Drama Korea Nevertheless (2021) belakangan ini kembali menimbulkan polarisasi bagi penggemar budaya Hallyu karena dinilai meromantisasi hubungan toksik dan manipulatif. Karenanya, banyak yang memilih untuk tidak menonton bahkan berhenti di tengah berjalannya cerita.
Namun, di sisi lain ada juga yang membela Nevertheless karena menganggapnya tidak mengglorifikasi hubungan beracun. Alasannya, cerita belum selesai dan mungkin Yu Na-bi (Han So-hee) akan terlepas dari genggaman softboy berbahaya Park Jae-eon (Song Kang), atau sebaliknya Park Jae-eon yang mendadak tobat. Singkatnya, Nevertheless bisa saja menjadi perjalanan seseorang keluar dari relasi yang berbahaya.
Melihat perkara Nevertheless itu mengingatkan kembali atas perdebatan lama tentang drama Korea (drakor) yang menyamakan kekerasan dalam hubungan, fisik maupun emosional, sebagai bentuk cinta. Kisah seperti laki-laki dingin dan jahat kemudian jatuh cinta pada perempuan yang dirundungnya sudah sering diolah sedemikian rupa dan tetap disebut cerita cinta terbaik abad ini.
Boys Over Flowers (2009), misalnya, yang memakai formula klasik tersebut. Geum Jan-di yang baik hati dan berdikari ‘anehnya’ luluh dengan Goo Joon-pyo (Lee Min-ho) yang mempermalukan, memaksa untuk mencium, hingga ‘membayar’ orang untuk melecehkanya. Drama itu bahkan memiliki beberapa versi. Kisah originalnya dari film Jepang Hana Yori Dango (1995), kemudian diadaptasi oleh Meteor Garden (2001), dan drama Taiwan Moon River (2015).
Baca juga: ‘Tsundere’ dalam Drama Korea dan Lagu Agnez Mo
Gestur problematik dari pemeran utama laki-laki K-drama juga sempat disorot oleh acara televisi Problem Child in House pada Maret lalu. Bintang tamunya, psikiater Yang Jae Jin juga menyebutnya sebagai bentuk kekerasan dalam pacaran.
Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan kemudian dimaknai sebagai cinta, seperti dalam drakor itu, juga tidak lepas dari masyarakat yang menormalisasi perilaku problematik. Hal tersebut disampaikan dalam artikel When Violence is Romantic: How Media Portrays Abusive Relationships yang ditulis Aindrila Chaudhuri. Selain itu, stereotip dan ekspektasi gender masyarakat tentang cara laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku juga ikut ambil andil di dalamnya. Laki-laki dengan karakteristik hyper-masculine ‘berbahaya’ menjadi pasangan yang cocok untuk perempuan lemah lembut yang menyukai paksaan dan kendali kekasihnya.
“Singkatnya, penggambaran maskulinitas dalam sinema itu juga dijual lewat pemeran perempuan yang dipengaruhi male gaze dan institusi kekerasan yang tidak pernah berubah,” tulis Chaudhuri.
Senada dengan hal tersebut, penelitian The Normalization of Violence in Heterosexual Romantic Relationships: Women’s Narratives of Love and Violence menyebutkan dalam cerita cinta heteroseksual ada juga yang menawarkan narasi kekerasan menilai perilaku problematik memang sesuatu yang ‘normal’ dan bagian dari sebuah relasi. Penulisnya, Julia T.Wood dari University of North Carolina menambahkan hal itu juga balik dipengaruhi karena representasi kekerasan dalam hubungan di media. Narasi seperti itu juga memberi izin untuk menindas perempuan.
Meskipun begitu, tidak adil jika memukul rata semua drakor mengusung cerita-cerita yang problematik karena di antaranya ada yang mengangkat isu perempuan. Because This is My Life, contohnya, membawa isu perempuan yang dinilai tabu. Ada juga isu perempuan berdaya dalam karier pada drama Search WWW, kritik untuk industri hiburan yang menekan perempuan dalam versi dramanya The Beauty Inside, hingga Ms.Hammurabi yang jelas mengangkat tema feminis dan tantangan sosial yang dihadapi perempuan.
Baca juga: Racun Mitos Kisah Cinta Fantasi dalal Drama Korea
Untuk kisah-kisah romantis di era 2010-an, drakor memberikan pilihan kisah yang jauh lebih sehat dengan pasangan yang saling mendukung, seperti Weightlifting Fairy Kim Bok Joo, Hospital Playlist, dan Reply 1998. Namun, ketika menonton drakor romantis tidak ada salahnya untuk menandai apa saja aksi problematik yang kerap diglorifikasi sebagai cinta. Berikut beberapa bentuknya:
Pemaksaan Cium sampai Tarik Tangan
Untuk menambah momen romantis, K-drama menggunakan gestur forced kiss untuk menyatakan cinta. Sayangnya, hal itu adalah tindakan pelecehan. Pemaksaan mencium itu juga punya teman, menarik tangan karakter perempuan dengan paksa atau wrist grab. Adegan klise itu juga ada dua, yang lembut untuk menahan pergi dan yang agresif.
Wrist grab yang problematik biasanya dilakukan ketika karakter laki-laki merasa ‘marah’ dan ingin membawanya pergi secara paksa dari satu tempat. Misalnya dalam drama Another Miss Oh (2016), Park Do-kyung menarik tangan Oh Hae-young (Seo Hyun-jin) keluar dari restoran. Alih-alih menjadi romantis karena membawa orang ‘kesayangan’ dengan dalih melindungi, wrist grab adalah bentuk agresi yang mengekang.
Ada juga drama Our Gap-soon, di mana Shin Gap-soon (Kim So-eun) sempat ditarik paksa oleh ‘pacarnya’ Heo Gap-dol (Song Jae-rim) ke sebuah gang untuk dicium. Shin Gap-soon refleks kaget, menolak, dan mulai menangis, reaksi yang sangat normal ketika ada laki-laki yang menarik paksa ke sebuah gang. Namun, karena Our Gap-soon adalah cerita cinta dua pasangan yang tidak direstui keluarga, satu kata dari Heo Gap-dol tentang tidak bisa kehilangan sosoknya membuat Shin Gap-soon luluh. Ah, memang tidak ada yang lebih ‘romantis’ dari mencium pasangan secara paksa untuk menunjukkan rasa cinta.
Baca juga: Gemar Baca Certa Toksik, Apakah Saya Feminis Gagal?
Wall Slam Oppa Sebenarnya Tidak Romantis
Gestur laki-laki menyudutkan perempuan ke tembok atau wall slam bisa disebut sebagai salah satu bentuk klise menyatakan rasa cinta pada protagonis perempuan. Efek yang diinginkan tentu saja membuat hati penonton berdebar ketika dua karakter utama ‘dempet-dempetan’ dan saling menatap dengan intens. Namun, hal itu hanya bisa menjadi romantis ketika keduanya consent dan tidak dilakukan dengan paksaan. Tidak jarang wall slam dimotori oleh paksaan karena karakter laki-laki ‘harus’ menunjukkan perasaan dengan taktik itu.
Dalam satu adegan drama Coffee Prince (2007), Choi Han-kyul (Gong Yoo) melakukan wall slam (dalam drama ini tembok digantikan kulkas) kepada Go Eun-chan (Yoon Eun-hye), kemudian memaksa untuk mencium. Aksi itu sangat agresif, kasar, dan menyakiti tokoh perempuan. Sama halnya ketika Oh Hae-young juga dari Another Miss Oh disudutkan ke tembok oleh Park Do-kyung untuk menunjukkan dominasi maskulin dan momen intens mengungkapkan cinta dengan ciuman tanpa consent.
Untuk melengkapi tentang wall slam, dalam acara televisi yang sama psikiater Yang Jae-jin juga mengatakan: “Menyentuh seseorang yang disayangi tanpa consent itu adalah masalah dan termasuk dalam hal-hal yang tergolong dalam kekerasan, begitu pula dengan ‘memukul’ tembok untuk menyudutkan.”
Merundung dan Mengusili Karakter Perempuan
Goo Jun-Pyo lagi-lagi menjadi contoh karakter laki-laki yang melakukan tindakan problematik. Sudah saatnya sirine peringatan atau bendera merah mengikuti ke mana pun dia pergi. Di awal cerita, sebelum akhirnya dia menjalin hubungan romantis dengan Geum Jan-di dia adalah ‘rajanya’ sekolah. Dia bersama gengnya bebas menindas orang-orang yang ia tidak sukai. Justifikasi untuk perilaku buruknya karena dia tampan, anak orang kaya, dan memang dibesarkan dengan ‘kejam’.
Karenanya, ketika Geum Jan-di menentang perilakunya yang jahat, dia jadi target untuk dirundung satu sekolah. Dia sempat diculik, sepedanya dirusak, dan kolam renangnya sengaja dibanjiri sampah. Tapi, selayaknya roman picisan, perempuan baik-baik bisa ‘menyembuhkan’ laki-laki yang toksik. Selain itu, di dunia nyata rasanya amit-amit menjalin kasih dengan orang yang pernah merundung kita.
Comments