Women Lead Pendidikan Seks
April 21, 2021

Puasa dan Perundungan terhadap Si Gemuk

Perundungan terhadap si gemuk tidak berhenti di tengah bulan puasa Ramadan, di saat orang seharusnya menjaga lisan.

by Ruby Astari
Lifestyle
Fat Comment 46 Thumbnail, Magdalene
Share:

Dua tahun lalu, saat saya bekerja di sebuah perusahaan periklanan digital, kami biasa mengadakan buka puasa bersama di kantor. Semua kudapan dikumpulkan di atas meja bersama di tengah ruang kerja, dan semua orang boleh mengambilnya.

Sebagai anak baru, tadinya saya malu mengambil makanan itu. Tapi sahabat saya di kantor menyuruh saya untuk mengambilnya dan makan di meja saja. Saat saya mulai makan sepotong kecil camilan, salah satu staf senior di kantor, seorang laki-laki tinggi kurus, mendekati saya sambil mendelik, lalu dia bilang begini:

“Cewek makannya enggak boleh banyak-banyak!”

Saya balas mendelik padanya. Untuk sesaat, rasanya seperti kembali berhadapan dengan perundung yang mengatai saya gemuk pada masa sekolah. Saya pikir orang dewasa sudah tidak melakukan hal semacam ini lagi, tapi ternyata saya salah. Sambil menarik napas, saya tatap dia tanpa berkedip sebelum menjawab dengan nada dingin:

“Kata siapa?”

Saat dia menjawab dengan pongah: “Kata gue”, saya tidak bicara lagi dan langsung memasukkan camilan ke dalam mulut sambil menatapnya tanpa berkedip, jelas-jelas menantangnya untuk menghentikan saya. Dia tidak bicara apa-apa lagi dan mundur. Dia beruntung, karena waktu itu saya lebih peduli menjaga kualitas puasa saya daripada marah-marah.

Saya kira dia akan berhenti sampai di situ saja, tapi tak lama setelah Idul Fitri, laki-laki itu berulah lagi. Kali ini terjadi saat saya membawa sekantong kerupuk dari Palembang, oleh-oleh dari teman baik saya yang baru mudik saat Lebaran. Saya sudah berseru ke seluruh ruangan untuk mengambil saja kerupuknya kalau mau. Sesudah mendengar jawaban mereka, “Oke, Rub”, saya kembali bekerja.

Baca juga: Tubuhku Otoritas Orang Lain

Laki-laki perundung yang sama menghampiri saya lagi dan berdiri pas di samping saya, melihat saya mengambil kerupuk dan mulai mengunyah sambil bekerja. Lalu dia mulai menanyakan banyak pertanyaan aneh, seperti kapan terakhir kali saya berolahraga dan berapa lama. Dia bahkan dengan keponya ingin tahu jenis olahraga yang saya lakukan dan sebanyak apa saya berkeringat—sementara semua orang di sekelilingnya tengah sibuk bekerja!

Saya menjawab setengah hati, karena dia mengganggu konsentrasi kerja saya. Saya bisa mendengarnya mulai menguliahi saya soal apa yang boleh dan tidak boleh dimakan lagi, seakan saya anak kecil tolol yang tidak bisa pakai cermin.

Eh, gue udah tahu badan gue kali, enggak usah ngomong.

“Kerupuknya gue ambil, ya?” Dia menyeringai sambil mengangkat bungkus isi kerupuk itu. Saya pun tertawa keras-keras atas kelancangannya dan tahu jawaban yang akan cukup menusuk egonya:

“Kan aku sudah bilang, kalo mau ambil aja. Enggak usah bawa-bawa berat badan segala.”

Dia marah dan langsung membanting kantong kerupuk di meja saya. “Enggak usah galak-galak, kenapa?” Lalu dia balik ke mejanya dan ngambek seharian. Sahabat saya, yang juga gemuk, hanya melirik dan nyengir ke arah saya. Saya tahu dia juga pernah dirundung soal berat badannya oleh laki-laki bully yang sama.

Baca juga: #BodyGoals Alias Jadi Nyaman dengan Tubuh Sendiri

Menjaga Jarak Sosial Selama Pandemi Berguna Hindari Perundungan

Ini tahun kedua pandemi. Saya sudah lama meninggalkan pekerjaan itu dan kembali mengajar. Saya berbuka puasa sendirian di kamar. Kadang saat harus WFO (work from the office – bekerja di kantor), saya juga masih berbuka sendirian. Saya membawa makanan dan minuman ke kelas kosong, karena lebih aman begitu. Jaga jarak masih berlaku.

Bulan puasa bagi si gemuk mungkin masih terasa sama bagi sebagian dari kami tiap tahun. Saya selalu berharap bahwa selama Ramadan, orang-orang akan mulai belajar mengontrol lisan mereka, jadi tidak hanya menahan diri dari makan dan minum sejak fajar hingga petang. Tidak, ini bukan berarti kalian jadi enabler atau membiarkan kami terus gemuk.

Kami hanya ingin rasa hormat terhadap privasi dan ruang pribadi kami. Tubuh kami urusan kami. Silakan beralasan yang sama tiap tahun bahwa kalian hanya bercanda dan harusnya kami tidak boleh terlalu sensitif. Sayangnya, kami sudah muak. Kami sudah tahu ucapan itu hanya pembelaan diri kalian agar tidak ditegur karena sudah bersikap tidak sopan.

Lagi pula, kalau belum bisa mengontrol mulut sendiri, memangnya kalian siapa yang merasa berhak mengatur-atur perasaan kami? Selain itu, kami sudah hafal dengan kebiasaan yang sama ini. Mungkin kalian akan beralasan: “Sekadar mengingatkan”, hanya agar kalian terlihat seakan-akan kalian yang baik di muka umum dan kami lah yang tidak tahu terima kasih.

Tidak, kali ini tidak. Kalau memang peduli, daripada menegur dan menguliahi kami di depan orang-orang lain, kalian bisa berbuat lebih baik—seperti mengundang kami untuk berolahraga bareng atau memberikan kami camilan sehat gratis.

Baca juga: Kritik Polusi Visual, Seluk Beluk ‘Body Positivity’, dan ‘Body Neutrality’

Meskipun demikian, tidak berarti kalian punya kuasa untuk mengatur-atur tubuh gemuk kami. Perkara kami ingin menurunkan berat badan atau tidak, kami tidak berutang penjelasan sama kalian. Yang paling parah adalah bila kalian tidak pernah tahu rasanya jadi kami (seperti laki-laki yang saya ceritakan barusan, karena saya pernah mendengarnya bercerita pada rekan kerja lain kalau dia selalu berperawakan kurus.)

Pengalaman umum yang sering kami rasakan termasuk orang-orang yang sering bercanda bahwa puasa kami sama dengan program diet kami. Ayolah, kreatif sedikit jadi orang. Kalimat kalian barusan itu sudah basi. Jangan rusak bulan suci ini–dan Idul Fitri nant –dengan pertanyaan apakah kami sudah menurunkan berat badan selama puasa dan berapa banyak.

Saya senang berbuka puasa sendirian karena saya jadi tidak perlu merasa waspada terhadap perundungan. Mungkin pandemi ini masih memberi kita waktu untuk belajar menciptakan interaksi sosial lebih baik lewat menjaga jarak aman. Mari berharap tidak ada seorang pun yang menjadi alasan sesamanya jadi tidak suka berkumpul saat pandemi ini nanti benar-benar berakhir.

Ruby Astari adalah penulis dan penerjemah lepas, dan pernah mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di beberapa lembaga kursus setempat di Jakarta. Pernah menulis untuk Magdalene.co , Lakilakibaru.or.id , Konde.co, Voxpop.id, dan beberapa media online lain. Novel perdananya berjudul “Reva’s Tale”.