Women Lead Pendidikan Seks
December 02, 2021

Busana Adaptif, Karena Penyandang Disabilitas Berhak Tampil Modis

Tak hanya mengacu pada fungsi, busana adaptif yang mengikuti perkembangan tren menunjukkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Share:

Ketika Aditya, 24, mantan pemain diklat Persib Bandung mengalami cedera pada 2015, ia harus menggunakan prostetik untuk kaki kanannya yang diamputasi. Menyusuri pertokoan di Pasar Kosambi, Bandung, konten kreatif di Pandit Football itu mencari sepasang sepatu yang pas dan nyaman untuk kedua kakinya, hingga menemukan toko busana adaptif yang menjadi langganannya di kemudian hari.

“Sebenarnya enggak ada masalah, cuma harus nyari yang pas sama kaki palsunya,” ceritanya kepada Magdalene (1/12). Saat mencari sepatu, ia lebih menyesuaikan ukuran kaki kiri lantaran sering kali prostetik kanannya tidak cocok dengan sepatu. Pun sepatu tersebut harus disertakan tali ataupun velcro.

Dibanderol Rp550 ribu untuk sepasang sepatu lari sehari-hari, ia mengklaim harganya tidak terlalu mahal.

Berdasarkan pengalaman Aditya dalam mencari sepatu sesuai ukuran kedua kakinya, menunjukkan minimnya busana adaptif bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Sebagai informasi, busana adaptif merupakan pakaian yang didesain berdasarkan kemampuan dan kebutuhan penyandang disabilitas. Ini bukan hanya tuna daksa, melainkan termasuk penderita Alzheimer’s, edema, Parkinson’s, inkontinensia, artritis, serta gangguan pencernaan dan penyakit usus. Ataupun lansia yang kesulitan berpakaian karena faktor kesehatan.

Bentuknya pun beragam, misalnya penggantian kancing kemeja dengan magnet, panjang celana di bagian depan yang lebih pendek, atau pembuka baju dan celana terletak di bagian samping dan belakang. 

Sebagai kebutuhan pokok yang seharusnya mudah ditemukan serta dapat dikenakan dengan gampang dan nyaman, acap kali pakaian menjadi pengecualian. Salah satu faktornya, mayoritas pakaian yang diproduksi dan dijual, baik fast fashion maupun berkelanjutan, belum melibatkan inklusivitas ke dalam target pasar.

Melansir Forbes, awalnya penyandang disabilitas dapat menemukan busana adaptif di situs medis. Artinya, produsen pakaian belum melihat fisik secara utuh dan universal, karena kepentingan dan pengalaman penyandang disabilitas belum cukup diperhatikan. 

“Buat saya, pakaian itu kekuatan untuk tampil percaya diri,” aku Aditya. Yang seharusnya menyenangkan dan fesyen dimanfaatkan untuk mengekspresikan diri, hal itu membuat berbelanja pakaian sebagai sebuah aktivitas monoton.

Sebenarnya, busana adaptif mulai berkembang di pasaran sejak 2017, ketika brand Tommy Hilfiger merilis koleksinya berupa celana jeans, sweater, dan celana panjang untuk dewasa. Selain itu, Target juga mengeluarkan 40 potong pakaian ramah sensorik, yang awalnya diciptakan untuk anak-anak di bawah label Cat & Jack. 

Keberadaannya disusul oleh sejumlah brand lain, seperti Zappos, perusahaan ritel sepatu yang memproduksi sepatu dengan resleting bernama Billy Footwear. Pun, toko ritel Asos meluncurkan jumpsuit untuk pengguna kursi roda pada 2018.

Baca Juga: Gender dan Disabilitas: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Busana Adaptif di Indonesia

Meskipun secara global busana adaptif banyak ditemukan, ketersediaannya belum banyak ditemukan di Indonesia. Menurut Ilma, 25, seorang pegawai bank yang mengalami cerebral palsy, pakaian dengan kancing besar atau magnet perlu diperbanyak.

“Cukup adaptif untuk disabilitas sepertiku, cuma kadang-kadang jumlah kancingnya terlalu banyak. Terus baju perempuan juga kantongnya sempit, padahal kalau ruangnya lebih banyak, membantu banget biar ponsel enggak jatuh,” ujarnya.

Selama ini, perempuan domisili Jakarta itu membeli pakaian secara online dan belum pernah mengenakan busana adaptif. Ketika ditanya caranya menyiasati pakaian yang dikenakan, ia menjelaskan, “Pintar-pintar mencari aja. Sekarang banyak pakaian minimalis enggak berkancing, jadi saya cari yang desainnya seperti itu.” Namun, ia mengharapkan rok atau celana tidak terlalu panjang demi kemudahan dan kenyamanan penggunanya.

Melihat adanya peningkatan kebutuhan busana adaptif bagi penyandang disabilitas dan lansia, Adaptive Clothing Indonesia hadir pada 2018 untuk menawarkan solusinya.

“Kami ingin membantu para lansia dan yang berkebutuhan khusus supaya lebih mandiri dalam berpakaian,” ucap Co-Founder Adaptive Clothing Indonesia, Angela Bestianti, saat dihubungi Magdalene (1/12).

Sejak 2010, Angela dan timnya melihat perkembangan busana adaptif di luar negeri, sehingga semakin mendorong mereka untuk meluncurkan brand tersebut.

“Kami memahami Indonesia memiliki market busana adaptif, namun konsumen belum teredukasi dengan keberadaannya,” tambahnya. Karena itu, mereka mempromosikan busana adaptif di panti lansia dan media sosial agar masyarakat mengetahui pakaian ini tidak hanya diperoleh di luar negeri.

Dengan harga mulai dari Rp300 ribu, hingga saat ini pemasarannya masih dijual dalam kuantitas tertentu atau jumlah grosir.

Baca Juga: Perempuan dengan Disabilitas Bukanlah Beban

Jika berkaca pada pendapatan penyandang disabilitas, rasanya harga yang ditawarkan belum dapat menjangkau semua kalangan. Karena berdasarkan survei Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas, untuk respons inklusif COVID-19 di Indonesia pada April 2020, terdapat penurunan pendapatan sebesar 86 persen.

Namun, Angela menjelaskan, saat ini Adaptive Clothing Indonesia sedang dalam tahap pengembangan menuju penjualan Business to Customer (B2C). Ia berharap, busana adaptif semakin dikenal agar dapat ditemukan dalam pasar layaknya fast fashion.

Selain itu, konsumen belum dapat menentukan model pakaian sesuai keinginannya. Alhasil, pelanggan perlu memesan sesuai jenis pakaian dan ukuran tubuh, sesuai yang tertera pada situs Adaptive Clothing Indonesia. Pelanggan akan menerimanya setelah satu sampai tiga hari proses pengerjaan, setelah pembayaran diselesaikan.

Bisnis yang digerakkan Angela dan timnya itu tidak hanya memberdayakan penyandang disabilitas dan lansia, tetapi turut membuka lapangan pekerjaan. “Untuk menciptakan busana adaptif, kami berkolaborasi dengan para penjahit lokal,” katanya.

Baca Juga: Bisnis Baju 'Preloved' Stabil Selama Pandemi 

Busana Adaptif dan Kesetaraan

Meskipun sejak 1980 pengasuh dan keluarga penyandang disabilitas telah menyadari kebutuhan pakaian yang mudah dipakai, model yang dirancang produsen dan distributor cenderung tidak modis, dan menyerupai gaun rumah sakit.

Perkembangannya baru terlihat signifikan pada 2014, ketika Danielle Sheypuk tampil di runway New York Fashion Week, sebagai model pertama yang memperagakan pakaian di atas kursi roda.

Kepada The Guardian, ia beropini tentang pentingnya para desainer mengakui konsumen mereka, yang menyandang disabilitas. “Belum ada desainer yang melakukannya, bahkan kami cenderung diabaikan dalam dunia fesyen,” tegasnya.

Pernyataan Sheypuk itu disambut inisiatif desainer Mindy Scheier, yang merilis Runway of Dreams, sebuah organisasi nirlaba untuk mempromosikan dan mendukung desain pakaian inklusif.

Awalnya, ia terinspirasi dari Oliver, putranya yang menderita distrofi dan selalu mengenakan celana olahraga. Melihat teman-temannya yang memakai celana jeans membuatnya juga menginginkannya. Namun, karena Scheier tidak dapat menemukan celana jeans yang sesuai dengan penyangga kaki anaknya, ia merancangnya sendiri.

Barulah setelah itu, sederet brand besar menciptakan busana adaptif. Melihat perkembangan tersebut, kami bertanya kepada Angela tentang upayanya menghalau stigma disabilitas, dan menormalkan busana adaptif yang mengutamakan kemajuan fesyen.

Ia menuturkan, desain trendi diperlukan pengguna dapat tampil stylish dan tidak terbatas pada fungsi. Maka itu, Adaptive Clothing Indonesia memiliki beberapa jenis pakaian yang dapat disesuaikan dengan referensi konsumen.

Misalnya model blouse maupun kemeja untuk atasan, sedangkan bawahan celana model chino dan jeans, serta sepatu khusus. Angela juga memberikan contoh lainnya, yakni brand ternama IZ Adaptive yang memiliki desain trendi. Menurutnya, setiap orang memiliki kesamaan hak dalam mendapatkan dan mengenakan pakaian.

“Kami berharap hal ini menjadi salah satu cara mengubah mindset bahwa semua orang sempurna, dan harus diperlakukan setara,” imbuhnya.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.