Women Lead Pendidikan Seks
February 03, 2022

High Heels: Dulu Milik Lelaki, Kini Diseksualisasi

Sepatu yang diasosiasikan milik perempuan ini awalnya ternyata dipakai pasukan berkuda Persia dan bangsawan laki-laki.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Share:

Ternyata, sebelum identik dengan perempuan, high heels lebih dulu populer untuk laki-laki. Bukan cuma laki-laki biasa, tapi mereka para bangsawan, bahkan pasukan berkuda.

Pada abad ke-9, pasukan berkuda asal Persia menambahkan hak tinggi di sepatu bot mereka untuk menopang kaki pada sanggurdi. Fungsinya untuk membantu menjaga keseimbangan tubuh saat mereka memanah dan menembak. Sejak saat itu, sepatu hak tinggi atau yang kini disebut heels, melambangkan kekuatan, kecakapan militer, tingginya kelas sosial, dan memiliki selera fesyen yang baik.

Sepatu itu kemudian naik pangkat, ketika Raja Louis XIV menjadi sosok paling terkenal di masanya yang menggunakan heels. Ia dianggap merepresentasikan maskulinitas. Dalam catatan Google Arts & Culture, Raja Louis XIV dikenal sebagai “King of Heels” dan menyatakan hanya bangsawan yang diperkenankan memakai sepatu tersebut. Di bawah pemerintahannya, fesyen menjadi simbol privilese dalam berpolitik.

Kuasa pemakainya dinilai berdasarkan tinggi dan seberapa pekat warna merah pada sepatu. 

Baca Juga: Sejarah 'Makeup': Lelaki Juga Pakai Gincu dan Bedak

Baru pada abad ke-16 perempuan mulai mengenakan heels. Tren itu dimulai Ratu Perancis Catherine de Medici yang ingin kelihatan lebih tinggi di hari pernikahannya. Banyak perempuan mengikuti sang ratu, yang akhirnya memakai platform shoes berhak tinggi, mencapai 60 sentimeter.

Padahal, menurut podiatris dan sejarawan sepatu Cameron Kippen, sepatu itu berisiko membuat perempuan terjatuh, bahkan menyebabkan keguguran pada perempuan hamil.

“Supaya lebih aman, para pembuat sepatu mengukir bagian depan dan membuat haknya lebih tinggi,” kata Kippen kepada ABC Australia.

Fashion Item dan Diberi Gender

Sejak abad ke-18, terdapat perbedaan signifikan pada model heels laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung lebar dan kokoh, sedangkan perempuan berbentuk lebih lancip seperti yang digunakan saat ini.

Perbedaan itu mencerminkan konstruksi sosial yang mulai memetakan fesyen berdasarkan gender. Hal-hal yang dianggap maskulin dilekatkan ke koridor laki-laki, sementara yang feminin dilekatkan pada perempuan. Masa itu, laki-laki mulai mengenakan pakaian yang lebih praktis.

Inovasi heels yang terus berubah, ternyata dianggap tidak rasional dan praktis buat pria. Alhasil, sepatu hak tinggi dianggap konyol dan tidak maskulin, sehingga laki-laki berhenti mengenakannya.

Baca Juga: Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan

Meskipun demikian, sebagian laki-laki masih mengenakan English silk shoe, sepatu berhak rendah berpita besar, untuk dikenakan dengan gaun pengadilan. Atau Hessian boot yang melengkapi celana pantalon, maupun yang dipakai para koboi.

Kemudian pasca-Perang Dunia, sepatu hak tinggi dalam industri fesyen Barat semakin berkembang melalui film dan fotografi, terutama heels dengan model tumit dan ujung kaki terbuka berwarna cokelat dan putih.

Penelitian Paul Morris, dkk, dalam High Heels are Supernormal Stimuli: How Wearing High Heels Affects Judgements of Female Attractiveness (2013) bahkan mencatat, perubahan fungsi heels di dunia kerja. Ia mulai dilihat sebagai bagian dari seragam kerja perempuan yang ingin dianggap profesional. 

Sementara di dunia fesyen, heels dipotret sebagai ikon yang tak boleh dilepas perempuan jika tak ingin dianggap fashionable, karena memberi efek kaki jenjang pada pemakainya.

Heels makin populer ketika  bintang-bintang besar seperti Marilyn Monroe dan Rita Hayworth mengenakannya di film-film era itu. Latas makin beken ketika stileto, ciptaan desainer asal Prancis Roger Vivier dan André Perugia, menjadi fesyen item wajib yang dimiliki perempuan di 1990-an.

Heels yang Diseksualisasi

Ketika pornografi mulai disebarkan melalui kartu pos, perempuan tampil tanpa busana dan berpose dengan sepatu hak tinggi. Elizabeth Semmelhack, direktur dan kurator senior di Bata Shoe Museum Toronto, kepada BBC menyebut, abad 21 adalah era di mana heels mulai diasosiasikan sebagai aksesoris erotis perempuan.

Baca Juga: ‘Shoes in Silence’: 500 Jejak Awal The Body Shop Indonesia Dorong #SahkanRUUPKS

Selain di kartu pos, heels yang jadi salah satu fashion item yang tak pernah lepas dari model sampul majalah Playboy juga punya peran. Kebutuhan male gaze dalam media itu akhirnya turut berperan dalam proses heels yang diseksualisasi bersama perempuan, yang dianggap sebagai pemakai utamanya.

Pada 2013 desainer sepatu Christian Louboutin, membuktikan proses seksualisasi heels itu ketika mengatakan kepada fotografer Garance Doré, bahwa sepatu berhak tinggi membuat perempuan berjalan lebih lambat, memberikan waktu lebih banyak bagi laki-laki untuk menatapnya.

Ini bukti bahwa desain yang dirancang laki-laki sering kali mengutamakan estetika dan melupakan fungsi, serta kenyamanan perempuan dalam menggunakannya. Padahal ada kebanyakan merk high heels ternama, dirancang oleh desainer laki-laki, seperti Steve Madden, Jimmy Choo, Stuart Weitzman, dan Manolo Blahnik.

Tapi, ketika gagasan tentang “fashion has no gender” makin populer di industri fesyen, fungsi heels juga turut berubah. Ia tak lagi cuma milik perempuan. Banyak jenama raksasa fesyen mulai memproduksi sepatu berhak tinggi untuk semua gender. Mungkin, yang belum terlalu berubah adalah kenyataan bahwa heels adalah salah satu fashion item, yang membuat pemakainya—tak peduli apakah ia seorang prajurit, bangsawan, model, perempuan, atau Harry Style sekalipun—bisa merasa powerful.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.