Women Lead Pendidikan Seks
April 03, 2018

Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran: Menikah Solusi Paling Baik, Jangan Dipersulit

Gerakan ini menganggap pacaran sebagai akar permasalahan pada remaja.

by Elma Adisya, Reporter
Issues // Politics and Society
Share:
Ukh, Saya boleh curhat di sini enggak?” tulis “Enny” di grup percakapan whatsapp gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Bagi yang belum terbiasa, “Ukh” itu mengacu pada ukhti, panggilan untuk sesama perempuan dalam bahasa Arab.
 
Saat itu hampir jam 9 malam dan mata saya langsung terfokus pada apa yang ingin ia sampaikan.
 
“Bulan Muharam kemarin ada yang meng-khitbah (meminang) saya. Seorang laki-laki, asalnya dari Bekasi. Insya Allah setelah bulan Muharam kami menikah. Tapi tadi dia chat untuk membatalkan semuanya,” ujar ukhti Enny, yang meski terdengar pedih tapi ia sempat menyisipkan emoticon senyum.
 
Saya bergabung dengan grup whatsapp ini dari pertengahan Februari 2018. Grup ini merupakan sarana komunikasi para pengikut gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, serta media untuk berkampanye. Didirikan oleh penulis Laode Munafar pada akhir 2015, gerakan ini mengampanyekan bahwa pacaran adalah sumber dari segala masalah pergaulan remaja yang liar dan sangat merugikan generasi muda Indonesia.
 
Sampai artikel ini diunggah, Laode tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan dari Magdalene mengenai hal ihwal gerakan ini. Namun dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Laode mengatakan ia membuat gerakan di Instagram, Facebook, dan Line karena menerima curahan hati para remaja “yang rusak masa depannya karena pacaran."
 



"Pacaran itu merusak dari sisi mana pun: dari masa depan, psikologi, kehormatan, dan terlebih lagi dalam pandangan agama [...] Tidak ada yang menguatkan hubungan (dalam pacaran) baik ikatan agama ataupun hukum, sehingga jika sudah terlanjur melakukan hubungan (badan) yang laki-laki bisa saja meninggalkan perempuan dengan gampang,” ujarnya.
 
Ia menambahkan bahwa pacaran juga mengalihkan fokus belajar dan lingkungan. Laode, seperti dikutip BBC, memilih pendekatan agama karena dia menganggap “Indonesia memiliki banyak warga Muslim."
 
Akun-akun media sosial Indonesia Tanpa Pacaran sudah menjaring hampir 400,000 pengikut di Facebook, sementara di Instagram sudah diikuti lebih dari 595,000 akun. Format kampanye mereka beragam, mulai dari foto, meme, video pendek dengan gaya sinematografi kekinian, dan ilustrasi-ilustrasi menarik dilengkapi teks berisi ceramah agama. Konten utamanya adalah mendorong konsep hijrah, yang secara umum berarti perubahan menuju pribadi yang lebih baik, namun dalam gerakan ini berarti sudah mantap mengatakan tidak akan berpacaran lagi dan lebih memilih untuk langsung menikah saja.
 
Selain media sosial, gerakan ini juga mengorganisir kegiatan-kegiatan di sekolah-sekolah dan masjid.
 
Menariknya, sebagian besar materi-materi sosial media Indonesia Tanpa Pacaran banyak ditujukan pada pengikut perempuan, menyajikan aturan bagaimana seharusnya perempuan bergaul dalam masyarakat. Dalam salah satu meme yang ditampilkan, mereka menyalahkan perempuan sebagai penyebab rusaknya peradaban manusia. Mereka mengklaim bahwa saat ini, perempuan dirusak oleh pemikiran sekuler dan feminisme, sehingga gerakan tersebut ingin melawannya dengan meninggikan derajat perempuan.
 

Aturan ketat ala militer
 
Grup whatsapp merupakan salah satu sarana yang ditawarkan oleh gerakan Indonesia Tanpa Pacaran untuk saling menguatkan, dan sebagai medium penyebaran artikel-artikel yang wajib disebarkan para anggota di media sosial masing-masing.
 
Untuk menjadi anggota, kita perlu mendaftar pada administrator alias admin grup, membayar Rp 180.000 (untuk pendaftaran dan buku) lewat transfer bank, dan konfirmasi pada admin. Perlu waktu sekitar seminggu sampai akhirnya diterima menjadi anggota.
 
Grup ini, yang tentu saja memisahkan perempuan dan laki-laki, menawarkan beberapa keuntungan, mulai dari diskon untuk pembelian cendera mata, pelatihan, sampai materi ceramah agama. Admin mengatakan ingin menjaring sampai 10.000 anggota untuk grup whatsapp, jadi bayangkan berapa uang yang diraup. Di grup yang saya ikuti saja ada 167 anggota dan dua admin, sehingga total uang pendaftaran yang dikumpulkan Rp 30 juta lebih sedikit.
 
Sebelum masuk grup ini, saya sudah sangat penasaran mengapa mereka tidak keberatan membayar Rp 180.000 untuk biaya pendaftaran, yang menurut saya lumayan mahal. Dengan banyaknya anggota dalam satu grup, saya membayangkan betapa riuh rendahnya percakapan di dalamnya.
 
Namun ternyata grup ini memiliki peraturan super ketat dan disiplin bagai militer. Pertama, kami dilarang berbicara di grup kecuali pada Rabu, Sabtu, dan Minggu. Bahkan mengucapkan salam pun tidak boleh. Walaupun salamnya akan dijawab dulu, baru admin memberi peringatan.
 
Kedua, kami hanya diperbolehkan membahas tema yang berkaitan dengan Indonesia Tanpa Pacaran atau pergaulan. Ketiga, kami tidak boleh mempromosikan acara atau produk apa pun kecuali yang sudah bekerja sama dengan ITP. Jika ada yang melanggar aturan-aturan ini hingga empat kali berturut-turut, admin akan menendangnya dari grup.
 
Selain itu, para anggota ITP diwajibkan menyebarkan artikel ceramah yang dibagikan setiap Selasa dan Jumat. Admin akan mengabsen siapa  saja yang sudah membagikan artikel sebagai pesan berantai, atau disertai gambar-gambar yang cocok disebar lewat Instagram.
 
Grup sempalan
 
“Assalamu alaikum, ukhti..”
 
Saya agak canggung ketika para anggota grup menggunakan kata ganti ukhti, apalagi saat disingkat “ukh”, yang bagi saya punya efek membuat geli yang sama dengan sapaan “sis” di toko daring. Apalagi ketika banyak dari mereka yang kemudian memodifikasinya dengan “ukhsay” alias ukhti sayang.  
 
Peraturan-peraturan super ketat ternyata membuat para ukhti merasa tidak nyaman dan membentuk grup baru. Beberapa hari setelah bergabung, seorang anggota, sebut saja “Elisa” menawarkan saya untuk bergabung melalui jalur pribadi.
 
“Ini grup untuk meet-up regional Tangerang dan Jakarta, Ukh.. Biar kita gampang komunikasinya,” ujarnya, yang langsung saya iyakan.
 
“Tapi jangan bilang-bilang grup sebelah ya, Ukh.“  Saya menyetujuinya lagi.
 
Di grup sempalan ini, layaknya grup percakapan, banyak terjadi interaksi, diskusi, dan curhat. Para ukhti ini kemudian mengorganisir pertemuan secara langsung, yang kemudian diputuskan akan dilakukan usai kajian ITP di Masjid Istiqlal awal Maret lalu.
 
Kajian ini dihadiri oleh tiga narasumber, termasuk pasangan muda selebgram yaitu Natta Reza dan Wardah Maulina, satu dari sekian banyak panutan remaja Muslim yang mengampanyekan tentang hijrah dan menikah di usia muda (Baca selengkapnya di sini). Pasangan ini juga merupakan bagian dari gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, bahkan sudah menulis buku Berani Menikah Takut Pacaran yang diterbitkan oleh ITP. Agar mengerti logika kajian yang akan saya datangi nanti, sebelum pergi saya membaca buku Indonesia Tanpa Pacaran yang ditulis Laode dan dibagikan kepada anggota grup whatsapp setelah membayar uang pendaftaran.
 
Materi dalam buku ini tidak jauh berbeda dengan konten media sosial gerakan ini, yakni lebih banyak membicarakan dan mengatur perempuan daripada laki-laki. Ada satu bab khusus yang membahas tentang bagaimana perempuan seharusnya berpakaian, yaitu pakaian dan hijab panjang karena “aurat perempuan itu selain wajah dan telapak tangan.” Pada halaman 67, penulis menyamakan perempuan Muslimah yang bercelana panjang ketat saat keluar rumah seperti lontong, dan ia juga menyalahkan perempuan karena membangkitkan syahwat laki-laki. 
 
Banyak klaim ditulis Laode di buku ini tanpa kredit atau anotasi yang jelas. Misalnya pada halaman 155, ia menuduh pemerintah memfasilitasi kurikulum yang mengajak pacaran.
 
Narasi “semua ini adalah salah pihak Barat” juga bertebaran dalam buku ini, tanpa didukung logika dan argumen yang terstruktur jelas. Ia menggambarkan sekularisme tanpa referensi dari buku atau literatur mana pun. Ia menuduh tokoh pendiri Republik Turki, Kemal Ataturk, sebagai Yahudi Inggris yang suka mabuk-mabukan, main perempuan, hedonis, dan mati dengan jasad yang rusak. Ketika saya cari di Google, informasi seperti itu datangnya dari blog-blog yang tidak kredibel.
 
Menikah solusi terbaik
 
Semua materi dalam buku Laode pada akhirnya mengerucut pada konsep bahwa menikah itu solusi paling baik dalam berbagai aspek daripada melajang, sehingga jangan dipersulit, apalagi kalau hanya menyangkut finansial. Hal ini banyak membuat khawatir berbagai pihak, terutama yang berjuang mengatasi pernikahan di bawah umur.
 
Koordinator Nasional Jaringan Muda, Lathiefah Widuri Retyaningtyas mengatakan, gerakan Indonesia Tanpa Pacaran ini adalah salah satu gerakan anti-kesetaraan yang dipantau oleh mereka.
 
Pihak Jaringan Muda, yang fokus pada masalah kekerasan seksual pada remaja, sangat terkejut dengan adanya ITP ini, karena gerakan ini membatasi relasi personal anak muda. Terlebih saat menyadari adanya peningkatan dari gerakan tersebut, ujar Lathiefah.
 
“Tapi kita tetap berposisi bahwa tidak semua orang muda mau termakan oleh kampanye-kampanye yang dilakukan gerakan tersebut. Dalam pengamatan kami, masih banyak orang muda yang ingin bebas dan merdeka,” ujarnya penuh harap.
 
Ia menambahkan, Jaringan Muda juga mengkhawatirkan gerakan ini akan mengakibatkan semakin kerasnya politik kontrol terhadap tubuh perempuan. Solusi “menikah lebih cepat lebih baik”  yang ditawarkan oleh ITP akan berdampak negatif pada anak-anak muda yang belum siap berumah tangga, kata Lathiefah.
 
“Ketika melihat kampanye-kampanye yang disebarkan dalam poster-poster mereka, kami menangkap bahwa menikah hanya dijadikan semacam jalan keluar untuk menghalalkan syahwat. Menurut kami, itu adalah pemikiran yang sempit,” tambahnya.
 
“Akar masalah yang digemborkan oleh ITP juga tidak jelas, dan ukuran moral yang dikampanyekan gerakan ini berpotensi mengkriminalisasi perempuan dengan tuduhan zina.”
 
Untuk melawan gerakan semacam ini, Jaringan Muda melakukan kegiatan-kegiatan yang berfokus untuk membuka ruang-ruang diskusi dan ekspresi untuk mengampanyekan kesetaraan di kampus-kampus.
 
“Salah satu acara yang kami gagas dari 2015 adalah Temu Nasional Jaringan Muda yang sudah dua kali kami adakan, dan acara terdekat yang akan dilaksanakan adalah temu perempuan  di kampus. Dari situ banyak sekali kami temukan inspirasi-inspirasi  juang dari gerakan teman perempuan muda kampus. Dengan adanya acara ini, kami berharap akan menciptakan ruang bagi mereka,” jelas Lathiefah.
 
Namun bagi para ukhti di grup whatsapp Indonesia Tanpa Pacaran, menikah tetap solusi dan tujuan utama, seperti yang dikemukakan Enny. Keluhannya soal khitbah harapan palsu dibalas dengan penghiburan dari sesama anggota grup.
 
“Aku juga pernah, ukhti, ngalamin kayak begitu. Sesak banget rasanya. Malu sama keluarga dan orang-orang di kampung. Tapi gimana lagi, rencana Allah pasti lebih baik dari rencana kita,” tutur “Ajeng”.
 
“Alhamdulillah, sekarang udah ada lagi yang khitbah. Insya Allah bulan depan akad. Sabar ya, ukhti. Pasti ada gantinya yang lebih baik.”
 
Baca juga tentang "selebgram" yang mendorong remaja menikah muda.
Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.