Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan komunitas LGBTIQ mengkritik Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Mereka menilai, hal tersebut mampu mengusik ranah privat dan membungkam kelompok marginal di ranah digital.
Richa F. Shofyana, kepala divisi komunikasi Arus Pelangi, organisasi HAM untuk komunitas LGBTIQ menyebutkan, regulasi yang diberlakukan sejak November tahun lalu itu mewajibkan PSE lingkup privat, seperti platform media sosial untuk melakukan pendaftaran ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebelum masyarakat bisa mengakses kontennya. Selain itu, ada pendudukan hukum juga kepada pengguna platform untuk melakukan registrasi.
“Meski demikian, ketika melakukan pendaftaran, kita harus memperlihatkan informasi biometrik, genetika, kehidupan dan orientasi seksual serta pandangan politik (diatur dalam pasal 1 ayat 21). Ini sangat rentan dalam penyalahgunaan data pribadi yang bisa berdampak fatal,” ujarnya dalam konferensi pers Feminist Festival 2021 “Untuk Internet yang Lebih Feminis” yang diselenggarakan oleh kelompok Jakarta Feminist (19/11).
Selain itu, pasal 9 ayat 3 menyebutkan, PSE Lingkup Privat wajib memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi atau memfasilitasi penyebarluasan informasi yang dilarang. Disebutkan pula dalam ayat 4 pasal tersebut, salah satu bentuk informasi yang dilarang merupakan informasi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Menurut Richa, frasa meresahkan dan mengganggu ketertiban umum itu tidak memiliki parameter yang jelas. Karenanya, komunitas yang dianggap menyimpang atau mengancam ketertiban negara, seperti komunitas LGBTIQ, dapat diputuskan akses digital maupun kontennya.
“Jadi, aturan seperti ini bisa berpengaruh pada take down dan pemutusan akses konten yang dianggap meresahkan masyarakat. Ini tentu berdampak pada kelompok tertentu yang rentan,” kata Richa.
“Kita juga tahu perspektif negara soal orientasi seksual yang dimaknai sebagai sesuatu yang menyimpang. Sebenarnya [kami] ragu negara akan mengakomodasi keragaman orientasi seksual dan identitas gender dengan baik, karena sejauh ini ada kesalahpahaman di tataran negara soal pemahaman orientasi seksual dan identitas gender.”
Ia melanjutkan, Permenkominfo Nomor 5 tersebut juga bisa digunakan untuk membungkam kelompok yang mengkritik pemerintah.
“Kita tahu lingkup privat adalah bagian mendasar HAM yang diakui secara internasional,” ujarnya.
Seiring dengan regulasi tersebut, kerentanan komunitas LGBTIQ akan semakin bertambah di ruang digital. Richa mengatakan, di ruang digital atau media sosial, anggota komunitas LGBTIQ menerima perundungan dan penyerangan seperti ujaran kebencian atau doxxing--penyebaran informasi pribadi seseorang untuk tujuan intimidasi dan melecehkan di dunia maya. Selain itu, tuntutan untuk menunjukkan data pribadi sesuai aturan tersebut juga bisa mendorong pihak tertentu melakukan outing atau melelakan seseorang.
Ia mengatakan, serangan-serangan tersebut juga semakin teramplifikasi seiring pandemi, saat banyak kegiatan di ruang luring beralih ke daring.
“Online harassment banyak sekali dan tidak terlaporkan. Teman-teman LGBTIQ mengalami hal itu karena kekosongan payung hukum dan stigma berlapis di masyarakat,” kata Richa.
KBGO dan Ruang Digital untuk Teman Tuli
Komunitas LGBTIQ yang rentan mengalami serangan di dunia maya seperti yang disampaikan Richa menunjukkan urgensi untuk menciptakan lingkungan digital yang aman. Feminist Festival 2021 yang akan diselenggarakan 26 sampai 28 November mendatang akan berfokus pada tema keamanan ruang digital. Karenanya, Jakarta Feminist juga menyorot isu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang semakin meningkat selama pandemi.
Yoane Salim, Ketua Feminist Festival 2021 mengatakan, survei daring tentang KBGO yang diselenggarakan Jakarta Feminist akhir tahun lalu menemukan dari 315 responden, 22 persen di antaranya mengalami KBG di awal pandemi dan 48 persen pernah mengalami kekerasan secara daring.
“Menurut survei, lebih dari separuh korban (58 persen) mengalami kekerasan di tempat tinggal, yang artinya banyak korban mengalami kekerasan dari orang yang dikenal. Selain itu, [yang mengalami] di media sosial sebanyak 38 persen,” ujarnya.
Berkaitan dengan isu KBGO tersebut, Nissi Taruli dari FeminisThemis, komunitas feminis tuli mengatakan, banyak teman tuli yang tidak sadar menjadi korban KBGO karena mereka belum mengetahui tentang hal itu. Pasalnya, informasi yang ada belum sepenuhnya bisa diakses oleh teman tuli karena tidak mengakomodir bantuan bahasa isyarat. Teman tuli juga akan semakin rentan menjadi korban kekerasan karena identitasnya sebagai perempuan, apalagi jika menjadi bagian dari komunitas LGBTIQ.
Selain itu, teman tuli juga tidak melaporkan kasusnya karena tidak tahu, ragu, dan tidak nyaman untuk melaporkannya secara pribadi.
“Bahasa isyarat dan juru bahasa isyarat ini isu yang krusial dan harusnya dilindungi hukum, tapi belum ada dan belum ada perlindungan untuk teman tuli di dunia digital,” kata Nissi.
“Selain itu, teman-teman tuli yang jadi korban tidak melapor karena banyak lembaga layanan berbasis audio dan tidak aksesibel untuk kami. Dan, ada hambatan dalam komunikasi seperti proses pelaporan berupa video,”
Nissi menyarankan, cara terbaik mendukung perempuan tuli adalah dengan menyimak penjelasannya dan tidak mengabaikan karena tidak semua orang bisa memahami pengalaman dan perasaan teman tuli.
“Kalau bisa, pelajari bahasa isyarat Indonesia karena itu bisa memudahkan akses teman tuli untuk informasi,” kata Nissi.
Seiring acara Feminist Festival, Jakarta Feminist juga meluncurkan carilayanan.com, laman pencarian informasi dan kontak lembaga layanan pemerintah dan non-pemerintah bagi korban KBG. Carilayanan.com juga bisa diakses dengan link belipotbunga.com dan sudah beroperasi sejak Februari lalu.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments