“Pipin” merasa cemas karena sudah dua bulan ia tidak mendapatkan menstruasi. Perempuan berusia 39 tahun itu sudah punya tiga anak, masing-masing berusia lima tahun, empat tahun, dan setahun lebih sedikit. Anak bungsunya bahkan diurus oleh saudaranya karena tidak ada yang mengurus saat Pipin bekerja sebagai pegawai bank. Suaminya yang bekerja paruh waktu sebagai guru agama kewalahan mengurus dua anak pertama, dibantu oleh keluarga dekat
Ia betul-betul kebingungan saat mengecek dengan test pack dan hasilnya positif.
“Aku enggak berani lagi cek ke dokter. Aku enggak berani bilang ke siapa-siapa. Kamu tahu kan, kalau sudah kaya begini, pasti perempuannya yang disalahin,” kata Pipin sembari menyeka air matanya, saat berbincang dengan Magdalene di rumahnya di Tangerang Selatan. Saat itu baru beberapa minggu ia melahirkan anak keempatnya.
Dugaannya benar, saat menceritakan kehamilannya itu pada sang suami, ia malah mendapatkan ceramah yang menyalahkan Pipin karena tidak menjaga badannya.
“Dia enggak suka pakai kondom. Terus aku bilang, kalau gitu keluarin di luar, tapi dia tetep keluarin di dalam. Ya akhirnya kebobolan padahal sudah pake kontrasepsi. Padahal aku udah bilang yang kemaren aja disenggol jadi, tetap aja enggak mau dengar,” tutur Pipin, tulang punggung keluarga yang sudah menikah selama delapan tahun.
Sempat terpikir oleh Pipin untuk tidak meneruskan kehamilannya, namun ia buru-buru menepis keinginan itu karena menurutnya kehamilan tersebut adalah pemberian dari Tuhan. Namun tetap saja pikirannya digerogoti kekhawatiran tentang bagaimana kehidupan si anak nantinya.
Pipin merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kegagalan kontrasepsi yang terjadi pada perempuan menikah. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa mayoritas kehamilan yang tidak direncanakan di negara ini adalah pada perempuan dengan status menikah, yakni 97,1 persen.
Dari data PKBI yang dikumpulkan dari 2007 hingga Juni 2018, ada 78.544 klien PKBI meminta layanan konseling kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan 70 persen di antaranya berstatus menikah dan 30 persen berstatus belum menikah. Sebanyak 30 persen dari klien berstatus menikah melanjutkan untuk melakukan aborsi dengan alasan “takut janinnya cacat” karena sudah melakukan tindakan sebelum datang ke klinik seperti minum jamu, minum pil, nanas muda, dan lain sebagainya, yang tentunya tidak aman dan membahayakan organ reproduksi perempuan.
Frenia Nababan, Koordinator Komunikasi dan Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), mengatakan bahwa layanan konseling Kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) belum terlalu dikenal oleh masyarakat luas, hal ini hanya diketahui dari mulut ke mulut saja.
“Dalam kebingungan dan ketidaktahuan, perempuan hanya memiliki sedikit pilihan: meneruskan kehamilan dan mengurus anak tersebut; memberikan anak tersebut untuk diadopsi; atau menggugurkan kandungannya. Namun layanan aborsi yang aman belum tersedia secara luas,” kata Frenia.
Layanan edukasi kontrasepsi yang belum memadai
Akses informasi terhadap berbagai jenis alat kontrasepsi beserta kelebihan dan kekurangannya, menurut Pipin dan beberapa orang lainnya yang diwawancarai Magdalene, belum tersampaikan dengan baik, dan akhirnya berdampak pada kegagalan kontrasepsi dan berujung pada kehamilan yang tidak direncanakan.
Survei SKDI 2012 menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi yang sering digunakan setelah perempuan melahirkan atau pun keguguran adalah kontrasepsi suntik yakni 51,53 persen, diikuti oleh pil 23,17 persen, implan 11,3 persen, dan intraurine device (IUD, sering juga disebut spiral) 7,23 persen.
Setelah melahirkan anak ketiga, Pipin memakai kontrasepsi suntik. Tiap bulan sambil menjenguk anak ketiganya yang dititipkan di rumah saudara di daerah Jakarta Utara, Pipin pergi ke klinik untuk mendapatkan suntik KB. Ia memilih suntik karena lebih efisien daripada pil KB, dan ia mengaku bukan orang yang telaten dalam meminum obat. Namun, suntik KB membuat tubuhnya sering merasa sakit.
“Aku enggak pernah konsultasi ke dokter. Dokter kandunganku juga engak pernah kasih tahu kalau kita (pasien) enggak tanya. Jadi aku lebih sering cerita dan tanya ke teman-teman perempuan di kantor, kan mereka ngerasain langsung juga,” ujar Pipin.
Ia mengeluhkan bagaimana masalah kontrasepsi lebih dibebankan pada dirinya ketimbang suami. Setelah melahirkan anak keempat saja, dokter langsung menyarankan untuk melakukan tubektomi mengingat Pipin sudah tiga kali bedah caesar dan mempertimbangkan umurnya yang sudah 39 tahun.
“Coba deh kamu pikir, pernah enggak sih dokter itu nyaranin yang disteril laki-lakinya? Pasti ke cewek terus,” keluhnya.Dewi Larasati, Program Manager Global Comprehensive Abortion Care Initiatives (GCACI) mengatakan, banyak klien yang tidak mendapatkan edukasi yang lengkap dari dokter, bidan, atau praktisi kesehatan lainnya. Layanan konseling untuk membicarakan kontrasepsi yang cocok pun sangat minim, ujarnya.
“Dalam sesi konseling, kami banyak menemukan klien yang punya riwayat darah tinggi, terus sama service provider-nya dikasih kontrasepsi implan, sedangkan implan itu hormonal, akan mempengaruhi tensinya. Nah itu kan membahayakan si perempuan,” ujar Dewi saat ditemui di Wisma Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta Selatan.
Perjalanan mengakses layanan konseling KTD
“Una”, 26, baru saja menikah Juli 2018 lalu. Ia dijodohkan oleh orang tuanya, dan baru mengenal sang calon suami tiga bulan lamanya. Rencananya setelah menikah Una ingin menunda kehamilan dulu untuk lebih mengenal pasangannya. Selain itu, ia mengatakan belum siap untuk hamil sendirian karena sang suami sering dinas ke luar Jakarta.
“Pas tahu aku hamil, aku benar-benar bingung. Wah, semua yang aku pelajari selama pendidikan kedokteran hilang,” ujar Una, dokter umum lulusan fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Indonesia.
Beruntung, ia masih ingat salah satu hotline konseling daring untuk masalah KTD.
“Aku sebelumnya sudah mengikuti salah satu layanan hotline itu kan. Tahu itu juga dari media sosial. Ya sudah aku hubungi mereka. Dikasih beberapa pilihan: mau dilanjutin tetapi bayinya dikasih ke orang, lalu ada yang tidak diteruskan. Aku kasih tahu secara detail apa yang aku rasakan saat ini. Akhirnya mereka menyarankan untuk minum pil,” ujarnya.
Bagi Una, jawaban yang diberikan oleh layanan tersebut masih kurang memuaskan baginya, apalagi ketika mengetahui bahwa yang menjual obat tersebut bukan seorang dokter.
“Kalau seperti itu, mending aku saja yang membuat resepnya sendiri,” tutur Una. Ia menambahkan bahwa yang ia perlukan saat itu adalah rujukan ke klinik konseling KTD agar ia bisa melakukan konseling lebih lanjut. Karena jam kerja Una yang padat, sulit baginya untuk mengikuti konseling daring layanan tersebut.
Seperti Pipin, Una juga takut memberitahukan kehamilannya pada keluarga dan suaminya. Ketika ia kembali memeriksakan janinnya, dokter mengatakan bahwa ia memiliki janin kembar. Hal ini pula yang makin mendorong Una untuk melanjutkan kehamilan ini saja. Namun tidak lama setelah itu Una mengalami keguguran karena kelelahan.
“Minggu lalu aku baru saja keguguran, gara-gara capek. Sampai sekarang perasaanku campur aduk. Senang enggak, sedih juga enggak,” kata Una. Baru setelah ia mengalami keguguran, Una berani menceritakan kehamilannya pada suami juga keluarganya,
“Suamiku yang malah nangis-nangis, bilang kenapa aku enggak bilang ke dia. Aku bilang saja pamali kalau bilang duluan. Jawab ke orang tua juga begitu,” ujar Una.
Ia tetap merahasiakan pada keluarga juga suami tentang tindakannya menghubungi layanan KTD. “Suamiku itu kan sudah 34 tahun, pasti maunya langsung punya anak. Tapi aku sendiri sebenarnya enggak siap untuk punya anak dari orang yang belum aku kenal banget.” tambahnya.
Frenia Nababan dari PKBI mengatakan seharusnya perempuan tidak harus sampai pada tahap meneruskan atau tidak meneruskan, karena mau bagaimana pun hal ini merupakan hal berat, apalagi memutuskan untuk tidak meneruskan kehamilan mereka.
“Seharusnya semua perempuan mendapatkan edukasi sebanyak-banyaknya mengenai kontrasepsi. Pengetahuan dan layanan soal kontrasepsi tidak didapatkan secara komprehensif sehingga banyak terjadi kegagalan kontrasepsi,” ujarnya.
“Fenomena kehamilan yang tidak direncanakan harus menempatkan perempuan pada posisi korban. Korban dari ketidakpedulian pemerintah pada akses layanan kontrasepsi lengkap bagi perempuan,” ujar Frenia.
Baca juga bagaimana pengetahuan perempuan tentang menstruasi masih rendah.
Comments