Sebagian orang beranggapan bahwa kelompok muslim tradisional (santri) dan film adalah dua hal yang sulit bertemu, bahkan dinilai bertolak belakang. Tidak sedikit santri yang merasa aktivitas menonton film adalah tabu. Ini karena film kerap menggambarkan sesuatu yang tidak akurat tentang Islam, sehingga menurut mereka tidak benar.
Namun, belakangan ini terjadi perubahan sikap para santri dalam melihat teknologi dan praktik perfilman. Selama lebih dari satu dekade terakhir, sejak dirilisnya film santri 3 Doa 3 Cinta pada tahun 2008, sejumlah anak muda santri di berbagai penjuru Indonesia merayakan film – mulai dari menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi, sampai membuat film dan menyelenggarakan kompetisi film.
Di dalam penelitian doktoral yang saya lakukan, saya menyelidiki bagaimana tren terjunnya santri ke dalam dunia film memiliki kaitan erat dengan usaha mereka mempertahankan tradisi pesantren di era digital.
Mereka tidak hanya melestarikan tradisi agama melalui film yang mereka produksi, tapi juga menggunakan film tersebut sebagai sarana untuk mengkritisi dan senantiasa mengevaluasi tradisi mereka.
Melestarikan dan Mengkritisi Tradisi Pesantren Lewat Film
Berkembangnya ketertarikan kelompok santri dalam perfilman berkaitan erat dengan perubahan sosial yang terjadi dalam tubuh masyarakat santri – dari tumbuhnya kelas menengah hingga modernisasi kurikulum pesantren – sejak akhir tahun 1980-an.
Yang menarik, terjunnya kelompok santri ke dunia film juga didorong adanya ajaran yang menganjurkan mereka untuk mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (“al-muhaafadzah ‘ala al-qadiim al-saalih, wa al-akhdz bi al-jadiid al-ashlah”).
Film menjadi salah satu pilihan “tradisi baru” ini karena dianggap efektif dalam menyiarkan dakwah dan juga kemudahan akses bagi santri muda lain. Melalui film, kelompok santri bisa berperan dalam upaya pelestarian tradisi pesantren.
Baca juga: Tak Ada Cium Tangan dan Tidur di Barak: Bagaimana Pesantren Sikapi ‘New Normal’
Ini bisa terlihat, misalnya, dari betapa sentralnya penggambaran “kitab kuning” – kumpulan teks agama berbahasa Arab yang telah ratusan tahun digunakan dan dikaji secara turun temurun di pesantren-pesantren Indonesia – dalam beberapa film yang mereka buat sendiri.
Misalnya, film Hidup Sekali Hiduplah Yang Berarti (2011) dan Intensif (2013) yang dibuat oleh para santri di Pesantren Riyadul Ulum Wadda'wah, Jawa Barat. Ada pula film Sakinah (2019) yang dibuat oleh santri di Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur.
Namun, lebih jauh lagi, dunia film juga membuka ruang bagi santri untuk mempertanyakan dan mengkritisi tradisi pesantren mereka.
Filsuf Skotlandia, Alasdair MacIntyre, mengatakan bahwa tradisi adalah wujud nyata dari filosofi dan moral kebajikan yang dianut oleh suatu masyarakat. Artinya, tradisi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang sudah selesai dan kaku, tetapi sebagai sesuatu yang fleksibel dan senantiasa bergantung pada konteks dan tuntutan sosial di suatu periode kehidupan.
Santri Perempuan Menembus Budaya Patriarki di Pesantren
Praktik membuat film ini memberi kesempatan kepada anak muda santri – terlebih santri perempuan – untuk berbicara tentang Islam dengan cara yang lebih egaliter dan mencerminkan kondisi mereka saat ini.
Selama ini, ekspresi publik perempuan dalam masyarakat pesantren dibatasi aturan konvensional yang didominasi oleh budaya patriarkal pesantren yang berakar dari ajaran Islam maupun tradisi Jawa dan lokal.
Dalam tradisi ini, suara dan tubuh perempuan kerap ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibanding suara dan tubuh laki-laki, sehingga dianggap lebih pantas mengurusi pekerjaan domestik ketimbang berbicara tentang Islam di ruang publik.
Di pesantren, misalnya, pertunjukan seni yang diperankan santri perempuan biasanya tidak bisa ditonton santri laki-laki. Tetapi sebaliknya, pertunjukan seni yang diperankan santri laki-laki bisa ditonton santri perempuan.
Baca juga: 5 Cara Atasi Bias Gender di Pondok Pesantren
Melalui film, santri perempuan di Pesantren Riyadul Ulum Wadda'wah menunjukkan upaya melewati batasan ini. Dalam film mereka Intensif, misalnya, selain sutradara dan seluruh pemerannya adalah perempuan, film ini menceritakan tentang seorang perempuan yang lulus dari pesantren dan kemudian menjadi seseorang yang sukses.
Berbagai film yang dibuat dan diperankan para santri perempuan ini ditonton secara bersama-sama di ruang publik pesantren yang dihadiri tidak hanya santri perempuan, tetapi juga santri laki-laki dan para kyai (pemuka agama laki-laki). Ini berarti, tubuh dan suara perempuan yang biasanya dianggap sebagai hal yang tabu dalam tradisi pesantren menjadi diperbolehkan untuk hadir dalam ruang publik.
Melalui film, santri perempuan berhasil menembus batasan patriarki yang berlaku di pesantren – berbicara di ruang publik tentang Islam dan tradisi pesantren.
Tradisi bukanlah semata-mata pengulangan masa lalu, tetapi sebuah pencarian terus menerus tentang apa yang baik dan benar dalam konteks saat ini, berdasarkan ajaran yang diwariskan oleh para leluhur.
Tradisi harus siap menerima kritik maupun perbaikan. Perubahan sikap yang ditunjukkan santri muda tentang film menunjukkan tidak hanya bergesernya tradisi pesantren, tetapi potensi besar film maupun media digital lain dalam mendukung perubahan tradisi pesantren ke arah yang lebih baik.
Film dan santri barangkali memang memiliki hubungan yang kompleks, tetapi bukan mustahil bagi keduanya untuk berjalan bersama-sama.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments