Women Lead Pendidikan Seks
July 03, 2019

Gerakan Hijrah Semakin ‘Ngepop’

Menyasar anak-anak muda, gerakan hijrah merambah ke budaya pop lewat buku dan beragam kanal daring.

by Shafira Amalia
Issues // Politics and Society
Hijrah_Pop_Millenial_Instan_SarahArifin
Share:

Jika kita mampir ke toko buku sekarang ini, kita akan dengan mudah menemukan jajaran buku dengan kata “hijrah” yang dipajang pada rak rekomendasi atau terlaris. Berbeda dengan buku-buku bertema agama yang umumnya kaku dan formal, buku-buku yang mengajak menjadi “Muslim yang lebih baik” ini memiliki desain pop dengan ilustrasi seperti buku percintaan remaja atau komik, serta gaya bahasa kasual. 

Tidak hanya buku, media sosial pun dipenuhi kampanye gerakan hijrah. Jika kita mengetik tagar #hijrah di Instagram, muncul 70 juta post dengan tagar tersebut di layar ponsel kita. Selain itu, podcast atau kanal YouTube juga dipenuhi pembicaraan topik hijrah, dengan desain grafis yang menarik dan bahasa yang ringan.

Buku dengan topik hijrah yang dijual
di toko buku besar


“Gerakan hijrah memang di mana-mana sekarang. Dengan memakai media sosial dan budaya pop, gerakan ini menjadi menarik untuk anak-anak muda,” ujar Nurul Bahrul Ulum dari lembaga kajian Islam progresif Fahmina Institute, sekaligus pendiri komunitas feminis Cherbon Feminist.

“Sebenarnya itu karena banyak orang yang memilih untuk lari ke agama di saat mereka merasa kosong, sedih atau kesepian," tambahnya.

“Tren hijrah” di kalangan anak muda ini sudah terlihat dalam sepuluh tahun terakhir seiring peningkatan konservatisme agama di negara ini. Merebaknya komunitas hijrah, pembahasan topik hijrah dan juga panutan hijrah memperlihatkan bahwa tren ini tidak memperlihatkan tanda-tanda surut, malah sebaliknya.

Panutan anak-anak muda soal hijrah ini muncul dari kalangan artis dan juga influencer yang berhijrah. Selain itu,  pengajian-pengajian sekarang juga pintar dalam memilih topik yang akan menarik perhatian generasi Milenial. Dulu para ustaz sering membahas tentang hubungan manusia dengan Allah, namun sekarang isu-isunya lebih kontekstual seperti masalah hubungan dengan sesama manusia dan bahkan hingga mode.

Bahkan banyak ustaz atau ulama yang menggunakan media sosial agar lebih menarik untuk generasi muda. Menurut laporan majalah Tempo pada Juni 2018, ustaz yang membuat konten daring dapat menghasilkan puluhan juta rupiah per bulannya dengan mengunggah video di YouTube. Salah satu kanal YouTube hijrah yang terkenal adalah Tafaqquh, yang dimiliki Abdul Somad Batubara, yang diberitakan dapat menghasilkan Rp300-400 juta per bulannya.

Konten ajakan hijrah yang diunggah di YouTube


Fania Nur Athiyah, seorang penulis konten di media, mengatakan bahwa topik hijrah yang menjadi arus utama telah membantunya merasa yakin untuk berhijrah baru-baru ini.

"Sebenarnya awal-awal kenapa saya ada keinginan untuk berhijrah adalah setelah saya divonis kena penyakit batu ginjal oleh dokter tetapi ternyata misdiagnosa. Ternyata setelah MRI scan, ternyata saya ada kista berukuran 12 sentimeter di induk telur rahim saya," ujar Fania, 23.

"Yang sampai sekarang teringat sama saya adalah kata-kata dokter anestesi saya sebelum operasi, ia bilang, 'Kamu Muslim? Kita baca syahadat dulu ya. Kita tidak akan tahu akan ada kejadian apa nantinya'. Yang artinya menurut saya adalah 'Kamu bisa mati nanti, jadi doa sekarang'," tambahnya.

Menurut Fania, dia tidak langsung memutuskan untuk berhijab tetapi keinginannya sudah ada sejak itu. Ia kemudian mencari informasi dari teman-temannya yang sudah berhijab, serta membaca tentang hijrah di Internet atau menonton video di Youtube tentang orang-orang yang memutuskan untuk berhijrah agar ia semakin yakin.

"Menurut saya, meningkatnya bahasan tentang hijrah di media sosial, buku-buku dan podcast itu berpengaruh banget dalam mendorong saya untuk berhijrah. Awalnya saya benar-benar tidak tahu apa-apa tetapi saya bisa belajar banyak karena akses terhadap informasinya jadi lebih gampang," ujar Fania.


Kesalahpahaman dalam fenomena hijrah

Menurut Nurul Bahrul, makna asli hijrah adalah perpindahan atau perubahan seseorang dari sikap keburukan menjadi sikap kebaikan. Ia merasa banyak orang menggunakan kekuatan media sosial dengan baik dengan berbagi cerita-cerita yang positif tentang kisahnya dalam berhijrah. Namun ia sangat menyayangkan bahwa makna dari hijrah sendiri sering kali melenceng dari makna aslinya.

“Media sosial telah membantu gerakan ini menjadi budaya pop dan banyak membantu orang mengakses informasi tentang hijrah. Namun sayangnya, banyak juga orang yang membutuhkan pengakuan orang lain, dan religiositas seseorang kini menjadi salah satu hal yang dibutuhkan pengakuannya,” ujar Nurul.

“Jadi yang khas di dalam tren gerakan hijrah sekarang adalah penekanan pada aspek eksistensialnya, bukan substansialnya,” lanjutnya.

Nurul mengatakan ada pola pikir yang muncul di masyarakat bahwa dengan cara yang lebih modern ini, selain dapat kembali beragama, mereka juga bisa dikenal oleh orang-orang karena keagamaannya. Menurutnya inilah yang menyebabkan banyak munculnya artis-artis media sosial yang membangun citra diri sebagai influencer hijrah.

Buku dengan topik hijrah yang dijual
di toko buku besar


“Dengan makna aslinya sudah melenceng, gerakan ini rawan menghasilkan sikap eksklusivitas di mana mereka merasa mereka adalah orang yang paling benar sendiri dan cara hijrah orang lain dianggap salah,” ujar Nurul.

Menurut Kalis Mardiasih, kolumnis dan penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan, gerakan hijrah ini sudah berubah cukup jauh dari gerakan keislaman sebelumnya yang ada setelah Orde Baru.

“Dulu terlihat ada kelompok yang ingin kembali ke gaya hidup zaman Nabi Muhammad yang cenderung menolak budaya dan kurang terbuka dengan hak-hak perempuan. Ada juga kelompok yang hanya berfokus kepada Islam politik yang ingin mendeklarasikan bentuk negara Islam,” ujar Kalis.

“Tetapi sejak dibahas di media sosial, sekarang semua sudah bercampur. Ada kelompok yang fokus ke beragama, namun juga tetap berpendapat keras tentang politik,” ujarnya.

Menurut Kalis, bahaya dari gerakan ini adalah batas-batas yang tidak lagi jelas atau spesifik. “Jika misalnya ada yang mengkritik tentang konservatisme yang menyerang hak-hak perempuan atau mungkin intoleransi, ia dianggap menyerang semua aspek dalam agama Islam,” kata Kalis.

Selain eksistensi dan eksklusivitas, tren hijrah ini juga menghasilkan bisnis-bisnis yang akhirnya menunggangi tren tersebut, terutama di bisnis pakaian muslimah, ujarnya.

Podcast dan YouTube berisi konten mengenai hijrah


"Ada yang mempromosikan produknya dengan dalil-dalil definisi hijab syar’i (sesuai syariat Islam), padahal hijab adalah pakaian yang tidak ada definisinya,” kata Kalis, yang juga berhijab.

Menurutnya, ini juga menunjukkan adanya sikap eksklusivitas karena banyak dalil-dalil yang dipakai oleh bisnis ini seakan-akan mempromosikan produknya sebagai produk yang paling syar’i.

“Padahal banyak sekali bisnis pakaian muslim yang menawarkan berbagai bentuk hijab untuk berbagai bentuk ekspresi orang. Mau itu turban, atau hijab warna-warni, atau bentuk lainnya yang menyenangkan,” katanya.

Tidak hanya bisnis, tetapi banyak juga selebritas media sosial atau artis lokal yang memanfaatkan gerakan hijrah karena tren, kata Kalis. “Ada beberapa juga yang bahkan membahas agama seakan-akan mereka yang paling paham tentangnya, padahal mereka juga baru berhijrah kemarin atau beberapa bulan yang lalu,” ujarnya.

“Padahal kan artis itu banyak pengikut media sosialnya, seharusnya mereka sadar bahwa mereka juga termasuk awam dalam topik agama kalau mereka baru mulai berhijrah. Seharusnya mereka lebih banyak diam dan belajar, bukan justru mempengaruhi pengikutnya dengan ajaran yang mereka belum begitu paham,” lanjutnya.

Kalis mengatakan banyak orang yang berhijrah hanya untuk kepentingan personal saja.

“Itu bukan sesuatu yang kita bisa salahkan atau hakimi karena itu adalah proses pribadi yang berbeda-beda dari setiap orang. Tetapi kalau proses ini sudah dilakukan karena eksistensi atau tren, di situ banyak yang bisa dikhawatirkan,” ujarnya.

Baca juga soal diskriminasi LGBT di kampus-kampus universitas di Indonesia.

Shafira Amalia merupakan lulusan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Demi memenuhi hasrat dan kegemarannya dalam menulis, Shafira mengalihkan mimpinya dari menjadi diplomat ke menjadi reporter. Menurut Shafira, berjuang menghancurkan patriarki tak kalah menariknya dengan cita-cita dia bertemu dengan Billie Eilish.

Follow Instagram Shafira di @sapphire.dust.