Women Lead Pendidikan Seks
July 07, 2022

Penyelewengan Dana ACT: Alasan Waspadai Lembaga Filantropi

Dari penyelewengan dana Aksi Cepat Tanggap (ACT) kita belajar untuk hati-hati dengan lembaga filantropi yang menjual agama.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
yusuf mansyur bisnis berkedok agama
Share:

“Aksi Cepat Tilep” belakangan ini menduduki trending topic linimasa Twitter, sebagai “kepanjangan baru” dari akronim Aksi Cepat Tanggap (ACT). Perbincangan itu berawal dari liputan Majalah Tempo berjudul “Kantong Bocor Dana Umat”, yang dipublikasikan pada (2/6).

Dalam laporannya, Majalah Tempo mengungkap penyalahgunaan dana oleh ACT. Petinggi organisasi yang berdiri sejak 2005 tersebut, diduga menyalahgunakan dana untuk memenuhi gaya dan kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, uang yang disalurkan tidak sebanding dengan hasil penggalangan dana.

Salah satunya merujuk pada penyaluran dana untuk warga Dlingo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada 2021, Suharno dan keluarganya—warga kecamatan tersebut, mengalami kecelakaan lalu lintas. Kemudian, pengurus ACT cabang Bantul mendatangi kediamannya dan memberikan berkas penggalangan dana.

Dari enam ribu donatur yang mengumpulkan dana, berhasil memperoleh nominal sekitar Rp412 juta rupiah. Namun, keluarga Suharno hanya menerima Rp3 juta. Pun ketika Tempo meminta penjelasan, Kepala ACT Yogyakarta Ony Leo menyebutkan, ia tidak memiliki wewenang untuk pencairan donasi karena ACT pusat yang berhak memutuskan.

Sebenarnya ini bukan kali pertama ada selisih penerimaan dan penyaluran dana dari ACT. Berdasarkan laporan keuangannya, sejak 2010 hingga 2020, selisih dana tersebut mencapai miliaran rupiah. Pada 2020 misalnya, yayasan ini menerima dana sekitar Rp373 miliar dan yang disalurkan sejumlah Rp323,9 miliar. Bahkan, total kelebihan dalam rentang waktu 10 tahun itu mencapai Rp180 miliar.

Baca Juga: Imbalan Bidadari Surga bagi Lelaki: Tafsir Agama yang Bias dan Problematik

Seharusnya, dana yang dikumpulkan itu digunakan untuk membantu pembangunan sekolah, tempat ibadah, dan korban bencana alam. Mirisnya, selain untuk memenuhi kehidupan pribadi, liputan Majalah Tempo menyebutkan, dana yang terkumpul itu juga diduga digunakan untuk menggaji petinggi ACT.

Dalam konferensi pers yang digelar Senin (4/7), Presiden ACT Ibnu Khajar mengatakan, penghasilan gaji presiden ACT mencapai Rp250 juta. Nominal itu berlaku saat Ahyudin, mantan presiden ACT yang mengundurkan diri pada Januari lalu, masih memegang jabatannya. Belum lagi fasilitas mobil mewah, furnitur, dan uang muka rumah yang dibayar dengan dana tersebut. 

Belum sampai di situ, Ibnu juga merinci penghasilan sederet pejabat lainnya. Gaji yang diperoleh senior vice president sebesar Rp150 juta, vice president sejumlah Rp80 juta, direktur eksekutif mendapatkan Rp50 juta, dan Rp30 juta untuk direktur.

Terkait tuduhan yang dilemparkan, Ahyudin telah membantahnya. Melansir Detik.com, alasannya memberikan gaji lebih besar ialah mengangkat posisi lembaga amal sosial di Indonesia lebih tinggi, berkelas, prestise, profesional, dan memiliki manfaat bagi masyarakat.

“Kalau gaji di lembaga sosial itu kecil apalagi ditiadakan, mana mungkin orang-orang hebat profesional tertarik mengelola lembaga amal sosial,” tuturnya.

Kasus ACT ini merupakan contoh lain dari penipuan berkedok agama yang kerap dilakukan.

Mungkin kamu masih ingat, bagaimana Ustaz Yusuf Mansur mengajak jemaahnya untuk bersedekah, lewat video yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Barang siapa bersedekah, akan didoakan sang ustaz tersohor itu, katanya, membuat jemaah berbondong-bondong manut ajakannya.

Lantas, apa yang bikin kita, sebagai masyarakat, masih terjebak dalam iming-iming amal yang menjanjikan kerajaan surga?

Baca Juga: Jualan Sentimen Agama dan Ras dalam Bisnis Kamar Kos

Agama Jadi Latar Belakang Beramal

Pendidikan agama mengajarkan, amal merupakan bentuk tindakan mengasihi sesama manusia, sekaligus bagian dari ibadah. Katanya, perbuatan itu menjadi salah satu cara untuk mendapatkan balasan baik ataupun kehidupan kekal di akhirat. Setidaknya ini yang diajarkan dalam keyakinan saya sebagai umat Katolik. Tepatnya dalam injil Matius yang berbunyi:

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu, apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi, akan membalasnya kepadamu.”

Atau dalam Islam, yang mewajibkan umatnya untuk memberikan minimal 2,5 persen dari penghasilannya untuk berzakat fitrah. Bahkan, pembayaran zakat termasuk dalam satu dari lima rukun Islam.

Karena berlandaskan agama, beramal tidak lepas dari keimanan. Sebab, perilaku ini dipandang sebagai contoh kebaikan yang dianjurkan, dan dapat dilakukan terhadap sesama.

Pada 2016, Giving USA, lembaga publikasi yang melaporkan sumber dan penggunaan penggalangan dana di AS, mencatat 32 persen amal diberikan oleh kelompok keagamaan, rumah ibadah, media keagamaan, dan masyarakat misionaris. Bahkan, jumlahnya mencapai 122,9 miliar dolar AS—setara lebih dari Rp1 triliun, menduduki peringkat nomor satu jenis organisasi amal.

Ini membuktikan bahwa agama memotivasi banyak orang untuk memberi. Kemudian, tujuan dari beramal sebenarnya bukan hanya dampaknya secara pribadi, melainkan membangun komunitas dan interaksi dengan sesama.

Contoh paling sederhana, adalah orang tua yang mengajak anak-anaknya berbagi pada yatim piatu. Mereka ingin mengajarkan bahwa privilese yang dimiliki, bukan berarti mereka dapat merasa superior, kemudian merendahkan orang lain.  

Pun pada dasarnya, manusia juga menghargai kebaikan sosial. Secara altruistik atau tanpa mengharapkan imbalan, hal ini yang mendorong seseorang untuk bersedekah.

Dalam A warm glow in the after life? The determinants of charitable bequests (2014), memaparkan, ada faktor lain yang menjadi alasan seseorang mau beramal.

Peneliti asal Inggris, Michael Sanders dan Sarah Smith mengatakan, berbagi adalah perilaku yang menular. Ketika melihat orang lain melakukan kebaikan, umumnya seseorang juga akan terpengaruh dan tergerak melakukan tindakan serupa. Bahkan, cenderung memberikan donasi lebih besar.

Sayangnya, kebaikan itu malah dimanfaatkan sejumlah lembaga filantropi untuk meraup keuntungannya sendiri.

Selain dana yang seharusnya diberikan untuk Suharno, ACT juga memotong 23 persen donasi untuk komunitas Surau Sydney Australia. Seharusnya, mereka menerima dana sebesar Rp2,311 miliar, dari total Rp3,018 miliar.

Kepada Tempo.co, peneliti filantropi Hamid Abidin mengatakan pemotongan maksimal donasi sosial adalah 10 persen. Sementara untuk sedekah, zakat, dan infak maksimal 12,5 persen.

Baca Juga: Apa itu Pesugihan Halal Online, Bagaimana Cara Kerjanya?

Berlindung di Balik Agama

Sayangnya, agama kerap membutakan praktik bersedekah. Tak sedikit orang yang terbuai dengan label “melakukan kebaikan”, tapi berakhir pada dampak yang merugikan diri sendiri.

Pada 2013, The Washington Post pernah menginvestigasi kasus penipuan di organisasi nonprofit. Kasus itu sama sekali tidak dilaporkan, atau dilaporkan tetapi tidak secara langsung ke pihak berwenang.

Salah satunya adalah gereja. Namun, penulis Walter Pavlo dari Forbes tidak menemukannya dalam daftar tersebut. Ketika menghubungi Alton Sizemore dari Forensic Strategic Solutions—sebuah lembaga investigasi keuangan di Alabama, AS, Sizemore menyebutkan gereja tidak wajib membuat laporan tahunan.

Padahal, penggelapan dana di gereja merupakan permasalahan besar di negara bagian tersebut. Salah satunya dilakukan seorang pastor yang dinyatakan bersalah, atas pencurian uang sebesar 1,3 juta dolar AS​​—setara Rp19 miliar. Pun ketika terungkap, ada tekanan untuk menjaga kerahasiaan kasus tersebut.

Menurut direktur dari Center For The Study of Global Christianity, Todd M. Johnson, sebuah gereja dapat mengumpulkan uang dengan cepat, ketika umat paroki didorong untuk memberikan lebih banyak demi kebaikannya sendiri.

Alhasil jemaat akan semakin tergerak, lantaran “embel-embel” amal untuk gereja dan membantu sesama umat yang diberikan.

Di sini sebenarnya sikap skeptis diperlukan. Salah satunya dengan memeriksa kredibilitas lembaga lewat transparansi laporan keuangan, yang terdapat di situs resminya. ACT sendiri rutin mempublikasikannya selama 14 tahun terakhir, dan tertera terdapat selisih penerimaan dan penyaluran dana setiap tahunnya. Lalu, meninjau apakah realitasnya dalam penyaluran dana sesuai dengan nominal yang diterima.

Kini izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang dilaksanakan ACT, telah dicabut Kementerian Sosial (Kemensos) sejak Selasa, (5/7).

Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendy menyatakan, pencabutan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap.

“Jadi, alasan kita mencabut dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran Menteri Sosial, sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal, baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” ujar Muhadjir dalam keterangan tertulis, yang dipublikasikan pada situs Kemensos.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.