Sampai sekarang, Hayu, 30, masih merasa takut naik jembatan penyeberangan orang (JPO) akibat percobaan penjambretan yang pernah dihadapinya 10 tahun yang lalu.
Tengah hari itu, perempuan wiraswasta yang tinggal di Bekasi tersebut sedang melintasi JPO yang menghubungkan Polda Metro Jaya dan Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, ketika seorang laki-laki menempelkan tubuhnya padanya.
“Saya jalan ke kiri, dia ikut ke kiri. Saya ke kanan, dia ikut ke kanan. Saya percepat langkah, temannya yang rupanya berdiri di dekat ujung jembatan menjulurkan kakinya sampai saya hampir jatuh,” ujarnya.
“Untung saya enggak jatuh. Saya buru-buru lari, dan masuk ke Plaza Semanggi.”
Sepuluh tahun berselang, kondisi JPO di ibu kota belum membaik dari segi keamanan. Vela, seorang karyawan swasta berusia 25 tahun, awal Juni lalu menyaksikan sendiri penjambretan di JPO yang menghubungkan halte Transjakarta Semanggi dan Bendungan Hilir.
Saat itu jam sembilan malam, memang situasinya agak sepi tapi jembatannya terang, ujarnya. Kemudian ada tiga laki-laki yang menjambret ponsel dari tas seorang perempuan di JPO itu.
“Setelah itu, saya tidak berani lagi lewat situ. Lebih baik saya lewat depan Plaza Semanggi jika ingin menuju ke arah Bendungan Hilir,” tuturnya.
Selain penjambretan, masalah-masalah lain yang kerap muncul di JPO adalah kekerasan seksual dan struktur jembatan yang ringkih. Badan PBB untuk Perempuan, UN Women, pernah melakukan penelitian pada 2017 yang menunjukkan bahwa banyak responden perempuan yang merasa khawatir ketika melewati JPO pada malam hari terutama karena risiko pelecehan seksual.
Sebagai contoh, pada 2014, media memberitakan bagaimana seorang karyawati swasta, menjadi korban pelecehan seksual dan perampokan di JPO depan gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat. Setahun kemudian, pada awal Agustus 2015, seorang perempuan lagi mengalami pelecehan seksual di Halte TransJakarta Jatipadang. Tiga bulan kemudian, perempuan RA menjadi korban pemerkosaan dan perampokan di JPO Lebak Bulus.
“Banyak perempuan responden kami yang mengatakan mereka sering merasa waswas jika melewati JPO. Artinya mereka merasa lebih rentan dan cenderung menghindari (menyeberang JPO),” ujar Iriantoni Almuna, National Programme Officer UN Women Indonesia, mengacu pada penelitian berjudul “Scoping Study: Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta pada 2017.
Fasilitas dan aksesibilitas
Data dari Dinas Perhubungan Jakarta menunjukkan bahwa saat ini ada 326 JPO di Jakarta, dengan yang terbaru selesai dibangun pada 2018 yaitu JPO Jelambar, Jakarta Barat, dan JPO Sumarno di Jakarta Selatan. Sejak 2017, penanganan masalah JPO tidak lagi di bawah Dishub melainkan Dinas Bina Marga.
Dari sejumlah JPO itu, masih banyak yang konstruksinya ringkih, dengan bagian-bagian yang patah, sudah keropos, karatan, berlubang atau hilang. Selain itu, banyak pengguna yang mengeluhkan kurangnya penerangan dan ketiadaan CCTV.
Kepala Seksi Pembangunan dan Peningkatan Jalan Tak Sebidang Dinas Bina Marga DKI Jakarta, Imam Adi Nugraha mengatakan, baru JPO di Jelambar dan Sumarno serta tiga JPO di kawasan Sudirman (Polda Metro Jaya, Gelora Bung Karno, dan Bundaran Senayan) telah dilengkapi CCTV dan lift.
“Kalau misalnya kami memasang (CCTV dan lift) itu di semua JPO, kami butuh waktu dan biaya. Jadi, kami melakukannya secara bertahap. Setidaknya untuk pembangunan JPO baru, kami pasang fasilitas lengkap,” ujarnya pada Magdalene.
Imam menambahkan, instansinya telah rutin menangani kerusakan-kerusakan minor, misalnya atap dan lantai yang bolong serta railing yang patah. Selain itu, data Bidang Pemeliharaan Dinas Bina Marga menunjukkan telah ada 18 JPO yang diperbaiki pada 2018 dan rencananya, pada 2019, instansinya akan memperbaiki 16 JPO yang mengalami kerusakan sedang dan 65 dengan kerusakan ringan.
Sementara itu, Institute For Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia menyatakan bahwa selain potensi tindak kriminal, JPO kurang menyediakan akses yang responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan seperti lansia atau disabilitas. Selain tidak ada lift, desain JPO terlalu panjang, tinggi, sempit, dan tidak memiliki landasan untuk kursi roda atau kereta bayi (ramp).
ITDP menemukan ada tiga akses JPO di Jl. Sudirman yang tingkat kemiringannya lebih tinggi daripada batas atas standar 8 persen, bahkan ada yang kemiringannya sampai 42 persen, menurut ITDP. Selain itu, ITDP pun mendapat keluhan dari para pengguna kursi roda yang tidak bisa naik ke atas JPO setinggi 5 meter tanpa bantuan orang lain.
Bukan untuk pejalan kaki
Posisi ITDP sendiri terkait JPO adalah bahwa fasilitas itu tidak memanusiakan pejalan kaki, seperti yang ditulis dalam rilis yang dikeluarkan pada 25 Juli 2018 dengan judul “Stop Membangun JPO Demi Pejalan Kaki.” Meskipun ITDP sendiri tidak meminta perobohan JPO yang sudah ada, melainkan menyarankan penghentian pembangunan JPO baru.
Deliani Siregar, Urban Planning Associate ITDP, mengatakan bahwa memindahkan pejalan kaki ke atas (JPO) atau ke bawah tanah dengan alasan keselamatan jelas-jelas tidak memanusiakan pejalan kaki.
“Pada dasarnya, kami menginginkan mobilitas manusia di ‘level satu’ atau level jalan. Artinya pembangunan kota itu bentuknya adalah penyediaan trotoar dan penyeberangan sebidang. Hal ini agar kota bertransformasi ke arah yang lebih inklusif, sehingga siapa pun bisa menikmati mobilitas yang menyenangkan dan aman,” ujarnya kepada Magdalene.
“Ketika kami dimintai pendapat mengenai perbaikan JPO Polda, GBK, dan Bundaran Senayan, kami meminta agar tiga halte ini tidak ditutup. Kami fight agar ada pelican crossing, yaitu di halte GBK dan Bundaran Senayan,” tambahnya.
Pada akhirnya, selama perbaikan ketiga JPO itu, hanya halte Polda Metro Jaya yang ditutup dan dua halte lainnya tetap beroperasi. Pengguna jalan menggunakan penyeberangan sebidang atau pelican crossing untuk menyeberang dari dan ke dua halte tersebut.
Sebelum pelican crossing itu ditutup, ITDP dan PT Transjakarta mengadakan Survei Preferensi Akses Halte Transjakarta Gelora Bung Karno dan Bundaran Senayan yang dilakukan pada tanggal 10-12 Desember 2018 kepada 773 pengguna Transjakarta di dua halte itu.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa di satu sisi ada preferensi terhadap JPO yang lebih besar daripada penyeberangan sebidang. Namun, menurut Deliani, preferensi ini tidak mutlak menggambarkan bahwa orang-orang lebih memilih JPO.
“Untuk pelican crossing, banyak yang harus dibenahi, misalnya terkait dengan terlalu cepatnya lampu hijau menyala. Jadi, orang-orang juga tetap enggak bisa menyeberang dengan aman dan nyaman karena waktu yang diberikan hanya 15 detik. Lansia tidak dapat menyeberang jalan dengan waktu 15 detik, sehingga mereka lebih memilih naik ke JPO,” katanya.
Faktor keselamatan penyeberang kemudian mendorong pemerintah provinsi DKI menutup kedua pelican crossing tersebut, menurut Imam Adi Nugraha dari Bina Marga.
“Kalau memang perlintasan (kendaraan) ada di simpang atau perempatan, mungkin lebih cocok menggunakan pelican crossing. Kalau yang Sudirman itu, perlintasannya kan ‘lurus terus’ dan tidak ada persimpangan sehingga kecepatan mobil sangat tinggi. Makanya di sana lebih bermanfaat apabila (menyeberang) menggunakan JPO,” kata Imam.
Prioritas pada kendaraan
Menurut Fani Rachmita, Communication Manager ITDP Indonesia, penutupan dua pelican crossing oleh pemprov DKI adalah akibat tekanan dari masyarakat yang masih berorientasi pada kendaraan.
“Sebenarnya, mindset masyarakat berperan besar terkait isu JPO dan pelican crossing. Kita ini negara yang sudah terbiasa dengan kendaraan bermotor yang selalu diprioritaskan. Jadi, ketika dihadapkan untuk memilih antara kebijakan yang berpihak pada kendaraan pribadi dan non kendaraan pribadi, isu pejalan kaki tidak populer,” katanya.
Namun Fani menambahkan bahwa usaha yang dilakukan Pemprov DKI saat ini perlu diapresiasi karena mereka banyak melakukan pembangunan yang berorientasi kepada pejalan kaki.
“Dengan membangun pelican crossing ketika JPO Bundaran Senayan dan GBK dibangun, berarti mereka sudah ada mindset ke arah sana (mengutamakan pejalan kaki). Mereka juga bikin penyeberangan sebidang di Tosari, Sarinah dan Hotel Indonesia. Ketika kebijakan itu dilempar ke masyarakat yang belum berorientasi kepada pejalan kaki, ada clash di situ,” tuturnya.
Dalam survei tersebut, responden juga mengungkapkan hal-hal yang harus dibenahi di JPO, salah satunya adalah potensi tindak kriminal karena kondisinya yang kurang terang.
“Banyak perempuan dan anak-anak yang berpendapat bahwa mereka lebih merasa aman dan nyaman ketika berjalan di tempat yang terdapat banyak orang. Mereka juga ingin agar ‘terlihat’ sehingga menyebutkan perlunya penambahan lampu dan pemasangan CCTV. Artinya, mereka juga ada khawatir ketika mengakses JPO. Namun, kekhawatiran terhadap tindak kriminal tak muncul ketika mengakses pelican crossing,” ujar Deliani.
Ia menambahkan, salah satu komponen fasilitas pejalan kaki adalah adanya active frontage, yakni visibilitas dinding bangunan yang bersisian dengan trotoar. Artinya ketika ketika seseorang berada di satu level jalan yang sama, maka dia akan bersisian dengan bangunan dan aktivitas, sehingga pengawasnya lebih banyak.
“Visibilitas JPO itu kurang karena tidak ada aktivitas pembangkit di sekitarnya. Sehingga ketika ada orang yang melihat tindak kejahatan dari bawah (jembatan) dan kejadiannya di atas, dia tidak punya kuasa untuk menolong. Kalau hal itu terjadi di level satu, dia bisa cepat menolong atau korban punya kesempatan untuk melarikan diri. Jadi, concern saya lebih ke arah tidak banyaknya aktivitas orang lain ketika kita mengakses JPO,” ujarnya.
Sementara itu, Iriantoni berpendapat bahwa hal terpenting adalah adanya fasilitas umum yang memenuhi standar keamanan bagi semua orang, terutama perempuan.
“Saya sepakat dengan ide mempertahankan JPO yang sudah ada, tetapi fokus pemeliharaannya adalah memastikan agar semua orang merasa aman ketika menggunakannya. Berbicara mengenai standar keamanan, parameternya terdapat di metode safety audit itu,” ujarnya.
“Misalnya, ada penerangan, petugas keamanan, dan mudah diakses secara desain. Menurut saya, kalau semua aspek itu sudah terpenuhi dan perempuan merasa aman ketika mengaksesnya kapapun itu, tidak ada salahnya kalau fokusnya adalah pemeliharaan,” tambahnya.
Iriantoni menambahkan, Pemprov sudah seharusnya memikirkan alternatif lain yang lebih aman untuk pejalan kaki.
“Menurut saya, apabila lebih banyak alternatif yang digunakan orang-orang untuk mobilitas, entah zebra cross atau pelican cross, maka hal itu lebih baik. Hal yang penting bagi kami adalah persoalan aksesibillitas, yakni bagaimana pemerintah memperhatikan agar orang-orang bisa bermobilitas di kota dengan aman,” ujarnya.
Comments