Sejak kecil, saya melihat orang tua saya memberikan perlakuan yang berbeda kepada kakak perempuan saya, si sulung, dan saya, si bungsu. Dan saya amati, persoalan ini juga terjadi di banyak keluarga lain.
“Ambilkan handuk untuk adikmu yang ada di pintu kamar mandi, ya, Nduk!” ujar Ibu kepada Kakak. Waktu itu saya masih kelas 1 SD, tapi ingatan itu masih melekat kuat.
Kemudian Ibu menyuruh Kakak untuk membersihkan seisi rumah, tanpa meninggalkan debu yang hinggap di perkakas rumah. Kakak tidak memberikan perlawanan sedikit pun, ia mengerjakannya dengan tekun dan teliti. Dari segi karakter, Kakak sejak dulu memang cenderung pendiam dibandingkan dengan saya, yang lebih aktif dan suka bergerak ke sana ke mari.
Masih teringat jelas pula di benak saya bahwa sejak saya hampir lulus SD, Kakak sering diajak bicara serius tentang hal-hal yang perlu dilakoninya di masa depan. Ya, kuliah atau kerja. Masa itu bisa dibilang krisis moneter untuk keluarga saya. Orang tua harus membagi kebutuhan pendidikan kedua anaknya dan yang lainnya.
Kakak kemudian tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan karena dua alasan. Pertama, tentu karena alasan biaya. Ibu tidak cukup punya uang untuk menyekolahkan kami berdua. Jadi dana dialokasikan untuk saya, yang jadi tumpuan Ibu untuk berkuliah dan memperbaiki segalanya. Kedua, karena dia perempuan dan dikhawatirkan pada masa itu banyak tindak kejahatan jika harus sekolah di luar kota. Pemikiran orang tua semacam itu tidak bisa dengan mudah dikalahkan.
Baca juga: Sebuah Penghargaan kepada Kakak Perempuan Saya
Akhirnya kakak memutuskan untuk bekerja di salah satu koperasi simpan pinjam di kampung. Ternyata tuntutan untuknya tidak berhenti sampai di situ saja. Ada banyak ocehan yang memaksanya menikah, mengingat dia hidup di desa, ditakutkan akan jadi perawan tua. Sementara itu, dia harus bisa membagi gaji bulanan dengan adik dan kebutuhan hidup lainnya, serta harus bisa membagi waktu dengan kehidupan tanggung jawabnya sebagai perempuan di rumah.
Situasi sejak saat itu sampai sekarang ternyata masih sama. Para kakak selalu dibiarkan mengalah dan diperlakukan berbeda, tidak hanya di lingkungan rumah, tapi di dalam budaya masyarakat.
“Namanya juga masih anak-anak. Kamu belakangan, ya, biarkan adikmu dulu.”
Mungkin bisa dikatakan saya terlalu egois untuk bisa melihat realitas kehidupan dalam keluarga saya. Padahal Kakak boleh dibilang selalu mengalah dalam semua hal yang berkaitan dengan saya pada masa kecil. Tak lupa juga Kakak secara tidak langsung harus diforsir untuk memahami keadaan, dan memenuhi segala suruhan dan pilihan orang tua.
Sebenarnya semenjak saya sadar besarnya tuntutan bagi anak pertama, saya tidak selalu setuju atau mau menang dengan segala asumsi yang diberikan terkait posisi dalam keluarga. Bagi saya, kalau saya harusnya tidak mengambil bagian dalam hal itu, ya monggo, biarkan kakak yang ambil kesempatan itu, bukannya saya terus yang dipilih.
Selain itu, saya melihat ada gangguan emosional dalam diri Kakak, yang dituntut sempurna dalam segala hal agar adik dan teman-teman yang lain bisa meniru hal-hal baik untuk ke depannya.
Baca juga: Kartini Sebagai Kakak Perempuan Panutan
Padahal anak sulung juga manusia. Tidak semua kesempurnaan bisa digapainya begitu saja. Rasanya semua beban sudah tertumpuk di bahu. Mereka enggan untuk menceritakannya kepada orang tua atau orang terdekat lainnya. Lagi-lagi, anak sulung dituntut untuk bisa selalu bersikap tenang dan dewasa. Tuntutan-tuntutan itu hadir dengan dalih agar mereka bisa mengontrol permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks yang akan hadir dalam kehidupannya kelak. Mereka diharapkan akan jauh lebih tangguh dibandingkan yang sekarang. Anggap saja ini percobaan.
Dulu, Kakak pernah bercerita soal harapan kebahagiaannya di masa depan. Katanya, kebahagiaan orang tua nomor satu. Kakak harus membahagiakan mereka sebelum ajal menjemput. Lalu, saya berpikir, apakah menjadi anak pertama juga harus mengorbankan kebahagiaan utamanya dengan cara yang sedemikian sakitnya? “Sakit” dalam arti memenuhi konstruksi sosial dan tuntutan-tuntutan yang turut menyertai di dalam keluarga.
Kebebasan menjadi terkekang, baik kebebasan pikiran, emosional, dan yang lainnya. Sungguh miris jika semua anak sulung di dunia harus merasakan kepahitan hal semacam itu. Anak sulung, khususnya perempuan, menghadapi standar ganda yang mempunyai tafsiran beraneka ragam di dalamnya, baik positif atau negatif semuanya tercakup jadi satu.
Entah, menjadi anak sulung bisa dikatakan privilese setiap orang atau tidak, tergantung kita semua yang melakoninya. Sebuah takdir, kita tidak bisa memilih mau dilahirkan dengan kondisi anak pertama atau terakhir.
Yang terpenting menurut saya, semuanya harus sesuai dengan porsi masing-masing. Harus ada kesetaraan antarmanusia dan hak serta tanggung jawab di dalam keluarga. Tidak saling membebankan satu dengan yang lainnya, tapi bersinergi dalam satu kesatuan keluarga yang mampu mendobrak budaya patriarki dan feodal yang masih mengakar.
Comments