Women Lead Pendidikan Seks
August 03, 2020

‘Cabul’: Membaca Buku (tentang) Seks yang Benar

‘Cabul’ karya Hendri Yulius adalah buku tentang seksualitas yang enak dibaca dan perlu.

by Nadya Karima Melati, Kolumnis
Issues // Gender and Sexuality
Sex Education Pendidikan Seks_KarinaTungari
Share:

Ada dua buku non-fiksi tentang seks karya penulis Indonesia yang pernah saya baca. Pertama, empat jilid Jakarta Undercover karya Moammar Emka yang saya baca diam-diam ketika kelas dua SMA. Buku kedua adalah Cabul karya Hendri Yulius yang saya baca tahun lalu. Tema seks selalu menarik untuk diperbincangkan dan kedua buku ini menempatkan seks sebagai fokus utama bahasannya. Jika Jakarta Undercover menuliskan pengalaman Emka dalam pelesir seks di ibukota, Hendri memosisikan diri sebagai penggemar budaya populer pornografi, dan berupaya menjungkirbalikkan sedikit hal yang pernah kita tahu tentang tubuh dan jenis kelamin.

Periodisasi waktu dan pendidikan saya sebagai perempuan memainkan peranan penting terhadap kedua bacaan ini. Saya tidak mendapatkan pendidikan seks yang komprehensif sepanjang tumbuh kembang saya sebagai perempuan. Dari orang tua dan sekolah, saya dibesarkan dan diajarkan bahwa menjadi perempuan itu berarti harus memendam hasrat seksual, serta menjaga tubuh supaya tidak dilecehkan dan diperkosa. Saya harus menjaga diri supaya tidak harus menjadi perempuan yang dibayar. Seks hanya boleh diberikan pada orang yang pantas nanti, yakni suami saya.

Karena ketiadaan pendidikan seks, saya menggunakan bacaan-bacaan seperti Jakarta Undercover dan video porno untuk belajar tentang seks. Dari situ saya belajar sedikit-sedikit tentang kata-kata orgy, pijat plus-plus, striptease, perempuan telanjang, atau klub malam.

Saya tidak sendiri, jutaan dewasa muda dalam usia saya di pertengahan 20an juga mungkin punya pengalaman yang sama. Persepsi tentang identitas gender, jenis kelamin dan hubungan seksual, dibentuk oleh pendidikan seksual yang menyedihkan.

Baik Jakarta Undercover (pertama terbit 2005) dan Cabul (2019) menggunakan medium seks untuk menjelaskan fenomena hasrat manusia. Buku pertama menjelaskan detail pengalaman-pengalaman kehidupan malam ilegal. Sementara Hendri menggunakan alat analisa budaya pop pornografi mulai dari film porno, komik hentai, novel stensil Enny Arrow, hingga karya sastra untuk menjelaskan hasrat ketubuhan manusia. Rentang jarak penerbitan 14 tahun memperlihatkan bagaimana isu seksualitas dan gender bergeser dan berubah dalam kebudayaan Indonesia.

Baca juga: Menanam Bibit Narcissus: Kampus di Indonesia dan Penelitian Seksualitas

Jika saya tutup mata tanpa membandingkan tahun terbit, maka saya akan mengecap buku petualangan seks Emka hanya berisi pandangan lelaki, misoginis, dan tidak menyimak ideologi gender, pengalaman, dan eksploitasi seksual yang sesungguhnya terjadi dalam dunia prostitusi di Indonesia. Jakarta Undecover menyajikan ramuan budaya pop pornografi yang kolot dan usang: Perempuan sebagai objek dan komoditas seks dari sudut pandang lelaki.

Sementara Hendri dalam kumpulan esainya mengguncang semua pemahaman dangkal kita tentang tubuh dan seks. Ada tiga hal yang diupayakan Hendri dalam buku ini. Pertama, membongkar semua asumsi either or yang ditawarkan feminis teori yang seakan tidak ada pilihan. Hal ini terlihat dari upaya dia mengaburkan batasan-batasan antara subjek-objek seperti dalam bab “Politik Seksual Playboy dan Playgirl: dari Hefner, Flynt hingga Nicki Minaj”.

Kedua, mencabut seks dari paradigma esensialis. Ini disebut berulang-ulang untuk melawan ideologi konservatif yang disuarakan AILA (Aliansi Cinta Keluarga), organisasi yang juga sebenarnya berhasrat mengkriminalkan LGBTIQ. Ketiga, dan paling utama, melawan tabu terhadap tubuh dan hasrat seksual. Hendri berupaya membuat kita semua telanjang dan mengakui hasrat, serta upaya kita untuk memuaskan hasrat itu. Saya menangkap perasaan ini dalam bab "Berpetualang Menjelajah Masa Depan Pornografi", yang berisi dialog Hendri dengan bintang porno. Di sana Hendri sebagai lelaki dan penikmat pornografi merasa sangat bersemangat dan ingin banyak bertanya tetapi ia juga menghargai bahwa di balik industri pornografi adalah manusia-manusia yang melakukan kerja.

"Saya tahu ia membutuhkan uang untuk melanjutkan hidupnya, dan diskusi kami tidak seharusnya menghalanginya untuk mencari nafkah," tulisnya.

Buku Cabul terdiri dari tiga bab yang diberi judul seperti bagian-bagian dalam hubungan seksual, yakni Foreplay, Intercourse, dan Cumshot. Setiap bab terdiri dari kumpulan esai pop. Narasinya mengalir lancar dengan bahasa yang populer dan penjelasan tentang teori yang komprehensif. Karena menggunakan film porno sebagai metodologi, Hendri mengaplikasikan teori-teori tentang film dan psikoanalisis. Industri pornografi juga disorot sebagai pelengkap informasi, mulai dari dominasi ras hingga pengalaman tiap bintang porno dimunculkan dalam beberapa esai sehingga kita seakan-akan dipersilakan melihat kenyataan yang utuh tentang industri film porno.

Baca juga: Kastrasi Penis: Refleksi atas Homofobia

Hendri berkali-kali menyebut kisah The Peeping Tom dari kisah Lady Godiva, putri bangsawan yang berkuda tanpa busana sebagai bentuk demonstrasi menentang kenaikan pajak bagi rakyat miskin. Pemakaian mitos ini dipakai Hendri sebagai gambaran akan masyarakat pada umumnya yang berhasrat untuk mengintip. Apa yang terjadi dalam intaian kita dalam film porno seperti bermasturbasi, pengalaman tubuh menonton film horor, kemampuan tubuh menerima gangbang, risting, menahan rasa sakit atau mengapa mayoritas perempuan suka didominasi dijelaskan secara gamblang dalam esai-esainya. 

Tak luput ia bongkar diskriminasi tentang identitas gender dan orientasi seksual yang dikupas habis melalui film-film porno yang ditonton. Hendri menjungkirbalikkan relasi subjek-objek, mempertanyakan teori-teori feminis usang yang tidak sejalan dengan Kajian Queer dan seksualitas.

Topik bahasan seksnya komprehensif, tapi buku ini disajikan dengan bahasa yang sederhana. Gaya bercerita yang pop membuat saya seakan-akan sedang ngobrol langsung dengan Hendri Yulius seperti dalam bab "Girl-girl pornography dan potensi queer".

"Bagi lelaki heteroseksual, berhubungan seks dengan dua orang perempuan dalam waktu bersamaan ibarat kejatuhan dua durian.. ..dalam konteks ini, lelaki harus ‘sanggup memuaskan’ kedua-duanya. Mampus lo.".

Hendri juga memantik pembaca melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai penutup esai-esai dalam buku ini, misalnya, "bagaimana jika Ayu Utami dan Djenar adalah laki-laki, apakah penilaian feminis yang disematkan pada mereka akan tetap sama? Hmmm...".

Tanpa dasar filsafat, pembaca awam akan terjebak kebingungan dalam membaca buku ini. Dan jika saja Hendri berani menggunakan analisis periodisasi waktu, buku ini akan menyediakan lensa yang lebih besar dan utuh untuk melihat pergeseran norma dan industri pornografi. Tapi buku ini buat saya menjadi salah satu buku yang patut dibaca kalangan akademisi, khususnya yang berkecimpung dalam teori feminisme dan seksualitas, di tengah bangkitnya diskusi tentang seksualitas dan feminisme dalam gerakan masyarakat sipil di Indonesia.

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah "Membicarakan Feminisme" (2019).