Menjadi perempuan di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Untuk melakukan hal sederhana seperti berjalan di ruang publik tanpa menghadapi pelecehan saja terasa sulit. Apabila terjadi pelecehan, perempuan cenderung disalahkan dengan alasan baju yang dipakai. Pelecehan seksual di jalan menjadi hal yang lumrah dihadapi oleh perempuan Indonesia setiap harinya. Belum lagi kekerasan seksual yang dialami perempuan, baik di ruang publik dan tempat kerja.
Rendahnya pendidikan sedari dini mengenai edukasi seks, pemahaman mengenai rape culture atau budaya pemerkosaan, pendidikan mengenai kesetaraan gender, serta banyaknya kultur patriarki atau machoisme dan stereotip bahwa perempuan harus tinggal di rumah adalah beberapa alasan kenapa pelecehan atau kekerasan seksual masih kerap terjadi.
Yacko, seorang rapper yang juga seorang dosen UniSadhuGuna International College di Jakarta, menginisiasi kampanye “Hands Off” sebagai bentuk perlawanan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di jalan.
“Saya pribadi juga pernah mengalami pelecehan seksual di jalan dan saat manggung. Saat bersepeda menuju kantor, paha saya pernah disentuh oleh orang yang tidak dikenal di bajaj. Kadang kalau lagi jalan di trotoar juga suka ada yang bersiul menggoda. Selain itu saat manggung dan melakukan crowdsurfing, bagian dada dan bokong diremas oleh penonton. That was just disgusting!,” ujar Yacko dalam wawancara surel.
Menurut Yacko, banyak orang yang masih beranggapan bahwa hal tersebut wajar dan harus dimaklumi karena dianggap sebagai candaan.
“Apa yang orang anggap normal ini tidak benar. Ini salah! Ini bukan lelucon dan ini tidak lucu! Bukan karena baju yang kita pakai, dan kita bukanlah objek seksual,” tuturnya.
Anthem Perlawanan terhadap Pelecehan Seksual
Untuk mendukung gerakan ini, Yacko akan merilis single “Hands Off” sebagai anthem perlawanan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di jalanan. Yacko menjelaskan bahwa lagu ini dibuat dengan tujuan sebagai bagian dari gerakan dan melanjutkan tongkat estafet dari teman-teman seperti Mari Jeung Rebut Kembali, Bersama Project, Hollaback Jakarta dan Lentera ID yang sudah lebih dahulu bersuara mengenai isu ini.
Dalam kampanye ini, Yacko mengajak dan mengumpulkan 21 perempuan dengan beragam latar belakang dalam pembuatan video Hands Off. Mulai dari koki, penyunting film, koreografer, penari Legong, musisi, aktivis dan masih banyak lagi.
Meskipun lagu ini berbahasa Inggris, Yacko berusaha menggunakan bahasa tubuh yang mudah dimengerti untuk melambangkan “Hands Off”, yaitu dengan mengedepankan kedua tangan yang kemudian di tarik kembali sebagai isyarat jangan sentuh atau ganggu aku.
“Di luar kendala bahasa, sebenarnya banyak sekali pelaku pelecehan atau kekerasan seksual yang mahir berbahasa Inggris dan this song is just perfect for them. Selain itu, saya juga berharap bahwa lagu ini tidak hanya ditujukan untuk pendengar di Indonesia, tapi juga all over the world karena street and sexual harassment can happen to anyone, anywhere and anytime,” tuturnya.
Sementara ini, lirik lagu sudah tersedia di Youtube comment. Selanjutnya, Yacko berencana untuk menggunakan subtitle dalam video “Hands Off”.
Yacko mengungkapkan bahwa melalui lagu ini, ia ingin menyampaikan pesan bahwa kita tidak bisa menerima pelecehan jalanan dan seksual lebih lama lagi. Dalam lagu ini pun, Yacko ingin mengajak perempuan untuk bersama-sama berani melawan, bersuara dan berbagi mengenai pelecehan seksual.
“One thing is they are not alone. Karena banyak korban yang diam karena merasa takut dan sendirian. Perlawanan ini harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh gender dari ranah personal, komunitas dan juga negara,” ungkapnya.
Ia pun menyatakan keinginannya melalui lagu ini untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat agar berani membantu korban pelecehan tanpa takut mengalami persekusi.
Selain itu, Yacko juga berharap akan munculnya aksi-aksi yang melanjutkan misi “Hands off”. Yacko sudah mengajak musisi-musisi lain untuk meremake lagu ini.
“Kartika Jahja adalah salah satunya dan saya juga akan mengajak laki-laki sehingga nantinya dari lagu-lagu tersebut akan kita coba rilis CDnya. Keuntungan dari penjualan CD tersebut akan didonasikan kepada Women Crisis Center,” imbuhnya.
Shera Rindra, salah satu partisipan dalam kampanye Hands Off, ikut menyampaikan keresahannya akan kultur pelecehan seksual.
Menurut Shera, saat ini masih banyak orang yang memaklumi pelecehan seksual, menganggapnya sebagai masalah sepele dan “biasa” saja karena sering terjadi.
“Banyak orang yang masih melihat kekerasan seksual terjadi karena salah korbannya. Berbagai bentuk penyalahan pada korban, membuat banyak orang lupa pada kejahatan yang sudah dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual. Lupa bahwa seharusnya yang ditunjuk dan disalahkan adalah si pelaku yang melakukan tindakan kekerasan,” ungkapnya.
“Negara juga belum memberikan sikap yang tegas dengan kebijakan yang memberikan keadilan pada korban, terlihat dari bagaimana pemerintah mengulur-ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal-hal itulah yang membuat budaya perkosaan semakin langgeng,” tambahnya.
Namun, di sisi lain, Shera juga melihat semakin banyak orang atau pihak yang tidak sepakat dan semakin gerah pada kultur tersebut. Sudah banyak yang ikut bersuara dan melakukan sesuatu dengan caranya masing-masing untuk menghentikan budaya perkosaan dan budaya kekerasan lainnya.
“Saya berharap semakin banyak orang yang terbuka matanya bahwa masalah kekerasan seksual adalah masalah kita bersama, bukan hanya menjadi masalah perempuan saja. Saya berharap semakin banyak laki-laki yang sadar bahwa perempuan juga manusia yang memiliki hak serta nilai yang sama dengan mereka, bukan sebagai objek seksual atau objek untuk ditaklukkan,” ujarnya.
Shera menambahkan harapannya melalui lagu “Hands Off” agar dapat memberikan semangat dan kekuatan untuk bangkit bagi para penyintas kekerasan seksual, sebagaimana lagu tersebut telah menyemangati dirinya.
Baca tulisan Camely tentang bagaimana mengelola keuangan personal dan follow @bunnnicula di Twitter.
*Photos by Vinodii
Comments