Women Lead Pendidikan Seks
May 10, 2022

Profesor Rawan Kena Hoaks, Lalu Apa Solusinya?

Selain pembumian sains, budaya rasionalitas juga harus jadi fokus utama pendidikan tinggi. Ini penting dilakukan mengingat profesor pun kerap jadi korban hoaks.

by Ahmad Junaidi
Issues
Share:

Tahun lalu saya menulis artikel di The Conversation berjudul “Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat”. Tulisan ini secara garis besar bermaksud mengajak akademisi lebih banyak menulis di media populer.

Sayangnya, mereka terbiasa menggunakan ‘bahasa langit’ dari artikel ilmiah yang sulit diakses masyarakat. Miskinnya pembumian sains dapat memberi panggung pada media oportunis yang sarat dengan hoaks dan misinformasi.

Tapi, yang luput saya tuangkan dalam artikel tersebut adalah bahwa bertambahnya komunikasi sains harus disertai dengan rasionalitas, kebenaran ilmiah, dan literasi media. Ini penting agar komunitas akademik terbebas dari hoaks.

Kita bisa melihat dalam beberapa tahun belakangan muncul berbagai akademisi yang menyebarkan misinformasi.

Pada 2018, Tara Arsih, seorang dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) menyebarkan hoaks tentang terbunuhnya seorang muazin (penyeru azan) di Jawa Barat, sebelum akhirnya diberhentikan kampusnya. Akhir tahun lalu, ada juga Henry Subiakto, seorang profesor di Universitas Airlangga (UNAIR), yang menyebarkan foto dengan narasi perang saudara di Irak yang juga salah.

Hal ini layak membuat kita khawatir akan lunturnya dua asas penting pendidikan tinggi yang tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2012, yakni kebenaran ilmiah dan penalaran.

Baca juga: Bagaimana Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual

Banyak Informasi Tak Berarti Makin Rasional

Sejarah menunjukkan semakin tersebarnya banyak informasi, tidak serta merta memperbaiki rasionalitas masyarakat.

Disrupsi informasi pertama muncul saat Johannes Guttenberg memantik revolusi literasi dengan menciptakan mesin cetak pada abad ke-15. Buku menjadi lebih mudah diakses dan mengubah lanskap akademik secara drastis. Lebih banyak orang yang bisa membaca dan kampus bisa mengakselerasi budaya akademik secara lebih intens.

Akan tetapi, semakin tersebarnya informasi juga semakin memperbesar peluang tersebarnya misinformasi dan disinformasi.

Malleus Maleficarum (‘Palu Para Penyihir’) yang ditulis pada 1486 – beberapa dekade setelah mesin cetak – menjadi buku terlaris kedua setelah Injil dan berperan dalam meningkatnya kebencian dan pembunuhan terhadap perempuan yang dianggap penyihir. Buku ini menunjukkan bahwa gencarnya revolusi informasi tidak selalu berbanding lurus dengan tercerahkannya publik.

Ratusan tahun setelahnya, misinformasi masih jadi masalah, bahkan di dalam kelompok yang dianggap punya otoritas dalam penyebaran informasi, yakni komunitas akademik.

Menurut klaim mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek), Hilmar Farid yang merujuk penelitiannya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2015, banyak doktor dan profesor menjadi korban hoaks.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga menyebutkan bahwa Dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah profesi yang terbanyak dilaporkan sebagai penyebar hoaks dan ujaran kebencian.

Pada 2020, tim peneliti Saiful Mujani dan Nicholas Kuipers yang menyurvei lebih dari 14.000 responden menemukan hal serupa. Persentase mahasiswa atau lulusan kuliah yang percaya misinformasi lebih tinggi tiga kali lipat dari persentase lulusan sekolah dasar (SD) saat ditanyai hoaks tentang Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019.

Faktor utamanya adalah karena semakin banyak informasi di media sosial. Semakin tinggi pendidikannya, dan semakin banyak terpapar di media sosial, semakin kuat polarisasi yang terbentuk dalam pandangan politiknya.

Baca juga: Beramal Itu Banyak Caranya, Termasuk Jadi Dosen Honorer

Meredam Fundamentalisme di Perguruan Tinggi

Studi 2020 dari Inggris menyebutkan, penyebab utama misinformasi bukanlah minimnya literasi digital, melainkan fundamentalisme terhadap pandangan politik atau ideologi.

Sementara, riset 2019 di Amerika Serikat (AS) pun menemukan bahwa misinformasi sangat erat kaitannya dengan dogmatisme dan fundamentalisme agama dan kepecayaan yang terlalu tinggi pada pengetahuan yang dimiliki.

Hal ini seharusnya tidak terjadi di perguruan tinggi yang diharapkan mengutamakan intelektualitas di atas identitas politis atau ideologis. Nyatanya, berbagai kajian menyebutkan bagaimana sejak dulu hingga sekarang, kampus telah menjadi arena pertempuran ideologi – dari isu politik kiri, fundamentalisme Islam, hingga hak LGBT.

Fundamentalisme ini di antara komunitas akademik menjadi penghambat sikap rasional dalam menanggapi informasi.

Di sini, membudayakan semangat berpikir rasional menjadi kunci bagi kampus untuk meredam fundamentalisme tersebut dan pada akhirnya penyebaran misinformasi. Bagaimana pendidikan tinggi dapat mulai menerapkannya?

Kampus Harus Bangun Budaya Rasionalitas

Dalam Teori Dualisme Kognisi Tingkat Tinggi, kita mengenal dua jenis sistem berpikir manusia, yakni Tipe 1 dan Tipe 2.

Tipe 1 ditandai dengan cara berpikir yang cepat, otomatis, dan reaktif, sementara Tipe 2 ditandai dengan pemikiran yang lebih lambat dan reflektif. Menalar sebuah informasi secara dominan menggunakan Tipe 2 Ketimbang Tipe 1.

Saat membaca berita tentang vaksin, misalnya, pemikiran Tipe 2 akan memprosesnya pelan-pelan secara evaluatif, membedah berbagai asumsi yang kita miliki tentang vaksin, dan memutuskan untuk membandingkan beragam informasi lanjutan sebelum mengkonfirmasi kebenarannya.

Studi 2021 di Inggris menemukan, gaya berpikir rasional dan mendalam dalam Tipe 2 lebih mampu mengidentifikasi hoaks dan menolak teori konspirasi dalam wacana publik, termasuk misinformasi terkait COVID-19.

Selain mengomunikasikan sains secara lebih aktif, pendidikan tinggi di Indonesia harus membangun budaya rasionalitas khas Tipe 2 dalam menyikapi wacana dan informasi.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai wujud budaya rasionalitas ini.

Pertama, kampus bisa memfasilitasi ruang perdebatan dan diskusi dengan keterbukaan tanpa ada ketakutan bahwa ideologi tertentu akan “merusak” ideologi kampus atau budaya di masyarakat.

Forum seperti Oxford Union di Oxford University, Inggris, bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus Indonesia agar secara rutin melakukan latihan argumentasi secara terarah dan terorganisasi.

Oxford Union selama ini telah menggelar banyak debat – dari nasib Islam di Eropa, krisis Ukraina-Rusia, meritokrasi dan hak afirmasi dalam layanan sosial, hingga keberadaan Tuhan – dan mengundang banyak akademisi dan pejabat ternama.

Debat-debat ini disebarluaskan melalui media kampus dengan perekaman yang bagus, dan dapat membangun budaya rasionalitas tidak hanya di antara warga kampus tapi juga audiens.

Kedua, mengembangkan media sosial yang membongkar hoaks atau misinformasi yang dikelola oleh kampus, dengan kontribusi dari komunitas akademik.

Kampus dapat mendorong dosen untuk berkontribusi sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Apalagi, saat ini Kementerian Pendidikan membuka ruang untuk pelaksanaan tri dharma yang lebih beragam, tidak hanya terfokus pada publikasi akademik.

Ada berbagai insiatif serupa yang bisa menjadi contoh: The Reporter’s Lab yang dikelola Duke University di AS, ABC Fact Check dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) di Australia, FactWatch milik University of Liberal Arts Bangladesh (ULAB), hingga Factcheck.Org dari Univesity of Pennsylvania di AS.

Ketiga, mengembangkan forum digital yang bertujuan mengomunikasikan hasil penelitian para akademisinya dengan memperbanyak konten yang terkait dengan tantangan lokal.

Hadirnya wacana akademis di ranah lokal akan membantu melawan misinformasi, terutama pada isu-isu yang khas di berbagai daerah di Indonesia.

Misalnya, portal komunikasi sains di Universitas Mataram, tempat saya mengajar, dapat fokus pada mengomunikasikan penelitian pada konteks Nusa Tenggara Barat (NTB).

Langkah-langkah ini bisa membangun budaya rasionalitas di kampus sekaligus mengurangi beredarnya misinformasi di kalangan universitas. Harapannya, kampus-kampus Indonesia bisa lebih menjaga asas-asasnya, yaitu kebenaran ilmiah dan penalaran.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ahmad Junaidi adalah Dosen Universitas Mataram, PhD Candidate Monash University.