnya selalu menyambangi tidur Soo-Hyun.
Narasi mencekam inilah yang jadi pembuka film horor Korea-Amerika Umma besutan Iris Shim. Penonton tak diberi banyak petunjuk detail tentang sosok Soo-Hyun (Sandra Oh) sebagai karakter utama, tapi langsung disuguhkan atmosfer rumahnya yang misterius, gelap, dan mencekam.
Baca juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
Film Horor Umma Kental dengan Trauma Generasi
Bisa dibilang Umma adalah film horor yang cukup unik. Shim mengangkat perjalanan hidup Soo-Hyun, seorang imigran Korea yang tinggal di daerah terpencil, Amerika Serikat. Dengan trauma masa kecilnya, ia mengganti namanya menjadi Amanda dan memulai hidup baru, bersama anak perempuannya, Chris (Fivel Stewart) tanpa teknologi modern.
Hidup tanpa daya listrik dan jauh dari perkotaan, Amanda pun memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia membangun peternakan lebah. Dibantu oleh Chris, hasil panen madu mereka dijual kepada teman dekat, Danny (Dermot Mulroney).
Mulanya, Chris menikmati segala rutinitas ini bersama sang ibu. Namun, ia menyadari bagaimana ia menjadi individu yang terisolasi. Tak ada teman bahkan ia tidak bersekolah karena ibunya sendiri yang mengajarkan banyak hal pada dirinya. Hal inilah yang kemudian membuat Chris mulai “memberontak”. Diam-diam ia mendaftar ke universitas dan bergaul dengan anak-anak seusianya.
Tindakan ini nyatanya justru membawa bencana di keluarga kecil tersebut. Perlahan hal-hal ganjil mulai terkuak, begitu pula dengan rahasia sang ibu yang enggan membicarakan soal keluarganya sendiri.
Baca juga: 5 Film Horor Indonesia Terbaik Yang Bikin Merinding
Doktrin tentang sang ibu yang memiliki penyakit bawaan jika berdekatan dengan daya listrik ternyata bualan belaka. Bualan yang sengaja dibikin demi melindungi dirinya sendiri dari trauma masa kecil. Ironisnya, keadaan traumanya justru makin parah ketika kabar kematian sang ibu datang di suatu hari.
Dalam konteks ini, Shim tahu betul kapan harus menonjolkan budaya Korea yang menekankan pada sakralnya hubungan ibu dan anak serta penghormatan atas kematian mereka. Di saat bersamaan, sakralitas hubungan itu justru bisa menjadi sumber pembangun tensi.
Shim dengan cerdik memakai dua alegori. Pertama, alegori perubahan wajah Amanda menjadi almarhum ibunya untuk menekankan dampak trauma generasi yang ditorehkan orang tua pada anak mereka. Kedua, alegori terror mendiang ibu karena Amanda tidak melakukan jesa (ritual yang untuk memberi penghormatan kepada leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal), yang berati Amanda tidak menghormati mendiang ibunya.
Alegori yang pas ditambah sejumlah jumpscare dan suspense-building pun membuat horor trauma generasi di Umma makin mendekati sempurna. Amanda yang tumbuh bersama trauma namun terus menyangkal, membuat ia terjebak kembali pada masa lalu. Ia perlahan menjadi ibunya. Sosok otoriter yang gagal menjadi ibu, mengayomi, dan mengerti kebutuhan anaknya sendiri.
Baca juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu
Akhir Antiklimaks dan Sosok Ibu yang Kurang Dieksplorasi
Dengan mengusung tema trauma generasi sebagai jantung ceritanya serta alegori cerdik di dalamnya, Umma sebenarnya memiliki segudang potensi untuk menjadi film horor yang memikat nan brilian. Apalagi dasar dari trauma Amanda sendiri hadir dari kehadiran ibunya yang notabene adalah imigran.
Dengan identitasnya itu, ibu Amanda harus berjuang dengan keuangan, pekerjaan, dan masalah pemukiman. Perjuangan pun semakin kompleks karena ia harus menjalankan peran sebagai ibu tanpa bantuan orang lain. Ketidakhadiran suami, keterbatasan penguasaan Bahasa Inggris, dan “dijauhkan” dari sanak saudara atau teman yang ia kenal yang bisa menjadi support system, membuat perannya bertambah sulit. Ibu Amanda akhirnya menciptakan hubungan yang cenderung keropos dengan anaknya sendiri.
Sayangnya, dengan latar belakang sang ibu yang begitu kompleks, pengembangan konflik dan karakter terasa bergerak di ruang cerita yang terlalu sempit. Masa lalu sang ibu misalnya hanya digambarkan dalam menit-menit terakhir dan menjadi adegan pamungkas soal perjuangan menghadapi trauma. Hal ini lantas membuat Umma tidak pernah mampu mencapai potensi cerita terbaiknya.
Tak hanya itu, kompleksitas drama ibu dan anak dari tiga generasi yang berbeda tidak pernah disajikan dengan benar-benar matang. Hanya lapisan teratasnya saja yang dikuliti dan mengesampingkan lapisan kompleks di dalamnya. Tak heran, saya nyaris menyerah nonton film ini bahkan di satu jam pertamanya.
Kesan tak sempurna juga tergambar dari penutupnya. Film horor Umma memilih mengetengahkan adegan penutup anti-klimaks yang membuat penonton mendesah panjang. Bagaimana tidak, dari narasi kompleks soal trauma generasi, tak ada adegan yang mampu membuat penonton mendapat kesimpulan yang solid.
Pada akhirnya, kendati Umma memiliki visi besar dan narasi yang tidak biasa untuk genre horor, eksekusinya malah rumpang dan serba tergesa. Selebihnya, ia hanya film horor biasa yang mengandalkan Sandra Oh sebagai senjata andalan.
Comments