Tubuh saya mencapai tingkat paling gemuk ketika duduk di kelas dua SMA. Tiba-tiba saja berat badan saya terus-menerus naik secara drastis. Berhubung tidak ada perubahan pada pola makan, saya merasa tidak mengetahui secara pasti apa penyebab naiknya berat badan saya. Padahal saya juga sangat menyukai kegiatan olahraga. Mata pelajaran olahraga adalah salah satu pelajaran yang paling saya tunggu-tunggu. Ketika sebagian teman-teman ogah-ogahan, saya selalu bersemangat untuk bermain bola voli dan bola basket atau berlari.
Saya tidak ambil pusing dengan perubahan fisik saya. Justru ibu saya lah yang mempermasalahkannya. Ia pun mulai membanding-bandingkan. Memasuki usia ke-50, Ibu masih memiliki badan yang lencir. Mayoritas saudara-saudara perempuannya pun memiliki perawakan yang dapat dibanggakan. Maka setiap kali berkunjung ke keluarga besar dari Ibu, saya selalu menjadi bahan bulan-bulanan. Saya tidak berkomentar banyak, Ibu yang kemudian mengambil alih pembicaraan. Ia akan berkata kepada semua orang bahwa saya mewarisi postur badan khas keluarga Ayah: pinggul lebar, dan bokong serta paha yang besar. Ia terus menceritakan hal itu kepada semua sanak saudara yang mengomentari perubahan fisik saya. Sejak saat itulah, saya tidak pernah menikmati acara berkumpul bersama keluarga besar, terutama keluarga besar Ibu.
Tidak hanya ketika berkumpul bersama keluarga besar, ibu juga mengulang cerita yang sama ketika kami bertemu para kenalan. Ia terkadang memberikan komentar tambahan, “Apalagi kalau sudah menikah dan punya anak, pasti badanmu akan tambah melebar. Persis seperti saudara dan keponakan ayahmu.” Walaupun diam, saya mengutuk dalam hati. Memang apa salah saya jika aku mewarisi postur badan dari keluarga Ayah? Bukankah saya memang anak hasil perkawinan antara Ibu dengan Ayah? Semangat Ibu dalam membanding-bandingkan penampakan fisik kami terkadang membuat aku heran. Seakan rasanya ibuku yang cantik dan langsing itu tidak ingin mengakui jika saya adalah anaknya.
Saya kemudian benar-benar bertekad untuk memangkas berat badan ketika memulai hidup sendiri di Yogyakarta. Saya berolahraga lebih keras, mengatur asupan makan hingga mengonsumsi minuman suplemen. Pada akhirnya, saya berhasil menurunkan lebih dari 10 kilogram. Tapi saya sadar, hal itu saya lakukan bukan karena saya tidak menerima kondisi badan saya. Tapi karena saya ingin balas dendam.
Ketika pulang dan bertemu kembali dengan keluarga besar, seperti biasa, komentar pertama kali akan ditujukan pada masalah fisik. Tapi kali ini berbeda. Mereka mengelu-elukan perubahan saya menjadi jauh lebih langsing. Dalam hati, saya sangat menikmati komentar-komentar baru itu. Walaupun demikian, kadang Ibu masih mencari celah dengan celetukan, “Dia cuma kurus badannya saja. Bagian bawah tubuhnya masih besar, kok”. Saya tak ambil pusing dan tetap menikmati kekaguman keluarga besar saya sebagai sebuah kemenangan.
Ternyata cerita tak berhenti sampai di sini. Menyadari saya terus bertambah kurus, Ibu mengatakan saya terlihat jelek, seperti orang kekurangan gizi. Tak hanya Ibu, bahkan Ayah juga ikut campur meminta agar saya menaikkan berat badan lagi. Alhasil, komentar-komentar tidak menyenangkan semakin sering kudengar setiap kali pulang ke rumah. Hal ini menyadarkan saya pada satu hal, bahwa saya tidak akan pernah memuaskan siapa pun. Dulu orang-orang berkomentar saya terlalu gemuk. Sekarang orangtua saya menganggap saya terlalu kurus.
Sejak SMA saya sudah cukup akrab dengan pembahasan mengenai body shaming atau mengolok-olok tubuh. Kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi media membuatku semakin memahami bahwa persepsi akan bentuk tubuh ideal tidak lebih dari ciptaan industri kecantikan, iklan dan media. Persepsi kecantikan dalam media yang kental dengan budaya patriarki tidak banyak mempengaruhi saya. Justru hal yang membuatku merasa jauh lebih sedih adalah ketika orang-orang terdekat yang justru menjadi pelaku body shaming.
Sekarang, hubungan saya dengan tubuh saya tak ubahnya hubungan cinta-benci. Perubahan berat badan yang telah saya usahakan memang membuat saya merasa lebih baik. Tapi mengetahui bahwa orang lain -- termasuk orang-orang terdekat -- tidak akan pernah berhenti berkomentar negatif membuat saya tidak pernah merasa puas. Selalu ada kekhawatiran dan ketidakpercayaan diri yang saya rasakan atas tubuh saya sendiri.
Selama ini, sebetulnya saya tidak pernah membenci bentuk tubuh saya. Saya selalu senang mengagumi lekuk tubuh saya sendiri di depan kaca. Yang sekarang coba saya tekankan adalah, mungkin kata ideal tidak akan pernah tercapai ketika kita sibuk mendengarkan pendapat orang lain. Ideal adalah ketika kita bisa menerima apa yang ada dalam diri kita, mengusahakan untuk terus hidup sehat, berpikir positif, dan tidak menjadi agen body shaming terhadap orang lain, utamanya terhadap orang yang kita sayangi.
Chiki Anwar adalah mahasiswi S1 di Universitas Gadjah Mada. Jika tidak sedang mengkhawatirkan masa depannya sebagai perempuan dewasa, ia senang membaca dan menulis di blog.
Comments