Women Lead Pendidikan Seks
April 08, 2022

Jeda Saat Pacaran: Bikin Mesra atau Berujung Bubar?

Keputusan untuk ‘break’ dalam pacaran punya dua konsekuensi, antara putus atau lanjut dengan catatan.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle // Madge PCR
Share:

Memasuki tahun kedua pacaran, “Andra” merasa hubungannya berubah jadi toxic relationship. Pasalnya, laki-laki yang bekerja di perusahaan swasta itu pernah berselingkuh saat pergi ke Surabaya. Ia berteman dekat dengan salah satu teman di organisasi kampus, sedangkan sang pacar tidak menyukainya.

“Kalau sama teman kampus itu deketnya sebatas sahabat, sih, tapi dia enggak suka,” tuturnya. “Makanya gue enggak pernah ngumpul sama teman-teman.”

Jika sebagian pasangan ragu atau tidak percaya dengan istilah break, hal itu tidak berlaku untuk Andra. Menyadari hubungannya tidak sehat dan diliputi rasa bersalah, ia berinisiatif mengajak pacarnya break, guna memperbaiki diri.

“Gue enggak khawatir sama sekali, sih, karena emang pengen berubah dulu jadi lebih baik,” jelasnya, ketika ditanya mengapa ia mantap untuk jeda sejenak. Selain itu, keputusannya juga didukung kesadaran, sudah bukan waktunya bermain-main, dalam relasi romantis.

Namun, alasan break tak hanya demi memperbaiki hubungan. Sejumlah warganet di Twitter belakangan ini memperdebatkan, relasi perlu dijeda selama Ramadan supaya enggak menimbulkan dosa, dan mendapatkan pahala. Nanti bisa dilanjutkan lagi setelah Lebaran.

“Sebenernya pacaran aja udah salah ya, tapi di bulan Ramadan gini mending break dulu biar fokus ibadah. Sayang nanti puasanya. Seenggaknya berusaha meminimalisir dosa,” cuit sebuah akun.

Terlepas dari pro kontranya—juga terdapat warganet yang menganggap break di Ramadan sama juga bohong—akan lebih baik jika break dalam pacaran didasarkan pada suatu tujuan.

Baca Juga: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Haruskah Berhenti Jadi Bucin Keras Kepala?

Benarkah Break Bisa Tingkatkan Kualitas Hubungan?

Tidak sedikit orang yang mengatakan, break itu sia-sia. Sebab, ibaratnya bepergian tanpa arah, break adalah tanda tidak ada kejelasan dalam hubungan, seperti sudah di ujung tanduk tapi enggak bisa mengungkapkan keinginan sebenarnya.

Namun, pada dasarnya jeda perlu didefinisikan dengan jelas, agar tidak menjadi “pemanasan” berakhirnya hubungan. Mulai dari alasan, intensi, cara komunikasi, rencana ke depannya, hingga do’s and don'ts.

Berkaca pada Ross Geller (David Schwimmer) dalam serial Friends (1994-2004), ia tidak menjelaskan pada Rachel Green (Jennifer Aniston), apa arti break yang dimaksud.

Geller meninggalkan segudang tanda tanya dalam benak penonton, ketika ia berteriak, “We were on a break!” Apakah maksudnya memperhalus keinginan putus untuk sementara waktu—seperti yang dipikirkannya? Atau tidak bertemu satu sama lain, tetapi enggak boleh berhubungan seksual dengan orang lain, sebagaimana kesimpulan Green?

Padahal, jika dilakukan dengan tepat, break akan membawa dampak positif dalam hubungan. Dalam Verywell Mind, terapis pasangan dan ahli hubungan Kathryn Ford menyatakan, keputusan itu dapat dimanfaatkan untuk lebih terkoneksi dan fokus pada diri sendiri. Sambil mempertimbangkan, apakah relasi itu akan menjadi bagian dari masa depan.

Baca Juga: Dari Bucin Jadi Hubungan Toksik: Kenali Tanda-tandanya

“Ini bisa dilakukan kalau kamu akan memutuskan perubahan besar, dan berpengaruh pada komitmen atau keintiman hubungan,” terangnya. “Misalnya jadi lebih dekat, atau memilih putus.” 

Selain itu, mengambil jeda sejenak dalam hubungan juga dapat meningkatkan kesadaran untuk keluar dari situasi toksik, dan memperbaiki hal-hal yang tidak berjalan dengan baik.

Sayangnya, di sisi lain, break belum tentu dapat memperbaiki kondisi setiap relasi, seperti terjadi pada Andra dan pacarnya. Sekali pun awalnya mereka melakukan ini berdasarkan kesepakatan.

Selama kurang lebih dua bulan tanpa komunikasi, laki-laki 23 tahun itu mendekatkan diri dengan Tuhan, menghabiskan waktu dengan teman-teman gereja, dan olahraga. Ketika merasa dirinya lebih baik dan siap kembali berhubungan, pacarnya justru sebaliknya.

“Yang gue tahu, dia malah pergi dan chat sama beberapa cowok lain,” katanya. “Akhirnya ya putus aja.”

Lebih dari itu, ada konsekuensi lain yang akan ditanggung. Menurut Kale Monk, akademisi di University of Missouri, AS, relasi serupa Geller dan Green memiliki dampak negatif pada kesehatan mental.

“Akibatnya itu kepuasan hubungan menurun, cara komunikasinya memburuk, komitmennya berkurang, dan meningkatkan kekerasan dalam pacaran,” jelasnya dikutip Show Me Missouri.

“Bahkan berkaitan dengan gejala depresi dan kecemasan,” katanya, merujuk pada hasil risetnya, On-Off Relationship Instability and Distress Over Time in Same- and Different-Sex Relationships (2021).

Baca Juga: Awas, Obral Maaf pada Pacar Bisa Rusak Hubungan

Mempertahankan Relasi Selama Break

Sebenarnya, break dibutuhkan ketika pasangan mempertanyakan ke mana hubungannya akan berlabuh. Walaupun berakhirnya hubungan adalah mimpi buruk yang dikhawatirkan.

Ford menyebutkan, salah satu kuncinya adalah menentukan rentang waktu jeda tersebut. Menurutnya, ini perlu disesuaikan dengan kondisi relasi dan alasan melakukannya. Yang penting adalah, tetap terkoneksi dengan orang-orang terdekat yang dapat mendukung selama break. Karena umumnya, seseorang perlu menyesuaikan diri ketika menjauh dari pasangannya, dan fokus pada perasaannya.

Kemudian, tetapkan aturan yang berlaku. Apa yang akan dilakukan selama break—termasuk mengevaluasi diri dan mengikuti konseling secara individual apabila dibutuhkan, dan kesepakatan untuk berkencan atau dengan orang lain, supaya nggak dianggap micro-cheating.

Pun salah satu inti dari break adalah, merefleksikan perasaan saat sedang tidak bersama pasangan. Diharapkan, setelahnya bisa menjawab pertanyaan, “Apa yang akan berbeda dari hubungan ini?”

Konselor dan terapis hubungan Simone Bose mengatakan, yang dikhawatirkan adalah saling menjauhi satu sama lain. Terutama karena perbedaan attachment styles. Mereka yang memiliki anxious attachment lebih membutuhkan kontak fisik, sedangkan pasangannya yang avoidant attachment, lebih cepat menjauh.

Maka itu, berkomunikasi tetap direkomendasikan selama hubungan dijeda, dengan menyepakati frekuensi dan cara yang digunakan. “Kalau sama sekali nggak berkomunikasi, relasinya justru semakin nggak berhasil,” ujar Bose dilansir Cosmopolitan.

Setelah break dianggap cukup—sesuai rentang waktu yang disepakati, barulah langkah selanjutnya ditentukan. Apakah hubungan itu perlu diperbaiki, atau sebaiknya diakhiri. Apabila yang terjadi adalah yang kedua, biasanya salah satu pihak sejak awal memang ingin putus.

“Makanya coba disampaikan dengan jujur dan secepat mungkin, biar nggak terlalu bikin sakit hati,” ucap Bose. 

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.