Segera setelah DPR meresmikan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu, pergolakan dalam masyarakat dengan cepat memuncak. Berbagai elemen masyarakat yang dengan giat menolak pembentukan undang-undang ini segera merapatkan barisan dan merencanakan aksi turun ke jalan.
Pada 8 Oktober 2020, rakyat memenuhi jalan-jalan protokol di berbagai kota dan daerah. Buruh, pemilik usaha, pelajar, pengajar, aktivis, perempuan, laki-laki, semua berkumpul demi satu tujuan: Pembatalan UU Ciptaker atau biasa disebut Omnibus Law.
Tidak hanya membawa aspirasi diri dan kelompok, para demonstran membawa aspirasi mereka-mereka yang tidak dapat turut turun ke jalan di tengah pandemi ini. Saya, salah satunya. Momen ini membawa ingatan saya ke aksi besar berisi tujuh tuntutan rakyat, salah satunya untuk membatalkan Omnibus Law, pada September 2019 di Jakarta.
Hari kedua aksi tersebut tidak akan pernah saya lupakan. Seperti hari pertama, peserta aksi yang berkumpul sangat masif. Kian sore, situasi kian mencekam. Ketika demonstran berhasil merobohkan pagar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), aparat yang berjaga mulai menembakkan meriam air ke arah barisan terdepan peserta aksi. Tidak lama dari situ, gas air mata pun ditembakkan. Malam itu, area pusat gelaran aksi menjadi sangat mencekam.
Baca juga: UU Cipta Kerja Tak Ciptakan Lapangan Kerja, Perkuat Oligarki
Saya juga ingat respons yang dituai dari aksi tersebut. Sebagian masyarakat mengapresiasi keberanian peserta aksi untuk berjuang membuat suara mereka didengar. Namun, sebagian yang lain sibuk mencerca aksi tersebut, salah satu topik favoritnya adalah vandalisme fasilitas umum. Pada aksi #TolakOmnibusLaw pekan lalu, topik ini kembali memuncak selepas demonstrasi.
Adalah fatal bagi pesan yang ingin disampaikan oleh peserta aksi ketika ditemukan kerusakan terhadap fasilitas umum selepas aksi digelar. Masyarakat, khususnya yang tidak turut turun ke jalan, banyak yang merasa dirugikan dan mengekspresikannya melalui dunia maya. Pasalnya, fasilitas umum tersebut merupakan fasilitas yang mereka gunakan sehari-hari, yang dibuat dari uang pajak mereka. Baik yang mendukung atau menolak aksi ini, kedua pihak sama-sama mengutuk tindakan anarkis dan vandalisme.
Pihak yang satu menekankan bahwa fasilitas umum adalah milik bersama yang seharusnya dijaga, kemudian berpendapat harusnya peserta aksi bisa berdemo dengan damai. Pihak lain berpendapat bahwa amarah yang timbul dari rusaknya fasilitas umum tidak sebesar amarah mereka terhadap perusakan lingkungan. Namun, ada yang saya rasa hilang dari perbincangan ini, yaitu alasan mengapa demonstrasi ini terjadi.
Baca juga: Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman
Seperti yang sama-sama kita ketahui, tidak ada yang benar-benar tahu isi undang-undang yang disahkan kemarin. Tidak ada draf ataupun naskah resmi dari pemerintah maupun DPR untuk dikaji oleh masyarakat. Sejak masih RUU hingga diresmikan menjadi UU, rakyat berada di dalam pusaran kajian Omnibus Law yang tidak transparan dan inklusif.
Berpegang dari satu naskah ke naskah lain tanpa jaminan resmi terkait isinya, rakyat diombang-ambingkan oleh ketidakpastian. Bagi saya, yang mungkin belum akan terpengaruh secara langsung oleh undang-undang ini, saya masih bisa bernafas untuk beberapa tahun. Namun, ada kawan-kawan buruh yang tidak bisa.
Ada kawan-kawan buruh yang terbiasa malnutrisi karena jam kerja tinggi dan gaji tidak memadai, mereka yang cuma bisa memilih antara kerja sengsara atau mati. Kawan-kawan buruh ini juga memiliki keluarga yang tidak bisa menanti lama.
Di Indonesia, kita terbiasa melompati bagian penting dari apa yang menjadi pendorong kawan-kawan ini mencari asa di tengah gas air mata. Saya tidak membenarkan vandalisme fasilitas publik, dan jika bisa memilih, sebagai warga Jakarta, saya tidak mau fasilitas umum tersebut dirusak. Namun, sangat penting untuk memandang fenomena perusakan fasilitas umum pada momen perlawanan dengan cara yang tidak biner.
Baca juga: Ahli: UU Cipta Kerja Tak Jamin Investasi, Rusak Lingkungan Hidup
Aksi damai bukanlah sesuatu yang asing di kalangan aktivis. Warga Bali giat melakukan aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa selama lima tahun, para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) setiap melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara selama hampir 13 tahun terakhir, dan warga Papua yang tidak henti-hentinya melakukan aksi selama 50 tahun terakhir walau terus mengalami persekusi adalah bukti-bukti yang sangat nyata. Namun, apa hasil yang mereka dapat?
Di balik rusaknya fasilitas umum yang kita sayangkan, ada keputusasaan dan penderitaan rakyat dalam menyampaikan aspirasi kepada para wakil rakyat yang terhormat. Sudah berjilid-jilid gelaran aksi #TolakOmnibusLaw mereka ikuti, belum juga ada respons yang berarti ataupun kepastian. Sementara itu, bahkan di tengah pandemi, pemerintah terus saja memproses dan mengesahkan undang-undang meresahkan.
Rusaknya fasilitas umum dapat dilihat sebagai akumulasi dari kecamuk yang terjadi dalam keseharian kaum buruh di Indonesia. Tidak hanya itu, bentuk vandalisme ini juga bisa dipandang sebagai simbol frustrasi buruh terhadap negara. Negara yang katanya demokrasi, tapi tidak mendengar walau diteriaki, atau mungkin memang tidak punya hati.
Comments