Women Lead Pendidikan Seks
January 03, 2022

‘Don’t Look Up’, Komedi Satir yang Bikin Darah Tinggi

Jika kebanyakan film apokaliptis selalu berakhir dengan manusia yang berhasil menyelamatkan peradabannya, Don’t Look Up memilih pendekatan yang berbeda 180 derajat.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Screen Raves
Share:

Peringatan spoiler!

Pada (5/12), Netflix merilis film komedi satir berjudul Don’t Look Up. Dibintangi para aktor dan aktris papan atas seperti Leonardo DiCaprio, Jennifer Lawrence, Meryl Streep, hingga Ariana Grande, film besutan Adam McKay ini mengangkat kehancuran peradaban manusia karena ketidakpedulian mereka sendiri.

Cerita bermula dari mahasiswa pascasarjana astronomi, Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence) yang secara tidak sengaja menemukan sebuah komet, lebarnya 5-10 kilometer. Berdasarkan perhitungan penasihat Ph.D. Dibiasky, Dr Randall Mindy (Leonardo DiCaprio), komet itu dijadwalkan bertabrakan dengan Bumi dalam enam bulan dan 14 hari. Komet yang nantinya disebut sebagai planet-killer ini sangat berbahaya karena akan berdampak langsung pada kemusnahan peradaban manusia.

Penemuan Dibiasky sontak membuat keduanya panik dan ketakutan. Mereka dikecam, mereka dianggap ancaman. Mereka lantas berkali-kali pergi menemui Presiden Janie Orlean (Meryl Streep) dan Kepala Staf Kepresidenan Jason Orlean (Jonnah Hill) dan siaran langsung beberapa kali bersama media. Sayangnya usaha mereka kerap diabaikan.

Baca Juga:   Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Ketidakacuhan Masyarakat dan Pemerintah

Jika kebanyakan film apokaliptis selalu berakhir dengan manusia yang berhasil menyelamatkan peradabannya, Don’t Look Up memilih pendekatan yang berbeda 180 derajat. Pendekatan tersebut mampu memberikan gambaran penuh kepada penonton tentang sebuah akibat fatal dari ketidakacuhan dan kerakusan manusia.

Dalam masyarakat yang terpolarisasi dan dikontrol oleh media sosial, pengetahuan baru akan sesuatu bisa dengan mudah tenggelam dan tidak jarang hanya berakhir menjadi sebuah lelucon atau teori konspirasi belaka. Pengetahuan yang seharusnya menjadi kesempatan manusia untuk melakukan perubahan atau memperbaiki diri justru menjadi angin lalu. Masyarakat pun dalam hal ini enggan memberikan ruang pada diri mereka sendiri untuk belajar dan membuka dialog.

Ketidakpedulian inilah yang tergambar dengan baik oleh Don’t Look Up. Masyarakat tidak lagi peduli dengan ancaman yang akan mereka hadapi. Mereka lebih tertarik dengan gosip, pun mereka membelokkan isu dengan menjadikannya bahan meme di media sosial. Unjuk rasa dan berbagai unggahan provokatif kemudian bermunculan dengan dalih apa yang dikatakan para ilmuwan adalah sebuah konspirasi.

Ketidakacuhan masyarakat ini pun diperparah dengan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap para ilmuwan. Pemerintah dengan politik kepentingannya lebih memilih untuk menjaga reputasinya dibandingkan dengan mengambil tindakan pasti sebagai bagian dari tanggung jawab mereka sebagai pemangku kebijakan tertinggi. Oligarki bersorak sorai melihat keputusasaan para ilmuwan dan aktivis.

Sumber: IMBD

Hal inilah yang sangat tergambar dari perjuangan Mindy dan Dibiasky. Bahkan sejak pertama mereka diberikan audiensi 20 menit dengan Presiden Orlean, Presiden Orlean dan Kepala Staf justru menganggap ancaman komet planet-killer sebagai hal remeh temeh karena dampaknya secara teknis tidak 100 persen pasti. Ia bahkan menimbang strategi pemilihannya dalam pemilu selanjutnya di atas nasib peradaban manusia dengan memutuskan untuk "duduk diam dan menilai".

Baca Juga:  Banjir Bukan Urusan Azab, Tapi Adab Terhadap Alam

Bungkamnya Media dan Hal-hal Lain

Tidak hanya soal ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah, rasa putus asa kekesalan penonton selama menonton Don’t Look Up juga berasal dari media massa yang memutuskan untuk membelokkan isu. Dengan berpatokan pada tingkat engagement dan traffic, media massa cenderung memilih isu yang mereka anggap lebih sensasional untuk memperoleh profit.

Isu lingkungan misalnya bukanlah isu yang menarik untuk mereka angkat ke permukaan karena tidak laku di pasaran dibandingkan dengan gossip selebriti papan atas seperti putusnya penyanyi pop papan atas Railey Bina (Ariana Grande) dan pacarnya DJ Chello (Kid Kuddi) atau drama perpolitikan negara yang penuh sandiwara. Inilah kenyataan pahit yang harus kita telan mentah-mentah.

Bungkamnya media massa pun diperparah dengan para pebisnis yang tidak bertanggung jawab. Para pebisnis tersebut memanfaatkan ancaman peradaban manusia sebagai kesempatan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tidak peduli usaha mereka ini mungkin akan berdampak fatal dan justru mempercepat musnahnya peradaban manusia atau rusaknya Bumi. Mereka “berpidato” bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi kesejahteraan sosial dan kemajuan teknologi. Sayangnya, apa yang mereka ucap hanya ungkapan manis tanpa makna.

Sumber: IMBD

Baca Juga:   Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi

Karakter Peter Isherwell (Mark Rylance), CEO BASH, perusahaan teknologi/ media/ ruang angkasa dalam hal ini misalnya, bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Dengan dalih teknologi barunya mampu menghancurkan komet yang nantinya bisa “diuangkan”, ia meluncurkan misi bersama Presiden dengan teknologi barunya yang bahkan belum pernah melewati tahap uji coba.

Pada akhirnya, Don’t Look Up bukan sekadar film fiksi ilmiah belaka tapi cerminan ironi masyarakat kita. Seperti apa yang diungkapkan ilmuwan iklim Amerika, Peter Kalmus dalam The Guardian, realitas yang digambarkan secara gamblang dalam film ini adalah kegilaan yang harus ia harus hadapi sehari-hari.

“Film ini lucu dan menakutkan karena menyampaikan kebenaran dingin apa adanya bahwa ilmuwan iklim dan orang lain yang memahami kedalaman penuh darurat iklim hidup setiap hari. Saya berharap film yang secara kocak menggambarkan betapa sulitnya mendobrak norma-norma yang berlaku, benar-benar membantu mendobrak norma-norma itu dalam kehidupan nyata.”

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.