Women Lead Pendidikan Seks
December 01, 2020

‘Diary of Tootsies’: Lawan Stigma terhadap HIV Lewat Drama Komedi

Serial Boys Love ‘Diary of Tootsies mengedukasi soal HIV lewat drama komedi.

by Andrian Liem
Culture // Screen Raves
Share:

Saat diluncurkan pada 2019, film Tootsies & The Fake mendapat sambutan positif di negara asalnya, Thailand, karena ceritanya yang lucu. Saat dirilis di Indonesia awal 2020, film ini mendapat sensor adegan sana sini, dan yang paling mencolok adalah judul yang diganti menjadi Cuties & The Fake. Mengapa? Karen tootsie, dari kata tut, adalah bahasa gaul Thailand yang terjemahan bebasnya adalah cowok gay feminin atau ngondek. Mungkin Lembaga Sensor Film khawatir para penontonnya jadi auto-ngondek setelah menonton film ini kalau judulnya tidak diubah.

Artikel ini tidak akan membahas kebanyolan petualangan empat sahabat di film arahan sutradara Kittiphak Thong-uam itu, melainkan asal-muasal film tersebut, yaitu drama komedi Diary of Tootsies (DoT) yang terinspirasi dari kisah nyata. DoT, yang tergolong aliran Boys Love (BL) series, pertama kali tayang awal 2016 dan bercerita tentang tiga gay patah hati—Gus, Golf, dan Kim—dan teman lesbian mereka, Natty. Selama 12 episode di sesi pertama, penonton dihibur dengan kekocakan tingkah laku keempat sahabat ini dalam mencari pasangan.

Yang membedakan DoT dengan BL lainnya adalah, serial ini tidak hanya berhasil membuat penonton tertawa karena guyonan dalam dialog, tetapi juga adanya edukasi mengenai beberapa isu sosial yang dikemas secara ringan dan tidak menggurui. Salah satunya adalah tentang HIV, dan stigma yang tidak hanya muncul di masyarakat secara umum tetapi juga di komunitas sendiri, hingga yang terparah adalah internalisasi stigma oleh gay yang didiagnosis HIV.

Di episode 9, emosi kita akan diaduk karena adegan komedi dan peristiwa haru yang ditampilkan bergantian secara cepat. Episode ini dibuka dengan adegan Golf menerima telepon dari mantan pacarnya yang mengabari bahwa dia baru saja dites HIV dan hasilnya positif. Unsur edukasi sudah diselipkan dari sini bahwa jika kita didiagnosis HIV, maka kita perlu memberitahu pasangan seksual agar mereka juga segera melakukan tes. Selain itu, diagnosis HIV+ bukanlah sebuah vonis hukuman mati karena dengan penanganan yang segera dan tepat, penderita HIV+ dapat memiliki kondisi fisik yang relatif sehat.

Baca juga: Menjadi Positif: Serial Komik tentang Pria Gay Indonesia dengan HIV

Penonton juga diajak melihat bahwa HIV bukan hanya menyerang fisik tetapi juga psikologis penderitanya. Untung saja Golf memiliki tiga sahabat yang mau menerima dia apa adanya. Adegan ini ingin mengajak para penonton agar menyediakan dukungan sosial bagi orang dengan HIV serta membantu melawan diskriminasi terhadap orang dengan HIV.

Selain itu, penerimaan dari keluarga juga merupakan kunci dari keberlangsungan hidup orang dengan HIV+. Tidak jarang orang dengan HIV meninggal bukan karena virus dalam tubuhnya melainkan stigma dan penolakan dari lingkungan sosialnya, termasuk keluarga. Episode ini rasanya perlu ditonton oleh orang tua dengan anak atau anggota keluarga yang terinfeksi HIV.

Di adegan ketika Golf berbicara dengan ibunya, saya perlu mengambil rehat karena sangat tersentuh oleh kasih sayang yang ditunjukkan oleh sang ibu ketika mengetahui status HIV anaknya, yang dialognya seperti berikut:

Golf (G):   Lalu sekarang bagaimana, Bu?
Ibu (I):      Tidak ada.
G:             Maksud Ibu?
I:               Kamu pikir keadaan akan menjadi lebih baik kalau Ibu mengomeli dan memukul kamu?
G:             (terisak dan mengangguk)
I:               Apa Ibu kecewa? Ya, sangat. Apa Ibu mau mengomelimu? Tentu. Apa Ibu ingin memukulmu? Ya, sangat ingin sekali.
G:             (menangis tersedu)
I:               Tapi kalau Ibu melakukannya apakah akan menolong kondisimu? Kamu sudah sakit. (sambil memegang tangan Golf) Tidak ada yang mau ini terjadi pada diri mereka. Ibu tahu bahwa kamu tidak melakukan ini dengan sengaja. Mengomelimu tidak akan membuatmu lebih baik. Jika Ibu mengomelimu, justru kamu akan merasa lebih buruk. Jika Ibu mengomelimu, kamu mungkin akan mati lebih cepat. Percaya Ibu, Golf. Kamu akan hidup panjang umur. Ibu akan di sini bersamamu.

Golf dan ibunya yang memberi dukungan pada Golf

Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya

Perjuangan penyintas HIV

Sukses dengan sesi pertama, DoT merilis sesi kedua pada tahun 2017 dengan fokus cerita pada kisah cinta Gus sebagai tokoh utama si pemilik diari. Walau demikian, perjuangan Golf sebagai penyintas HIV juga masih mendapat porsi di beberapa episode. Hal yang berbeda, di sesi kedua ini Golf bertemu Visith, seorang pria yang lebih tua darinya (mungkin cocok dikategori sebagai daddy) di sebuah kompetisi drag queen dan mereka pun menjadi sepasang kekasih.

Di episode 8, Golf yang sedang mengambil obat Terapi Antiretroviral (ARV) secara tidak sengaja bertemu Visith di rumah sakit tempat dia sedang melakukan cek HIV rutinnya. Di adegan ini terlihat bagaimana dinamika psikologis Golf yang akhirnya berbohong tentang status HIV-nya karena takut ditinggalkan oleh Visith. Selain itu ada unsur edukasi mengenai pentingnya orang dengan HIV melakukan cek rutin HIV dan infeksi menular seksual (IMS).

Di episode 9 dan beberapa episode sebelumnya, Golf selalu meminta Visith menggunakan kondom, sebuah edukasi penting bagi penonton untuk menggunakan kondom sebagai upaya pencegahan penularan HIV. Akan tetapi, dalam episode ini mereka kehabisan kondom dan Visith agak memaksa untuk tetap berhubungan seks walau tanpa kondom karena dia percaya perkataan Golf kalau statusnya HIV-. Akhirnya karena tidak ingin menulari Visith, Golf membuka status HIV+ yang dimilikinya. Emosi kita dibuat seperti saat naik rollercoaster karena sebelumnya tertawa dengan tingkah dua sejoli ini, tiba-tiba dibawa ke adegan menyedihkan di mana Visith meninggalkan Golf karena kebohongan yang dilakukannya.

Penonton seperti diajak melihat dari perspektif Golf yang sepertinya menginternalisasi stigma terhadap HIV, yaitu perasaan tidak berharga karena menderita HIV dan tidak akan mendapatkan pasangan lain yang dapat menerima dirinya apa adanya. Ini alasan utama mengapa Golf berbohong pada Visith. Selain itu ada edukasi soal consent. Ketika Visith memaksa Golf untuk tetap berhubungan seks walau Golf menolak karena mereka tidak ada kondom, skenario ini bisa terjadi pada pasangan heteroseksual maupun homoseksual yang perlu paham bahwa ‘tidak’ berarti “tidak” dan permintaan tersebut harus dihormati.

Baca juga: Rekomendasi Tempat untuk Tes HIV

Kita bisa kembali tersenyum tentang Golf di Episode 10 saat perayaan ulang tahun Kim. Visith secara tidak terduga datang dan meminta maaf ke Golf karena meninggalkannya ketika tahu status HIV+ Golf. Dia menjelaskan bahwa dirinya merasa kaget dan takut. Di sini kita diajak untuk melihat dari perspektif Visith yang mewakili orang dengan HIV-. Tetapi setelah merenung dan mencari informasi dari dokter tentang bagaimana pasangan gay dapat hidup bersama walau di antara mereka ada yang terinfeksi HIV, Visith merasa bahwa ketakutannya terlalu berlebihan. Lalu seperti di dongeng yang berakhir bahagia, Visith mengajak Golf untuk kembali menjadi pasangannya.

Visith mengedukasi dirinya agar bisa menjadi pasangan Golf yang hidup dengan HIV.

Cerita Golf menjadi sumber semangat agar orang dengan HIV tetap memiliki semangat dan perlu mengomunikasikan statusnya dengan jujur kepada pasangan sejak dini. Di sisi lain, penting bagi yang berstatus HIV- untuk mencari informasi yang tepat tentang HIV dan apa yang harus dilakukan jika memiliki pasangan dengan status HIV+.

Ketika menamatkan serial ini, saya teringat web-series Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi seperti DoT; bahkan dari judulnya saja sudah memiliki kemiripan, yaitu Conq yang disutradarai oleh Lucky Kuswandi. Kisah tokoh Lukas dan Timo dan queer lainnya di serial ini bisa menjadi sarana edukasi tentang HIV bagi komunitas LGBTIQ+ di Indonesia dalam balutan komedi dan cerita ringan seperti DoT. Bahkan di salah satu episode, seorang karakter bernama Aghi terlihat meminum ARV, suatu pemandangan yang masih belum lazim ketika serial ini dirilis pada tahun 2014. Sayangnya, Conq hanya dapat dibuat dalam 9 episode sebelum situsnya disensor dan produksi film dihentikan oleh pemerintah atas nama moralitas.

Andrian Liem adalah peneliti pascadoktoral dan psikolog dengan minat riset pada psikologi klinis, kesehatan, dan budaya; gender dan seksualitas; serta pekerja migran. Cuitannya dapat dilihat di akun Twitter @liemandrian.