Umur Ibu 54 tahun, dan belum pernah sekalipun menerima gaji dari hasil kerja formal. Ayahnya meninggal saat Ibu bahkan belum berusia 10. Sejak kecil, Ibu hanya tahu membantu ibunya mengurus usaha toko bangunan. Ia juga akan selalu bangun pagi sekali untuk membuat es potong yang dijajakan di sekolah. Ibu tak sempat punya cita-cita mencicipi pendidikan di universitas di kota, mengembangkan pemikiran terbaru tentang politik internasional, atau bertamasya ke negara empat musim di masa liburan.
Bagi Ibu dan keenam saudara perempuannya, doa terbaik yang bisa mereka panjatkan adalah dipertemukan dengan jodoh mapan, berpendidikan, dan bisa menafkahi mereka kelak. Ternyata nasib ibu lumayan mujur, ia bertemu dan menikah dengan Bapak, seorang sarjana yang kemudian bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Kepercayaan kuatnya terwujud.
Memiliki akses terhadap gaji yang layak, mampu membeli sebuah rumah mungil, dan membesarkan empat anak-anak. Cita-cita Ibu malah terjadi melebihi ekspektasinya.
Sejak itu, Ibu berhenti punya cita-cita. Masa kecilnya serba terbatas, sehingga ibu tidak terlatih punya keinginan megah. Jika ditanya cita-cita waktu kecil, dulu Ibu selalu tertawa dan bilang, “Ah, Ibu ketemu Bapak saja sudah syukur.”
Baca juga: Gender Lens Investing Berdayakan Perempuan, ‘Berkah’ untuk Investor
Buatnya, menjadi ibu rumah tangga adalah given. Pendidikan dan ambisi yang serba seadanya akhirnya menjauhkan ibu dari angan untuk bekerja di sektor formal. Ibu tidak mengeluh, dan Bapak yang berasal dari keluarga Jawa, merasa keadaan itu memang sudah sepatutnya—alias, mereka percaya bahwa memang tugas suami yang pergi mencari nafkah, sedangkan istri mengurus anak-anak di rumah.
Keempat anak Ibu tumbuh sehat dan pintar, semuanya berkuliah di universitas dengan akreditasi baik dan memiliki kegiatan di luar rumah. Semuanya pun tumbuh dengan cita-cita besar.
Tumbuh dengan realitas itu, saya sempat bertanya-tanya kenapa Ibu hanya diam di rumah, saat kami—anak-anak dan suaminya—sibuk dengan kegiatan masing-masing di luar rumah dari pagi sampai malam.
Dalam beberapa kesempatan, kesibukan yang sepertinya timpang itu mengundang situasi awkward. Misalnya, situasi ketika Ibu cuma tiduran di sofa, menonton acara televisi siang, saat kami keteteran tugas sekolah. Ibu juga suka marah ketika kami liburan di hotel, karena salah satu anaknya membuka laptop untuk bekerja atau mengerjakan tugas. Salah satu kejadian “lucu” lainnya, ibu juga kesal kalau kami pakai bahasa Inggris karena dia tidak mengerti.
Kami juga sering kesal pada Ibu, karena merasa cemburu pada nasib Ibu yang tidak perlu capek bekerja di luar rumah, tetapi tetap menerima uang bulanan. Pekerjaannya hanya memasak sambil mendengar ceramah rohani dari internet. Kami merasa Ibu tidak pernah benar-benar “bekerja”, dan terselamatkan dari kewajiban menyusahkan itu.
Padahal, tentu saja tidak! Ibu tetap bekerja, dan kami keliru. Kami merendahkan Ibu dan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.
Ibu bangun pagi dari jam tiga subuh untuk menanak nasi dan melunakkan daging, lalu masih terjaga hingga matahari terbit untuk membangunkan kami dan mengurus menu makan hari itu, persediaan air mandi, dan segala tetek-bengek kecil, termasuk urusan memastikan cangkang telur tugas prakarya saya ketika SD siap dibawa ke sekolah.
Ketika rumah sudah kosong, ia akan membersihkan seluruh sudut dan memastikan meja belajar kami tetap rapi dan kering, siap diduduki ketika kami pulang dan mengerjakan soal latihan tes masuk perguruan tinggi. Saat kami pulang satu per satu, semua makanan sudah hadir di bawah tudung saji di meja makan.
Malam hingga dini hari, Ibu tetap harus siaga karena mungkin saja anak bungsunya rewel dan minta pindah tidur ke kamarnya. Kalau anaknya yang lain masih bangun dan menemukan listrik mati, kecoa terbang, atau gerakan mencurigakan di luar pagar, sudah pasti Ibu yang akan kami bangunkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, Ibu bekerja 24 jam—menggunakan tidak hanya otak, tetapi juga seluruh perasaannya, memastikan bahwa kami mendapat perhatian cukup.
Namun, pekerjaan Ibu yang tidak bisa dibilang ringan ini malah saya apresiasi sebagai pekerjaan yang memang dibutuhkan belaka. Tumbuh dan besar dalam alam patriarki, bikin saya tak pernah mempertanyakan kenapa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Ibu dan ibu rumah tangga lainnya harus dilakukan tanpa pamrih dan seikhlasnya?
Apa betul mengurus rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan? Atau, kalau boleh meminjam anekdot yang populer belakangan ini, apa betul ibu-ibu kerjaannya cuma bisa menggoreng-goreng saja?
Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi
Kerja-kerja yang Kabur dalam Kapitalisme
Mempelajari gender, terutama aliran feminisme Marxis, membuat saya menyelami pengalaman Ibu lebih dalam lagi. Belakangan, saya tahu bahwa sistem kapitalisme tempat Bapak dan anak-anaknya bekerja, ternyata tepat berdiri di atas punggung orang-orang seperti Ibu.
Dalam sistem ekonomi kita hari ini, alias kapitalisme, yang dianggap kerja atau diberi nilai sebagai pekerjaan adalah hal-hal yang dianggap “produktif” atau sesuatu yang langsung berkontribusi terhadap ekonomi. Oleh kapitalisme yang berkawin dengan patriarki, pekerjaan-pekerjaan itu biasanya diasosiasikan dengan laki-laki. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang bersifat reproduktif, seperti pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan ibu rumah tangga, akan diasosiasikan dengan perempuan.
Dalam How Not to Skip Class: Social Reproduction of Labor and the Global Working Class, Tithi Bhattacharya menjelaskan miskonsepsi pembagian kerja ini terjadi karena kapitalisme menyembunyikan lapisan-lapisan eksploitasi dan dominasinya. “Kelas pekerja secara sempit diasosiasikan dengan pekerjaan formal dan ekonomi sebagai transaksi eksklusif antara tenaga dan gaji,” tulisnya.
Waktu di luar “ekonomi” ini yang sering kali lewat dari definisi sempit bekerja. Padahal, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, atau yang populer disebut pekerjaan reproduktif, memastikan lingkungan rumah cukup kondusif untuk para pekerja ini mengisi kembali bahan bakar fisik dan emosional mereka untuk bekerja lagi di keesokan harinya. Lokasi utama terjadinya pekerjaan ini adalah rumah dan keluarga, dua hal yang secara disproporsional ditanggung oleh perempuan.
Baca juga: Solidaritas Perempuan Bentuk Ekosistem Pendukung untuk Perempuan Pengusaha
Eksploitasi tak kelihatan alias kabur ini yang dimanfaatkan kapitalisme untuk bikin kelas pekerja kelabakan menemukan titik bersatu.
Bhattacharya (2017) menyebut pekerjaan ibu rumah tangga sebagai sirkuit dua proses produksi: yaitu kegiatan yang tidak secara langsung menambah nilai kapital, tetapi membangun dan mempertahankan populasi pekerja melalui pemenuhan ‘kebutuhan sosial’ mereka. Oleh karenanya, Ibu rumah tangga tidak berada di luar lingkaran kapitalisme. Kerja keras mereka justru telah diapropriasi sedemikian rupa demi keberlangsungan kapitalisme.
Tulisan ini tidak bertujuan mengagungkan pekerjaan ibu rumah tangga secara buta—sebaliknya, saya mengecam sistem yang telah memaksa perempuan tumbuh dewasa tanpa cita-cita tinggi. Sistem penuh kekerasan yang menaruh beban produksi tanpa imbalan pada perempuan.
Pun tujuan saya menulis artikel ini, sebenarnya sebagai surat cinta untuk Ibu dan mereka yang terpaksa menerima peran ini. Saya menyesal sekali pernah merendahkan pekerjaannya, dan ingin meminta maaf.
Meskipun tidak kenal Marx ataupun Bhattacharya, Ibu juga sedang melakukan perlawanan untuk bertahan dalam roda tajam kapitalisme yang sama. What is personal indeed is international. Sistem kapitalisme telah merangsek garis hidup Ibu, ibunya Ibu, dan ibunya ibunya Ibu. Saya ada di garis selanjutnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments