Women Lead Pendidikan Seks
October 21, 2021

Dari Lipstik sampai ‘Pussy Hat’, Aneka Simbol dalam Gerakan Perempuan

Berikut ini enam simbol yang muncul pada gerakan-gerakan perempuan dalam sejarah yang perlu kamu tahu.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Issues
Share:

Dari zaman ke zaman, feminisme telah berkembang dan mengusung agenda yang berbeda-beda. Fokus perjuangan yang bervariasi ini tak lepas dari konteks sosial politik tempat perempuan berada, sehingga apa yang diperjuangkan di Barat bisa berlainan dengan di Timur meski periodenya sama. Walau demikian, tujuan universal yang diusung tetap serupa, yakni keadilan dan kesetaraan bagi semua gender.

Dalam perjalanan mewujudkan tujuan tersebut, ada bermacam-macam ekspresi dalam gerakan-gerakan feminis. Menurut penggagas akun @CherbonFeminist Nurul Bahrul Ulum dalam acara Bisik Kamis (10/3) bertajuk “Bicara Feminisme dan Agama Bisakah Seirama”, ekspresi feminis sangat bergantung pada situasi dan budaya setempat. 

“Contohnya, kita lihat Kartini Kendeng, bagaimana perempuan berjuang melawan perampasan tanah. Lalu, ada model-model Indonesia Feminis, ada juga model-model Mubadalah,” kata Nurul.

Dari salah satu contoh yang Nurul sebutkan, yakni Kartini Kendeng, kita bisa melihat gerakan perempuan-perempuan desa yang dalam melawan penindasan oleh pihak pabrik semen menggunakan sejumlah simbol: Pakaian petani dan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara. Aksi mengecor kaki ini melambangkan kondisi mereka sesungguhnya yang terbelenggu oleh keberadaan pabrik semen di daerah tempat tinggalnya.

Baca juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya

Di samping aksi ini, tentu masih banyak simbol lainnya yang digunakan dalam gerakan-gerakan perempuan di mancanegara. Berikut kami rangkum beberapa di antaranya. 

  1. Lipstik Merah

Pada awal abad ke-20, lipstik merah digunakan oleh para perempuan sebagai simbol kekuatan mereka, khususnya bagi perempuan kulit putih pejuang hak pilih (suffrage). Dilansir CNN, tahun 1912, pebisnis kosmetik Elizabeth Arden, yang merupakan pendukung hak-hak perempuan, membagikan lipstik merah pada para pejuang gerakan suffrage di New York. Menurut pemimpin gerakan, Elizabeth Cady Stanton dan Charlotte Perkins Gilman, lipstik berwarna berani tersebut mampu merepresentasikan pemberontakan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh para perempuan saat itu. 

Dalam wawancara dengan Teen Vogue, sejarawan kosmetik dan founder Besame Cosmetic Gabriela Hernandez mengatakan, penggunaan lipstik merah ini cukup ampuh mengundang perhatian publik kala itu.

“Ini dilihat sebagai tanda independensi dan emansipasi perempuan, yang dulu dianggap skandal. Aksi subversif ini memicu tentangan dari para laki-laki dan sebagian perempuan menilai perempuan lain yang memakainya bermoral rendah.”

2. Gantungan Baju Dicoret

Kedua simbol ini digunakan dalam gerakan perempuan yang mengusung pro-choice. Dalam situs Planned Parenthood disebutkan, orang-orang pro-choice meyakini bahwa tiap manusia punya hak asasi untuk menentukan mau atau tidak mau punya anak, termasuk punya pilihan melakukan aborsi untuk kehamilan tidak diinginkan.

Pemakaian lambang gantungan baju dicoret tidak lepas dari isu aborsi tidak aman yang hendak diketengahkan oleh orang-orang pro-choice. 

Dilansir LA Times, pada 1960-1970-an, publik Amerika terbagi menjadi dua kubu: Pro dan kontra terhadap legalisasi aborsi. Mereka yang pro kadang membawa gantungan baju sebagai simbol aborsi tidak aman yang dilakukan para perempuan lantaran aborsi dilarang dalam hukum. Dari sejumlah cara aborsi tidak aman yang populer di masyarakat, memasukkan gantungan baju ke vagina untuk menggugurkan kandungan masuk ke dalamnya dan mengakibatkan dampak fatal, mulai dari infeksi, pendarahan, bahkan kematian. 

Pada April 1969, lebih dari 300 ribu pemrotes melakukan demonstrasi di Washington, memakai gantungan baju di leher mereka dan membawa tulisan “Never again”.

3. Petir Merah

Simbol yang satu ini muncul dalam aksi protes feminis terhadap hukum di Polandia yang melarang aborsi, bahkan dalam kasus janin memiliki indikasi medis tak tersembuhkan sejak lahir. Dalam wawancara dengan Artnet News, perancang simbol ini, Ola Jasionowska berujar, petir menandakan kekuatan perempuan dan merupakan peringatan terhadap pemerintah.

Ketika simbol ini digunakan oleh para pemrotes, muncul narasi bahwa gambar petir telah dipakai kelompok fasis dalam sejarah, membuat protes para feminis di Polandia yang memakai simbol tersebut dikait-kaitkan dengan kelompok itu. Menanggapi hal tersebut, Jasionowska menyatakan, “Kelompok kanan akan mencoba menghubungkan kelompok liberal dan feminis dengan konotasi fasis ini. Aborsi dianggap fasis…kelompok LGBTQIA dianggap fasis, komunis, dan segala macam hal buruk lainnya. Ini hanya untuk memecah belah masyarakat… Simbol petir justru melambangkan gerakan yang punya nilai berkebalikan dengan fasisme: Kebebasan adalah pesan kunci kami.”

Baca juga: Merayakan Feminisme dari Era Koran hingga Media Sosial

4. Membuang Bra

Pada 1968, sekelompok perempuan di AS menentang ajang Miss America di Atlantic City, New Jersey. Mereka menilai ajang kecantikan tersebut hanya digelar untuk memuaskan tatapan laki-laki (male gaze) dan melanggengkan stereotip perempuan cantik nan bodoh yang senantiasa membutuhkan penerimaan laki-laki. Dalam periode tersebut, para perempuan pemrotes di sana juga mengeluhkan peran perempuan yang masih diidentikkan dengan dunia domestik semata.  

Salah satu simbol yang dipakai oleh para pemrotes saat itu adalah pembuangan bra ke “Freedom Trash Can”. Namun sebenarnya, tak hanya itu yang mereka buang. Mereka juga melemparkan kain pel, majalah Playboy, lipstik, sepatu hak tinggi, wajan, yang semua itu dianggap sebagai “alat penyiksaan perempuan”. 

Dari momen tersebut, tersebar narasi bahwa feminis adalah pembenci laki-laki yang doyan membakar bra. Narasi ini muncul karena ada gambaran bra terbakar dalam tempat sampah itu pada saat protes berlangsung. Namun, narasi ini tak sepenuhnya betul. 

Kepada BBC, salah satu orang yang mengorganisasi protes tersebut, Robin Morgan, mengatakan bahwa sebagian perempuan dalam aksi itu memang benar melepas branya, tetapi tidak membakarnya. Sekalipun ada api di tempat sampah, api tersebut gampang padam sehingga peristiwa pembakaran bra nan ikonik sebagaimana dibayangkan sebagian orang tidak benar-benar terjadi. 

5. Cap Tangan Merah

Simbol yang satu ini umumnya digambarkan menutupi mulut para demonstran. Sejak awal, cap tangan merah ini dipakai untuk melambangkan kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan penduduk asli (indigenous) di Amerika Utara yang kerap dibungkam.

Dalam situs Global Glow, pelari yang juga merupakan penduduk asli, Rosalie Fish mengatakan, “Anak perempuan dan perempuan penduduk asli menjadi target predator di luar komunitasnya. Sebesar 84 persen perempuan penduduk asli akan merasakan bentuk kekerasan sepanjang masa hidup mereka.”

Di situs tersebut juga dinyatakan, pembunuhan menjadi penyebab tertinggi ketiga kematian perempuan penduduk asli di AS. Sementara di Kanada, perempuan penduduk asli disebut empat kali lebih mungkin jadi korban pembunuhan dibanding non-penduduk asli. 

Pada April tahun lalu, pelari penduduk asli lainnya Jordan Daniel menggambar cap tangan merah di mulutnya dan menulis MMIWG (missing and murdered indigenous women and girls) di kakinya sebagai bentuk solidaritas dalam ajang Boston Marathon. Kendati menjadi simbol kesadaran akan kekerasan terhadap kelompok minoritas, Daniel mengatakan bahwa ini bisa jadi pedang bermata dua karena sebagian orang mengeksploitasi penggunaannya di media sosial tanpa tahu konteks. 

Selain itu, kepada CBC ia mengatakan, “Sebagian penduduk asli berkata pada saya mereka mengkhawatirkan penggunaan simbol ini karena di sebagian suku dan budaya, penggunaan cat itu punya pemaknaan dan konteks berbeda.”

6. Pussy hat

Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS pada 2017, sebagian perempuan di sana turun ke jalan untuk memprotes misogini yang dipraktikkan Trump. Misalnya, lewat komentar vulgarnya tentang menyentuh alat kelamin perempuan. Dalam protes tersebut, muncul satu simbol yang diingat banyak masyarakat global sampai sekarang: pussy hat.  

Topi ini awalnya diinisiasi pada 2016 oleh Jayna Zweiman dan Krista Suh, yang kemudian membuat The Pussyhat Project. Sebagaimana tertulis dalam situs Pussyhat Project, orang-orang dari berbagai kalangan mulai dari perempuan, laki-laki, anak, kelas sosial tinggi dan rendah, religius dan sekuler, heteroseksual dan LGBTQ, berbagai ras memakai topi rajutan ini sebagai simbol solidaritas untuk hak perempuan dan menentang retorika yang meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas. Pemilihan pussyhat dalam gerakan mengusung hak perempuan juga tidak lepas dari niat untuk mendestigmatisasi kata “pussy” (vagina) dan mengubahnya menjadi simbol penguatan.

Tak hanya orang AS yang memakai ini. Terima kasih pada kekuatan media sosial, gerakan solidaritas yang memakai simbol pussy hat juga menyebar ke berbagai belahan dunia, khususnya pada momen Women’s March

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop