Maria hamil. Tanpa disetubuhi lelaki mana pun. Tanpa status pernikahan.
Saat menyadari itu, ia ketakutan bukan main. Ini tahun 2016 dimana keajaiban macam Siti Maryam tidaklah mungkin dianggap masuk akal. Semuanya sudah berakhir ketika Nabi Isa lahir tanpa ayah berabad jarak yang lalu. Jaman sekarang, siapa hendak percaya bahwa Maria bisa hamil tanpa berhubungan dengan lelaki. Apalagi Maria memang bukan perawan.
Ia sendiri yakin betul bahwa ia hamil secara ajaib, tanpa sentuhan lelaki. Tapi siapa yang akan percaya? Sehari-hari gaya hidupnya seperti selayaknya kehidupan warga urban kota besar. Ia tidak menghabiskan hari-harinya di balik tembok masjid dengan bersujud dan beribadah seperti Siti Maryam yang suci. Ia hanya perempuan normal yang menjalani kehidupannya, bekerja di sebuah kantor swasta. Pekerjaan sampingannya adalah foto model majalah pria dewasa, yang artinya ia terbiasa tampil luwes dengan baju yang cenderung terbuka di depan kamera. Namun ia menetapkan batasan-batasannya sendiri, pose mana yang ingin dan tidak ingin ia lakukan.
Caranya bersantai adalah menyeruput kopi di kafe-kafe dengan teman-teman dan berekreasi pada akhir pekan ke luar kota, bermain cinta dengan kekasihnya, jika sedang punya kekasih. Tapi kini ia sedang tidak punya kekasih, ketika tiba-tiba sesuatu justru tumbuh dan hidup di dalam rahimnya. Dan ia belum menyadari itu sebelum usia kandungannya memasuki tiga bulan. Ia hanya tahu ia tidak kunjung berdarah, namun di dua bulan awal ia hanya berpikir mungkin ia kelelahan, atau stress, atau sebab lainnya. Ketika di bulan ketiga perutnya kian mengeras, barulah dia panik, membeli berbagai macam merk test pack, dan menemukan bahwa semuanya menunjukkan hasil serupa: dia hamil.
Hal pertama dilakukannya adalah berhenti bicara. Namun setelah semalaman diam dan berpikir dan menangis, ia tidak dapat menahan beban itu sendirian. Ia pun menghubungi Saskia, sahabat terdekatnya sejak SMA. Ketika Saskia datang, Maria hanya terbaring lemah di ranjangnya, di salah satu kamar kost mewah yang sengaja menyematkan tajuk residence—untuk menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kost-kostan biasa.
“Siapa bapaknya?”
Maria menggeleng. “Demi Allah, tidak ada.”
“Ya nggak mungkin dong..”
Maria memejamkan mata. “Tapi memang nggak ada.”
“Coba kamu ingat-ingat, apa kamu pernah mabuk lalu ada tidak sadarkan diri? Mana tahu saat itu kamu tidur dengan seseorang, tapi tidak ingat.”
Maria menggeleng. “Aku tidak pernah minum alkohol sampai mabuk.”
Saskia menatapnya dengan bimbang.
“Kamu sudah kenal berapa lama sama aku? Aku bukan pembohong kan?”
“Kalau begitu kamu mau aborsi saja?”
Maria membalikkan tubuhnya, kembali berbaring memunggungi Saskia.
“Mar...”
“Bagaimana kalau aku mengandung seorang nabi? Bukankah konon menjelang akhir jaman, Isa atau Yesus akan kembali lagi ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia? Tanda-tanda akhir jaman sudah semakin dekat, kau tahu?“
“Ya tapi itu kalau kau berkelakuan seperti Siti Maryam, atau Bunda Maria yang rajin beribadah, mendekatkan diri pada Tuhan dan melindungi diri dari laki-laki mana pun. Sementara kamu kan... ya eh maaf.. tapi kamu kan nggak begitu...”
Maria kembali terdiam. “Ya tapi aku kan juga nggak buruk-buruk amat..” ujarnya sedikit tersinggung. “Aku nggak mengambil hak orang lain dengan korupsi. Aku menghidupi diriku dengan keringatku sendiri, meskipun antara lain jadi model seksi. Aku shalat, meskipun kadang bolong. Aku bayar pajak, tidak buang sampah sembarangan, mengantre dengan tertib.. Aku nggak mencuri, aku nggak menganggu hak orang lain, termasuk nggak tidur dengan suami orang...”
Saskia terdiam. Bingung. Selanjutnya adalah hening yang tidak nyaman. Ia tidak tahu harus bersikap dan berkata apa, ini sesuatu yang terlalu sulit dipercaya.
“Terus kamu mau bagaimana dong?”
Maria lagi-lagi terdiam. Matanya sembab dan seperti sudah lelah menangis. Saskia memegang tangannya.
“Kita cari laki-laki yang mau mengawinimu saja.”
“Ya mana ada yang mau lah.“
“Ya belum juga dicoba kan...”
Mereka mulai membuat daftar pria-pria yang pernah, sedang, sempat dekat dengan Maria setidaknya dalam dua tahun terakhir, jangka waktu yang dinilai cukup rasional. Lebih lama dari itu kemungkinan sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi dengan Maria, yang artinya akan langsung menolak.
“Rama?”
“Baru jadian dengan orang lain...”
“Ricky?"
“Ya kan beda agama, panjang urusannya...”
“Ardan?”
“Ah percuma, dia kan nggak suka sama aku!”
“Fahmi?”
“Ya itu aku yang sampai mati nggak akan mau sama dia!”
“Aduh Mar, kenapa sih? Kamu itu kepepet. Ya mau aja lah!”
“Pokoknya nggak. Mending nggak usah saja..”
Saskia mencibir kesal.
“Ah, Gilang saja ya. Kamu kan belum lama ini dekat banget sama dia...”
“Gilang.. uhm.. masih suami orang, Sas...”
“Tuh kan, katanya nggak tidur dengan suami orang...”
Maria tersipu, untuk pertama kalinya mengulas senyum setelah beberapa jam terakhir. “Nggak sering-sering kok...”
Saskia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah frustrasi. “Gimana orang mau percaya sama kamu kalau kamu hamil tanpa berhubungan dengan lelaki mana pun?”
“Maksudmu, kamu yang nggak percaya sama aku?”
“Ya siapa pun bakal sulit sih percaya sama kamu..”
Maria cemberut lagi.
“Tapi aku percaya atau nggak percaya sama kamu itu kan nggak penting. Yang terpenting sekarang apa yang harus kamu lakukan. Perutmu makin lama akan makin besar, dan akan jadi pertanyaan semua orang. Di kost, di kantor, teman-temanmu, keluargamu nantinya juga bakalan tahu kalau kamu pulang, kamu nggak bakalan bisa menyembunyikan ini lebih lama lagi...”
“Iya.. “
“Jadi menurutku pilihannya ya dua, cari laki-laki yang mau menikahimu, atau aborsi secepatnya.”
“Hum... pilihan yang sama-sama nggak enak...“
“Ini bukan soal enak nggak enak Mar.. udah deh..”
Saskia bangkit dari tempat duduknya, diikuti tatapan Maria yang risau. Ia membuka kulkas, menuang air ke dua gelas, memberikan segelas kepada Maria dan menenggak habis gelas satunya.
“Ok, Fahmi saja. Itu peluang terbaikmu,” tegas Saskia.
Maria langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Ya sudah, kalau begitu aborsi...”
“Aduh, kenapa mesti begitu sih? Apa ya nggak bisa perempuan mandiri, melahirkan anak sendiri, nggak usah nikah sama siapa-siapa? Aku punya tabungan kok. Masih cukup untuk membiayai hidupku dan anakku.“
“Ya tapi semua orang akan tanya, itu anak siapa?”
“Anakku lah jelas...”
“Ya, tapi siapa bapaknya?”
“Nggak ada, aku seperti Siti Maryam. Anaknya jadi nabi, siapa tahu anakku juga!”
“Kamu sudah gila!”
“Ya kamu lebih gila lagi menyuruhku membunuh anakku sendiri!”
Saskia mengibaskan tangannya. “Anakmu nggak mungkin jadi nabi. Kalau kamu benar nggak tidur dengan siapa pun dia bisa jadi anak jin atau siluman. Sementara kalau ternyata kamu bohong, ya dia cuma anak haram!”
“Dan kamu masih nggak percaya bahwa aku hamil tanpa peranan laki-laki mana pun, ok baiklah. Aku pikir kamu adalah satu-satunya sahabatku, satu-satunya orang di dunia ini yang bakal percaya kepadaku!”
“Nggak ada bedanya aku percaya atau nggak sama kamu. Yang ada, aku nggak bisa membantumu juga karena kamu keras kepala dan juga nggak mau menuruti saranku. Dan ya, kalau kamu penasaran, aku memang nggak percaya sama kamu!”
“Ya sudah, kalau begitu untuk apa kamu masih di sini?” tantang Maria.
Tanpa berucap apa pun lagi, Saskia pun pergi meninggalkan Maria. Dan Maria tahu saat itu ia benar-benar sendirian. Hanya berdua dengan bayi di dalam kandungannya. Tidak ada seorang pun yang akan mempercayainya. Semua orang akan menudingnya sebagai pezina.
Tapi, peduli setan! Ini anakku. Ini hidupku. Dan ini 2016.
Menjadi ibu tunggal bukanlah sesuatu yang sedemikian aneh di tahun 2016. Ia tinggal di tempat yang mayoritasnya adalah Muslim, tapi ia cukup beruntung karena tidak akan mendapatkan hukuman cambuk karena dituduh berzina. Meski bagaimana pun ia harus berpikir keras untuk menyembunyikan hal ini dari keluarganya. Ia juga harus mempersiapkan lebih banyak uang untuk biaya persalinan, dan ia harus mempersiapkan tempat persembunyian yang aman di saat kandungannya semakin besar. Lalu harus mulai memikirkan akan tinggal di mana mereka, ia dan bayinya setelah lahir nanti. Tiba-tiba ia merasa pening, terlalu banyak pikiran menghantamnya di saat bersamaan.
Maria menjalani hari-hari selanjutnya, sendiri, mencoba tegar. Ia kembali masuk kantor seperti biasa, bersikap seolah tidak ada apa pun yang berbeda. Mengenakan pakaian lebih longgar, tapi tidak ada yang curiga. Setelah memasuki bulan kelima, beberapa orang berkomentar bahwa ia kelihatan lebih berisi atau gemuk, namun sekaligus juga tampak lebih cantik. Maria seperti biasa menebar senyum seolah tanpa beban, meskipun sering menangis pada malam hari. Ia menolak tawaran pemotretan yang datang, karena kehamilannya akan langsung terlihat jika ia memakai pakaian mini dan membuka bagian perutnya.
Kedua orangtuanya yang tinggal di kota lain bahkan sempat menjenguknya. Maria dengan lihai menutupi semua itu, dengan berbagai mode pakaian plus cerita ringan bahwa ia sekarang doyan sekali makan. Orangtuanya malah tampak senang dengan pipinya yang tampak berisi dan wajahnya yang kelihatan segar. Maria bahkan terkejut dengan mulusnya segala sesuatu hingga usia kandungan yang ketujuh.
Saat itu, kehamilannya semakin sulit disembunyikan. Selonggar-longgarnya pakaiannya, buncitnya perut akan tetap terlihat. Tapi ia tetap tampil tenang dan anggun, seolah tidak ada yang berbeda. Maria sadar orang-orang kini mulai membicarakan dirinya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, atau langsung mencibirnya. Semua orang tahu ia belum menikah. Tapi bukankah itu bukan urusan siapa pun?
Beberapa rekan kerja yang berani mulai bertanya langsung kepadanya. Maria sudah memutuskan untuk berkata apa adanya, apa pun risikonya. Berbagai komentar pun langsung menderanya tanpa ampun.
“Dasar gila, kamu pikir kamu Siti Maryam atau Bunda Maria? Cuma karena namanya sama, jangan mimpi deh!”
“Apa ya nggak malu punya pikiran dirimu itu bisa kayak Siti Maryam? Foto model majalah esek esek lho!”
“Sudah 2016, cewek hamil tanpa suami itu nggak seaneh itu. Asal ngomong aja jujur, kita bantu nanti seret lakinya supaya mau tanggung jawab!”
Desas-desus tentang kehamilannya terus beredar, dan semakin banyak anggapan aneh kepada Maria. Entah darimana sumbernya, keluarganya di kota lain akhirnya mengetahui kehamilan Maria, bahkan tidak hanya itu, juga mengetahui pekerjaan sampingannya sebagai seorang model majalah pria dewasa. Sepertinya seseorang sengaja membongkar semua itu untuk mempermalukan Maria dan juga keluarganya. Maria dipanggil pulang ke kampungnya, tepat ketika kelahirannya tinggal menghitung hari. Kedatangannya membuat heboh para tetangga dan teman-teman lamanya. Maria hamil tanpa suami, dan ia berani bersumpah tidak hamil karena lelaki manapun.
“Siapa laki-laki itu, Nak? “ tanya ibu dan bapaknya sambil menangis.
Maria hanya diam. Ia memberikan surat kepada kedua orangtuanya, berisi permintaan maaf dan pengakuan bahwa ia betulan hamil tanpa berhubungan dengan lelaki mana pun. Juga bahwa ia lelah dan tidak ingin berbicara sampai bayinya lahir.
Di tengah hari yang terik, tepat sembilan bulan sembilan hari, Maria melahirkan bayinya. Seorang perempuan. Kabar itu, dengan cepat pula, entah bagaimana menyebar kepada teman-temannya. Semua orang pun mencibir. Mana, katanya bunda Maria, kok tidak melahirkan Nabi? Bukan melahirkan juru selamat?
Sementara itu Maria tak peduli, ia berbaring, asyik menyusui bayinya.
Bayi perempuan yang menatap matanya, lalu berkata, “Ibu, aku hampir tak jadi lahir, dunia ini sudah terlalu lama berhenti percaya...”
Maria memeluk bayinya. “Tapi, aku percaya, Nak...”
Feby Indirani adalah penulis dan wartawan yang fokus pada isu-isu perempuan dan minoritas; Muslimah yang meyakini pentingnya bernalar kritis; mencintai matahari pagi dibanding senja, dan lebih memilih teh daripada kopi.
Comments