Dari sekian banyak diskriminasi yang terjadi di sekolah, diskriminasi gender adalah salah satu yang (terlalu) sering terjadi. Sayangnya, diskriminasi jenis ini dianggap wajar dan cenderung dilanggengkan. Sekolah masih mengimplementasikan sistem gender biner yang hanya mengatur dikotomi laki-laki dan perempuan dan mengesampingkan jenis-jenis lainnya. Ini bukan kebetulan. Sistem gender biner memang dikonstruksi sedemikian rupa.
Menurut Wawan Djunaedi dan Iklikah Muzayyanah dalam Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, ada lima bentuk diskriminasi gender di sekolah yaitu pelabelan, penomorduaan, pemiskinan, kekerasan, dan beban ganda. Sekolah, meski tidak diatur secara tertulis, dalam ranah sosial menolak laki-laki yang berperawakan seperti perempuan dan sebaliknya. Laki-laki dipaksa berperilaku macho dan harus menjadi pemimpin sedangkan perempuan wajib bertingkah laku lembut dan mesti mengalah dari laki-laki. Sekolah tidak mewadahi ekspresi gender murid, yang sama artinya dengan pengekangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Diskriminasi gender di sekolah merupakan suatu hal yang berbahaya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang tepat untuk belajar nyatanya malah menjadi tempat untuk merisak mereka yang dianggap menyimpang. Sekolah-sekolah di Indonesia masih belum ramah gender.
Dalam tataran dasar dan menengah, sekolah sengaja menjadikan alpha kelompok-kelompok yang berbeda dari kebanyakan orang. Seleksi masuk, peraturan umum, serta praktik pendidikan di sekolah dasar dan menengah bersifat bias gender dan cenderung memosisikan mereka yang menyimpang dari dikotomi laki-laki dan perempuan sebagai suatu yang haram untuk diterima serta harus dihindari.
Pada tataran sekolah tinggi, praktik diskriminasi terhadap kelompok gender yang dianggap minoritas cukup masif dan mengkhawatirkan. Institusi pendidikan tinggi seperti universitas berbondong-bondong menolak segala hal tentang Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) di lingkungan kampus.
Contoh terbaru adalah penolakan jajaran petinggi Universitas Sumatra Utara (USU) terhadap LGBT yang juga didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai otoritas tertinggi dalam pendidikan di Indonesia. Semua memusuhi LGBT! Tak ayal diskriminasi gender tetap langgeng dan lagi-lagi kelompok gender minoritas hanya bisa bersembunyi dan sangat sulit mengekspresikan gendernya.
Selain itu, sekolah-sekolah di Indonesia masih belum menganggap pendidikan seksualitas, reproduksi, serta orientasi seksual dan identitas dan ekspresi gender (SOGIE) sebagai hal yang penting. Tak ayal banyak murid yang belum paham soal orientasi seksual, keberagaman gender, ekspresi gender, dan hal-hal terkait seksualitas lainnya yang membuat mereka gerah dengan perbedaan yang ada.
Akibatnya, siswa-siswa yang dianggap tidak wajar semakin teralienasi. Alienasi adalah konsekuensi logis dari diskriminasi yang terus berlanjut. Laki-laki yang mengekspresikan gendernya secara feminin dianggap aneh dan tidak boleh dibiarkan, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya korban diskriminasi dikucilkan dari lingkungan sekolah dan mengalami perisakan serta bentuk kekerasan lainnya.
Parahnya, setelah mengalami diskriminasi di sekolah, murid masih memiliki kemungkinan untuk mengalami diskriminasi di luar sekolah karena heteronormativitas sangat kental dalam pandangan masyarakat Indonesia, sebagai salah satu konsekuensi logis dari sistem patriarki yang sampai sekarang masih dianut. Normalnya, laki-laki harus mencintai perempuan, begitu pula sebaliknya. Laki-laki harus berperilaku ‘jantan’, tidak boleh ngondek. Demikian juga sebaliknya dengan perempuan. Pandangan heteronormatif tersebut menegasikan kenyataan bahwa gender sangat beragam.
Pada akhirnya, peraturan-peraturan dan norma yang direkonstruksi di dalam masyarakat bersifat bias gender. Hanya yang dianggap ‘normal’ yang diperhatikan. Mereka yang dianggap menyalahi pandangan gender biner disebut menyimpang, berpenyakit, dan harus disembuhkan. Paling parah, terjadi diskriminasi yang diikuti oleh praktik-praktik kekerasan yang berujung pada kematian.
Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap keberagaman, di luar pandangan religiositas. Jika murid dikenalkan dengan SOGIE sejak dini, maka mereka tidak akan lagi menolak keberagaman gender yang pasti akan mereka temui di dalam interaksi sosial luar sekolah.
Sekolah tidak boleh menjadi mata rantai yang hilang dan seharusnya menjadi jembatan untuk mengampanyekan persatuan dalam keberagaman. Jika dihubungkan dengan pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah, konsep pendidikan seksualitas, reproduksi, dan SOGIE sangat relevan karena menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghormatan kepada keberagaman sehingga tidak ada lagi pandangan “kelompok gue lebih baik dari kelompok lo.”
Sekolah perlu berhenti menjadi ‘konservatif’ dan perlu mencoba untuk lebih ‘moderat’, jika tidak bisa menjadi netral. Semoga Indonesia yang (katanya) mendukung pemenuhan terhadap HAM bagi warga negaranya serta didukung oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang HAM tidak sekadar pandai dalam beretorika dalam kata, namun menunjukkan bukti konkret dalam implementasi nyata.
Ahmad Zulfiyan adalah Koordinator Riset & Pengembangan Aliansi Remaja Independen. Dapat diajak diskusi di [email protected].
Comments