Women Lead Pendidikan Seks
June 30, 2022

Dear Om Deddy, Setop Ambil Keuntungan dari Kelompok Rentan

Menguak trauma Widy Vierratale, adalah bukti lain kalau Deddy Corbuzier enggak sensitif dan “mengambil keuntungan” dari kelompok rentan.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Share:

Dear Om Deddy Corbuzier,

Lagi-lagi nama Om meramaikan media sosial nih, gara-gara potongan klip podcast #CloseTheDoor bareng Cinta Laura dan Widy Vierratale. Sebenarnya, penyebab sorotan warganet masih sama ya, Om, gara-gara konten podcast-nya kontroversial. Bedanya, kali ini pembahasannya seputar pelecehan seksual.

Namun, sebelum membahas konten itu, perlu saya sampaikan kenapa geram banget sama Om Deddy, sampai menulis “surat peringatan” ketiga ini.

Jadi, Tempo pernah mencatat pendapatan Om per bulannya pada 2021, yang dihasilkan dari media sosial. Dalam laporan itu, kira-kira Om meraup pendapatan sekitar Rp337,86 juta sampai Rp5,395 miliar.

Di sini saya sama sekali enggak iri, lho, dengan penghasilan yang bersumber dari puluhan juta pengikut Om di media sosial. Masalahnya, Om secara enggak langsung mengambil keuntungan, dari orang-orang yang dirugikan akibat terdampak konten-konten itu.

Lho, kok begitu?

Nah, coba yuk Om, kita hitung satu per satu, apa aja kontroversi Om di podcast yang tak sensitif dan merugikan banyak orang, termasuk kelompok rentan.

Baca Juga: Dear Om Deddy Corbuzier, Tolong Kuasai Diri Sendiri

1. Menguak Trauma Korban Pelecehan Seksual

Dalam podcast yang diunggah 23 Juni lalu, dengan entengnya Om bertanya pada Widy, “Tadi kayaknya lo bete banget kita ngomongin begituan (pelecehan seksual). Kenapa? Lo pernah mengalami pelecehan seksual?”

Buat Om Deddy, mungkin itu hanya sebuah pertanyaan yang enggak ada bedanya dengan sejumlah pertanyaan lain. Namun, Om sadar enggak dengan reaksi Widy yang langsung nge-freeze, begitu ditembak pertanyaan tersebut? Sampai-sampai Cinta berusaha menenangkan, dengan mengatakan enggak perlu menjawab pertanyaan Om, kalau Widy enggak mau.

Kalau aja Om tahu, pertanyaan itu membuka trauma dalam diri Widy sebagai penyintas, lho. Bahkan, Om enggak merasa bersalah, malah bertanya-tanya ketika Cinta bilang pertanyaannya enggak boleh memaksa.

“Yang maksa siapa, Cinta? Kan nanya,” respons Om.

Begini Om, mungkin Om belum sadar—atau belum tahu, kalau pertanyaan itu sama aja memberikan tekanan ke penyintas pelecehan seksual. Terlepas dari Widy sebagai narasumber yang sudah memberikan consent untuk menceritakan pengalamannya, cara Om bertanya enggak bisa dibilang pantas. Mungkin momen itu bukan waktu yang tepat bagi Widy untuk membagikan ceritanya.

Bahkan, Veni Siregar, Tim Advokasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual  (UU TPKS), sekaligus Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (Seknas FPL), sepakat dengan hal ini lho, Om. Dalam wawancara bersama Narasi, Veni mengatakan sebagai orang yang memfasilitasi, seharusnya Om menguatkan Widy sebagai penyintas.

“Seharusnya yang memfasilitasi itu memberikan informasi bahwa setelah kamu ngomong, akan ada dampak dan risiko yang dialami,” kata Veni. “Lalu dibantu menguatkan, ketika itu jadi pilihannya.

Nah, yang Om lakukan justru sebaliknya. Om gagal memberikan ruang aman bagi penyintas pelecehan seksual, malah menganggap obrolan ini layaknya obrolan santai di lingkup pertemanan.

Saya makin menghela napas panjang, ketika Om bilang Widy termasuk beruntung karena enggak diapa-apain, oleh sejumlah laki-laki yang menculiknya. Halo, Om Deddy, pelecehan seksual itu enggak melulu harus melibatkan fisik. Coba Om bayangkan, Widy yang lagi jalan kaki sendirian, tiba-tiba dibawa masuk ke mobil oleh laki-laki asing. Apa itu enggak cukup meninggalkan trauma?

Lagi pula, di sini bukan masalah siapa sosok perempuan itu. Terlepas dari Widy adalah figur publik, pelaku sudah memiliki intensi buruk terhadap calon korban. Pasalnya, Widy juga yang mengatakan, ia selamat dari situasi tersebut karena pelaku mengetahui identitasnya, melalui tato di tangan kirinya.

Lalu, kalau korbannya bukan Widy, apa mungkin bisa terbebas dari situasi mencekam?  

Di sini bukan cuma Om yang sebenarnya mau saya garis bawahi, melainkan L’Oréal, sebagai brand yang mengajak Om bekerja sama.

Kalau dilihat, besarnya audiens podcast Om Deddy memang dapat menjadi sasaran tepat untuk meningkatkan awareness tentang pelecehan seksual. Sayangnya, sebagai host, Om Deddy malah sering blunder. Bukannya pesan itu tersampaikan, audiens dapat meniru kesalahan yang dilakukan host—dalam hal ini membongkar trauma seorang penyintas, yang perlu dihindari.

Mungkin target audiens yang disasar sudah tepat, tapi enggak dengan persona si pembawa acara. Sebagai brand, semestinya L’Oréal lebih selektif dan mempertimbangkan ini. Atau mungkin, udah mengingatkan Om Deddy untuk lebih sensitif dalam bertutur kata, tapi hasilnya waktu syuting justru sebaliknya.

Baca Juga: Tanpa Disadari, Kita Jadi Pelaku Reviktimisasi Kekerasan Seksual

2. Menyebut Heteroseksual Sebagai “Normal”

Dahi saya mengernyit, ketika Om Deddy bolak-balik menggunakan kata “normal” saat merujuk pada orang heteroseksual. Saya enggak ngerti, apa sih yang bikin Om memilih menggunakan kata tersebut, untuk mendefinisikan orientasi seksual? Bahkan Frederik Vollert—suami Ragil Mahardika aja beberapa kali bilang, dia enggak mengerti istilah “normal” yang Om gunakan.

Om Deddy, tahu enggak kalau pemilihan kata tersebut semakin melanggengkan queerfobik di Indonesia lewat stereotip? Terlebih didukung besarnya platform yang Om punya.

Masalahnya, LGBT lekat dengan stigma bahwa mereka adalah pelaku kejahatan, hingga memiliki gangguan mental. Secara enggak langsung, Om menyiratkan pesan kalau seharusnya, orientasi seksual semua orang adalah heteroseksual. Kemudian, teman-teman LGBT pantas dimarginalkan karena “menyimpang”.

Sebagai seseorang yang memiliki kemewahan, Om bisa lho memanfaatkan podcast #CloseTheDoor untuk mengedukasi masyarakat. Dibandingkan memperpanjang diskriminasi, platform itu bisa menjadi wadah untuk lebih menghargai eksistensi rekan-rekan LGBT.

Akan lebih baik kalau Om menggunakan istilah “heteroseksual”, untuk mendeskripsikan ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Bahkan, menurut Avoiding Heterosexual Bias in Language (1991) oleh American Psychological Association (APA), penggunaan istilah tersebut dapat mengurangi bias terhadap LGBT.

Selain penggunaan kata “normal”, Om juga melemparkan sejumlah pertanyaan yang kesannya ingin mengonfirmasi asumsi masyarakat heteronormatif. Contohnya di awal podcast, Om langsung bertanya, “Bisa enggak lo jadiin gue gay?”

Om, saya enggak ngerti urgensi dari pertanyaan tersebut. Bukannya meluruskan, Om justru melanggengkan stigma bahwa LGBT bersifat menular. Ditambah respons Om saat ngobrol di podcast bersama Gus Miftah. “Makanya pertanyaan gue ke mereka adalah, ‘Lo bisa enggak bikin gue jadi gay?’ karena gue nggak mau. Amit-amit juga,” kata Om.

Selain memberikan penolakan, cara Om menanggapi mengesankan LGBT merupakan suatu kesalahan yang tidak pantas dilakukan. Bahkan, Om mengaku takut LGBT dapat “membuat orang lain jadi gay”.

Sebagai host, Om punya peran untuk menciptakan ruang aman bagi bintang tamu lho. Terlebih Ragil dan Fred merupakan bagian dari kelompok rentan, yang sulit mendapatkan keamanan fisik maupun psikologis.

Dengan bersedia hadir di podcast, artinya mereka mau membuka diri kepada masyarakat—mungkin juga melihat kesempatan ini sebagai sarana untuk mengedukasi. Sayangnya malah mendapatkan serangan, yang salah satunya disebabkan oleh sikap insensitive Om sebagai host.

Baca Juga: Podcast Deddy Ragil Bukti Nihil Ruang Aman LGBT Indonesia

3. Mengundang Sosok Kontroversial di Awal Pandemi

Bukan Om Deddy namanya, kalau enggak gerak cepat mengundang narasumber yang sedang hangat dibicarakan. Termasuk Siti Fadilah, mantan Menteri Kesehatan di era Kabinet Indonesia Bersatu. Om mengundangnya sebagai bintang tamu, dalam episode “Siti Fadilah, Sebuah Konspirasi - (Exclusive)” yang tayang pada Mei 2020.

Saya masih ingat, Om, waktu itu masyarakat masih geger dengan COVID-19. Kemudian, Siti Fadilah mengatakan dalam Davos World Economic Forum, Bill Gates pernah menuturkan akan ada pandemi, dan ia sudah menciptakan vaksinnya. Lalu, Siti Fadilah juga menyarankan untuk tidak menggunakan vaksin dari Gates. Sampai beredar isu vaksin tersebut hadir dalam bentuk microchip.

“Anehnya, dia (Gates) mempersiapkan vaksin,” kata Siti Fadilah dalam podcast Om.

“Dia kan bukan dokter, kenapa begitu fasihnya menganalisa akan terjadi pandemi? Menganalisa dunia akan butuh vaksin sekian miliar? Untuk saya itu sebuah hal yang tidak masuk akal,” sambungnya.

Mungkin Om akan kembali protes, kalau saya bilang Om memanfaatkan momen itu untuk menggoreng isu. Tapi, kenyataannya demikian karena Gates enggak pernah mengucapkan, dia sudah membuat vaksin untuk penduduk bumi yang jumlahnya miliaran.

Om tahu nggak, klaim Gates bikin vaksin termasuk misinformasi?

Klaim itu berawal dari wawancaranya dengan pengguna Reddit tentang Covid-19. Dalam wawancara itu, informasinya dipelintir dan dipublikasikan situs Biohackinfo News, dengan headline “Bill Gates will use microchip implants to fight coronavirus”. 

Katanya, Gates Foundation—organisasi nonprofit milik Gates—menemukan “quantum dot dye”, teknologi berbentuk kapsul yang diimplan ke tubuh manusia. Kapsul itu dilengkapi sertifikat digital, untuk mengetahui siapa saja yang sudah mengikuti tes Covid-19.

Namun, kebenaran klaim tersebut sudah dikonfirmasi tim cek fakta Reuters pada Maret 2020 lho, Om. Sebenarnya, dalam wawancara itu Gates menyebutkan sertifikat digital pada konteks menjawab pertanyaan terkait dampak Covid-19, pada bisnis dan ekonomi dunia. Tanpa menyebutkan microchip.

Bahkan, Kevin McHugh, salah satu peneliti riset “quantum dot dye” menjelaskan, teknologi itu bukan microchip atau kapsul yang dapat ditanamkan dalam diri manusia. Pun tidak ada rencana digunakan untuk menangani virus corona.

Jadi enggak ada ya, Om, Gates menciptakan vaksin untuk miliaran penduduk bumi, seperti disebutkan Siti Fadilah ketika ngobrol bareng di podcast Om. Bahkan, sampai sekarang juga kita enggak melihat wujud atau kelanjutan informasinya kan?

Dengan demikian, lewat episode tersebut, Om udah ikut menyebarkan misinformasi lho. Sebagai pembuat konten Youtube dengan audiens miliaran, lagi-lagi Om punya tanggung jawab untuk mengedukasi dan mengecek kebenaran suatu informasi.

Menurut saya, sebenarnya Om sadar banget dengan hal ini. Hanya saja memilih untuk terus menggoreng isu hangat demi cuan cuan cuan, daripada melakukan yang benar. Semoga kapan-kapan akan tiba saatnya ya, Om memanfaatkan platform dengan lebih dari 18 juta subscribers itu, untuk konten bermanfaat. Supaya yang diuntungkan enggak sepihak, alias Om Deddy aja.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.