Pengumuman ini menjadi bahan diskusi panas di kalangan minoritas, terutama minoritas seksual: Bagaimana prospek masa depan kelompok marginal di Indonesia bila kedua bakal calon pasangan memiliki tokoh dengan rapor hak asasi manusia yang merah?
Mungkin pilihan Presiden Jokowi strategis dalam merangkul tokoh Islamis, sebagai serangan balik atas kampanye hitam dengan politik identitas pada Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017. Namun tidak semua menyetujui pilihan tersebut, karena awan pembicaraan media sosial tentang pasangan ini juga dinilai sebagai kontradiksi sikap koalisi dari pemilih muda progresif.
Ma’ruf menurunkan fatwa bahwa kelompok Ahmadiyah adalah sesat, yang berujung pada kasus-kasus persekusi terhadap sekte Islam tersebut. Di pihak yang berseberangan, kasus penculikan aktivis reformasi masih membayangi mantan jenderal Prabowo, yang juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh agama garis keras.
Lalu bagaimana minoritas gender memilih dalam Pilpres 2019 nanti?
Untuk pemilih yang tidak mau pusing dengan konsep rasionalitas, abstensi dapat menjadi pilihan alternatif. Namun dalam sistem demokrasi apakah abstensi memberikan dampak yang signifikan? Sayangnya tidak. Selama tidak memengaruhi hasil voting, abstensi tidak memberikan kontribusi apa pun dalam sistem demokrasi. Pahit memang, namun dalam sistem pemilihan atau voting, sisi gelap demokrasi akan terlihat bahwa mayoritas akan selalu menang atas minoritas. Tapi paling tidak, sistem demokrasi masih memperbolehkan semua orang untuk bersuara dan berpendapat sehingga demokrasi masih menjadi acuan utama sistem politik dunia.
Abstensi bisa saja memengaruhi hasil suara dalam proses pemilihan umum di Indonesia, bila pilihan tersebut dijadikan lawan calon dalam bentuk kotak kosong. Hal ini diatur dalam Pasal 54D Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Kotak kosong muncul bila di daerah pilih tersebut hanya terdapat satu pasangan calon dalam proses pemilihan. Hal ini terjadi di setidaknya di 16 daerah pada pemilihan kepala daerah serentak 2018. Beberapa daerah seperti kota Makassar berhasil memenangkan kotak kosong dan menunda pemilihan kepala daerah sampai 2020.
Sederhananya, demi menjunjung kedaulatan rakyat, negara demokrasi akan menyediakan opsi di dalam mangkuk sistem--A dan B. pada akhirnya masyarakat harus tetap memilih dan kotak kosong juga tidak bisa dipertimbangkan sebagai abstain, karena kotak kosong merupakan sebuah pilihan.
Di luar kasus tersebut, abstain hanya akan dianggap sebagai bentuk anarki atau bentuk protes di luar sistem, sementara hasil pemilihan akan tetap keluar sebagai hasil yang sah. Bentuk protes kemudian akan ditinggalkan dan proses bernegara akan tetap berlangsung.
Di luar kasus tersebut, abstain hanya akan dianggap sebagai bentuk anarki atau bentuk protes di luar sistem, sementara hasil pemilihan akan tetap keluar sebagai hasil yang sah. Bentuk protes kemudian akan ditinggalkan dan proses bernegara akan tetap berlangsung.
Abstensi dan Apatisme serta Perannya dalam Hasil di Luar Nalar
Paradigma yang memayungi abstensi adalah apatisme politik. Apatisme lebih cenderung mengarah pada ketidak-mau-tahuan yang hasilnya bisa bermacam-macam, salah satunya dengan tindakan abstain. Ada dua kasus di mana apatisme menyebabkan kemenangan yang “tidak biasa”. Kasus pertama adalah Brexit.
Gerakan Brexit akhirnya berhasil membuat Inggris keluar dari Uni Eropa pada 2016 usai berlangsungnya referendum. Dari sekitar 46 juta pemilih terdaftar, hanya 33,6 juta yang memilih, dengan selisih suara menang 1,2 juta. Jumlah pemilih terdaftar yang abstain mencapai 28 persen atau tidak kurang dari 13 juta orang. Perdana Menteri David Cameron kemudian mengundurkan diri.
Beberapa hasil riset-riset terkait referendum itu menunjukkan bahwa pemilih terbanyak adalah tidak begitu berpendidikan, kebanyakan berasal dari kalangan buruh. Media-media seperti BBC, Independent, dan Financial Times UK juga menerbitkan beberapa artikel tentang penyesalan pemilih abstain yang juga dikenal dengan istilah “Bregret”, namun semua sudah terlambat.
Kasus apatisme lain yang cukup mengejutkan belakangan juga bisa dilihat dalam menangnya Donald Trump dalam pemilihan presiden AS pada tahun yang sama, 2016. Partai-partai kecil yang pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak pernah memperoleh banyak suara kali ini mendapatkan perolehan signifikan. Libertarian memperoleh 3 persen suara, dan Green Party mendapat 1 persen total suara, atau tiga kali lipat dari pilpres sebelumnya. Bila para swing voters tersebut tetap memilih Partai Demokrat di negara bagian Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania yang berubah merah dengan agregat di bawah 0,2-0,8 persen, maka hasil akhir pemilihan presiden tentu akan berbeda. Hal tersebut membuat hilangnya 46 suara electoral college yang turut mempengaruhi menangnya partai Republikan, padahal Hillary Clinton memenangkan suara populer (jumlah suara kasar) dengan agregat lebih dari 1,3 juta suara.
Hipotesis dari banyak pengamat politik menunjukkan, apatisme menimbulkan banyak hasil yang tidak rasional. Sekarang rakyat Amerika Serikat dipertanyakan kredibilitas politiknya karena telah memilih seorang misoginis yang mengabaikan lebih dari satu tuntutan hukum pelecehan seksual terhadap perempuan. Sentimen serupa juga muncul pada perilaku politik masyarakat Inggris yang kini dipertanyakan.
Pilihan yang tersedia
Menyarankan masyarakat sipil untuk apatis adalah tindakan politik yang kurang bijak. Pada sebuah kuliah mengenai demokrasi yang pernah saya ikuti pada 2014, muncul pertanyaan di benak saya, “Bila mayoritas selalu menang, di mana posisi kaum marginal?” Di sini kaum minoritas harus berpindah ke inti demokrasi yang lain, “sistem demokrasi yang memperbolehkan semua orang untuk bersuara dan berpendapat”. Memang terdengar klise untuk choose the lesser evil, namun menjadi golput dalam pilpres 2019 tidak akan memberikan solusi. Golput dan apatis terhadap situasi politik justru bisa menimbulkan masalah yang lebih besar.
Kita perlu bersuara dan bertanya tentang nasib kaum minoritas pada kanal diskusi politik yang disediakan. Mengamati atau ikut mengkritik keras pilihan para calon presiden dan wakil presiden tentang isu terkait kaum marginal melalui media, atau bahkan turut bertanya dalam debat calon presiden adalah pilihan terbaik yang tersedia pada saat ini. Karena permasalahan kaum marginal tidak akan secara ajaib selesai di saat presiden baru terpilih di 2019 nanti. Pemilihan umum bukanlah tiket emas yang kita dambakan.
Saya yakin banyak penggiat budaya pop queer yang mengingat frasa Tyra Banks pada salah satu episode America’s Next Top Model, “I was rooting for you, we were all rooting for you! How dare you ?!”. Bagaimana nanti kalau kelompok golput memprotes presiden terpilih? Maka frasa tersebut bisa saja dikembalikan oleh presiden dengan dramatis, “You did not even vote, how dare you criticize the government?!”.
Sulit memang untuk terus berdiri di sisi yang tidak mainstream dan harus selalu menyesuaikan. Namun kita tinggal di dalam sebuah sistem, maka sebaiknya kita ikut aktif dalam proses politik untuk memenuhi hak dan kewajiban kita sebagai warga negara untuk menghambat terjadinya hasil yang buruk terhadap bangsa ini. Karena pergerakan setelah pencegahan setelah pengambilan suara seperti ‘Bregret’ hanya akan menjadi omong kosong belaka. Saya dengan tegas mengajak teman-teman untuk menghindari hal tersebut, supaya kemungkinan terburuk dapat diminimalisir.
Arie Raditya adalah akademisi Hubungan Internasional dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, penggiat lingkungan hidup, kesejahteraan hewan dan budaya queer populer. Aktif menyalurkan apresiasi dengan menjadi penampil panggung dan tubir twitter.
Comments