Di Indonesia, aksi-aksi protes terkait perubahan iklim telah dilakukan berbagai pihak. Namun, baru tahun 2019 bisa dikatakan sebagai tahun kebangkitan aksi protes perubahan iklim.
Selama pandemi, protes digital perubahan iklim di Indonesia pernah berhasil mengumpulkan kurang lebih 1.000 orang yang tergabung dalam Zoom dan siaran langsung YouTube tahun lalu. Selain itu, para pemuda mengajak masyarakat terdampak, rohaniawan, hingga musisi, dalam protes virtual ini.
Di satu sisi, protes yang masih berjalan meski pandemi menunjukkan animo masyarakat dalam mengangkat wacana krisis iklim. Sayangnya, gerakan ini masih belum bisa memengaruhi kebijakan iklim di Indonesia karena setidaknya butuh 9 jutaan orang untuk turun ke jalan dan melakukan protes.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Dari Masyarakat Terdampak Hingga Fans K-Pop
Protes iklim setiap hari Jumat oleh Greta Thunberg, remaja asal Swedia, sejak 2018 atau dikenal sebagai Fridays for Future memang memengaruhi maraknya aksi protes iklim di Indonesia. Berdasarkan perhitungan Fridays for Future, sudah ada 116 aksi protes iklim di Indonesia sejak 15 Maret 2019 hingga 26 Maret 2021.
Jumlah ini relatif banyak mengingat dalam jangka waktu dua tahun sudah ada ratusan aksi protes muncul di Indonesia.
Pada 17 Maret 2021, puncak aksi protes iklim virtual di Indonesia berhasil melibatkan banyak pihak, tidak hanya kelompok lingkungan. Mulai dari ibu-ibu pejuang Kendeng, Solidaritas Perempuan Kinasih, masyarakat terdampak banjir Kalimantan Selatan, hingga perempuan nelayan di Pulau Pari, sebagai masyarakat terdampak dari krisis iklim, juga mengikuti protes daring ini.
Selain itu, ada juga gerakan pemuda, seperti Youth Act Kalimantan, Federasi Pelajar Jakarta, NGO HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh), serta tokoh agama dan musisi. Keikutsertaan mereka menggambarkan dampak krisis iklim akan menghantam semua lapisan masyarakat.
Selama beberapa tahun belakangan, koalisi dan kelompok lingkungan peduli iklim mulai banyak bermunculan di Indonesia, seperti Jeda Untuk Iklim, Extinction Rebellion Indonesia, Jaga Rimba, Golongan Hutan, Koprol Iklim, dan Climate Rangers.
Ada juga kop4planet, kelompok peduli lingkungan yang terbentuk karena terinspirasi oleh Blackpink, grup penyanyi perempuan asal Korea Selatan, yang menjadi duta untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) tahun 2021.
Selama pandemi, kelompok-kelompok ini mampu beradaptasi dan tetap melanjutkan aksi protes, bahkan sejak September 2020. Tidak akan mengejutkan apabila pandemi berakhir, aksi protes turun ke jalan skala besar akan bertambah besar di Indonesia dan global.
Baca juga: Ahli: UU Cipta Kerja Tak Jamin Investasi, Rusak Lingkungan Hidup
Belum Cukup Pengaruhi Kebijakan
Secara umum, gerakan ini di Indonesia belum cukup kuat untuk memengaruhi kebijakan iklim pemerintah. Dalam presentasi di TEDxTalk pada 2013, profesor kebijakan publik dari Universitas Harvard AS Erica Chenoweth mengatakan bahwa perlawanan nirkekerasan kemungkinan besar dapat berhasil apabila melibatkan setidaknya 3,5 persen dari total populasi.
Sebagai ilustrasi, gerakan iklim di Indonesia perlu melibatkan setidaknya 9.457.000 orang untuk berhasil. Ini mengacu kepada total penduduk Indonesia saat ini, yaitu 270,2 juta jiwa.
Jumlah ini masih terlampau jauh dari angka massa yang terlibat saat aksi protes, baik daring dan luring, pada Maret lalu. Karena itu, aksi protes iklim ini masih membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat, khususnya anak muda.
Riset terbaru dari Dana R. Fisher dan Sohana Nasrin, peneliti dari Universitas Maryland AS tentang aktivisme iklim dan dampaknya menemukan bahwa aksi protes digital memiliki kelebihan bisa menghubungkan orang dari berbagai lokasi secara bersamaan. Namun, aksi daring cenderung hanya melibatkan peserta dan perspektif yang terbatas.
Aksi protes digital belum efektif untuk menarik lebih banyak massa seperti aksi turun ke jalan, tempat aktivis dapat berinteraksi dengan masyarakat umum secara langsung untuk menarik perhatian. Meski demikian, aksi ini efektif dan tetap penting untuk menjaga momentum pergerakan.
Menuntut Penurunan Emisi
Meski karakter protes bergeser, seruan global para aktivis iklim tidak berubah. Mereka menuntut agar negara-negara di dunia menurunkan emisi karbon secara ambisius untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah.
Kelompok ini menuntut lima hal kepada pemerintah Indonesia, yaitu:
1) mendeklarasikan darurat iklim.
2) meningkatkan komitmen iklim Indonesia sesuai dengan Perjanjian Paris, yaitu mencegah suhu Bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius.
3) menghentikan investasi di sektor energi kotor (terutama batu bara) dan memilih energi bersih terbarukan untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat.
4) menjamin keadilan bagi semua pejuang lingkungan.
5) mencabut seluruh kebijakan yang merusak lingkungan dan memastikan kebijakan baru yang fokus pada penanggulangan krisis iklim.
Menyambut hari Bumi 22 April 2021, koalisi lingkungan kembali menggelar aksi luring, Joget Jagat, aksi joget bersama sebagai ekspresi keresahan atas krisis iklim yang terjadi.
Mereka juga menambah dua tuntutan yang lebih spesifik, yaitu mengembalikan hutan melalui reboisasi (mencapai 600.000 hektare per tahun) dan memangkas penggunaan serta produksi batu bara sampai nol pada 2030.
Pemerintah Indonesia menargetkan nol emisi tercapai pada 2070. Target ini mundur 20 tahun dari perjanjian yang telah disepakati global di Paris.
Hingga kini, Indonesia tidak berencana menaikkan target emisi secara ambisius dan tetap dengan angka 29 persen dan 41 persen (dengan bantuan internasional) hingga 2030.
Pada Februari, Badan PBB untuk Perubahan Iklim mengeluarkan laporan bahwa total target penurunan emisi sukarela negara-negara saat ini hanya akan mengurangi sekitar 2,8 persen pada 2030. Ini tidak cukup untuk bisa menahan suhu Bumi melampaui 1,5 derajat Celsius dan mencegah dampak dari krisis iklim.
Mekanisme negosiasi internasional dalam Perjanjian Paris belum efektif untuk mengubah kebijakan iklim Pemerintah Indonesia. Namun, tekanan domestik yang persisten terhadap pemerintah dari koalisi kelompok-kelompok lingkungan bisa mengubah kebijakan yang lebih menjanjikan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments