Women Lead Pendidikan Seks
March 11, 2020

Jerat Orang Tua Toksik dan Sulitnya Anak Menentukan Nasib Sendiri

KDRT dan budaya yang mengharuskan selalu menghormati orang tua membuat sebagian anak sulit sekali untuk dapat menentukan nasibnya sendiri.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Issues
Orang Tua Toksik_Toxic Parents_KarinaTungari
Share:

Pada awal Februari 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) mendapat intimidasi dari sekelompok orang yang mengaku dari Komunitas Islam Maluku. Mereka datang ke kantor LBH APIK di Jakarta Timur bersama oknum dari Kepolisian Sektor Matraman dan ayah salah seorang mitra dampingan LBH APIK, perempuan berusia 21 tahun yang berinisial DW.

Sebelum kejadian ini, DW datang ke lembaga tersebut untuk meminta advokasi untuk kasus kekerasan dari orang tuanya, setelah sempat seminggu kabur dari rumah. Menurut DW, salah satu alasan orang tuanya melakukan KDRT terhadapnya adalah karena DW berpacaran dengan laki-laki berbeda agama. Proses advokasi yang dimintakan DW ini berujung pada penggeledahan paksa kantor LBH APIK oleh oknum polisi, karena LBH Apik dituduh menyembunyikan DW dari orang tuanya.

Sikap keras yang diterima DW dari orang tuanya menunjukkan adanya pola asuh yang otoriter. Ketika orang tua merasa berkuasa penuh atas anak, mereka kerap mendikte dalam berkomunikasi dengan si anak, tidak memberi kesempatan anak untuk berdiskusi atau kompromi, dan mengharapkan kepatuhan absolut sebagai balasan dari arahannya kepada anak. Jarang sekali orang tua yang menerapkan pola asuh ini memberikan ruang serta kebebasan bagi anaknya untuk menentukan hidupnya. Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua otoriter akan selalu menghukum anaknya tersebut. 

Berbagai penelitian psikologi telah menemukan macam-macam dampak pola asuh otoriter terhadap anak. Beberapa di antaranya adalah anak sulit membuat keputusan sendiri, kurang menghargai diri, cenderung ingin melawan pihak lain yang punya kewenangan saat dewasa, meniru perilaku otoriter orang tuanya di kemudian hari, serta kesulitan mengelola kemarahannya.

Dalam sebuah studi yang dimuat di Journal of Prevention & Intervention in the Community (2016) disebutkan pula bahwa remaja yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter punya kemungkinan lebih besar mengalami gejala depresi dan pemikiran bunuh diri.

Hak-hak anak dan warga dewasa

Ketika anak di bawah usia 18 menghadapi orang tua yang melakukan KDRT, ia berhak mendapat perlindungan sesuai yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Tidak hanya perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6). Pelanggaran hak anak dapat menimbulkan konsekuensi legal berupa pencabutan kuasa asuh orang tua.

Jaminan kebebasan dari tindak KDRT juga tercantum dalam UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (P-KDRT). Lingkup rumah tangga yang disebutkan dalam UU ini adalah suami, istri, anak (tidak terbatas di bawah usia 18 saja), orang satu keluarga yang tinggal di rumah yang sama, serta orang yang bekerja mengurus rumah tangga dan menetap di rumah tersebut. Tindak kekerasan yang diatur dalam UU P-KDRT mencakup kekerasan fisik, seksual, psikis, serta penelantaran rumah tangga.

Baca juga: Tak Semua Orang Tua Mulia: Relasi Anak-Anak dengan Orang Tua Toksik

Kendati KDRT terjadi dalam kasus DW adalah dari orang tua kepada anak, kuasa hukum LBH APIK, RR. Sri Agustini mengatakan bahwa mitra LBH APIK ini tidak bisa memakai UU Perlindungan Anak dalam memproses kasusnya karena usia DW.

“Nanti kalaupun kita berbicara soal kekerasan orang tua kepada anak tidak di dalam kerangka UU Perlindungan Anak. Ini (kasus KDRT DW) konteksnya orang dewasa yang mengalami kekerasan dari orang tua,” ujarnya.

Sebagai orang dewasa, DW memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan sendiri. Ketika ada orang yang menghalangi pilihan atau keputusannya, itu justru bisa menjadi suatu pelanggaran hukum, kata Agustini.

“Misalnya, dalam hal berelasi dengan pasangan beda agama atau rencana seseorang ingin pindah agama. Pihak lain ketika memaksakan kehendaknya sehubungan dengan agama seseorang, itu malah menjadi tindak pidana,” katanya.

“Masalah keyakinan kan tidak ada seorang pun bisa campur tangan. Kalau kita melihat dalam konteks negara yang menjamin kebebasan berkeyakinan, DW ini kan usianya udah 21 tahun. Maka, secara hukum dia punya hak memiliki kebebasan mengambil keyakinan apa pun.”

Adanya perbedaan pendapat antara orang tua dan anak tak pelak memicu tindakan sewenang-wenang orang tua yang mempersulit anak di kemudian hari. Dalam kasus pelarangan relasi beda keyakinan yang dimiliki anak, ada orang tua yang menahan dokumen-dokumen sipil anak atau tidak mau meminjamkan Kartu Keluarga dan KTP orang tua untuk kebutuhan administrasi perkawinan. Menurut Agustini, penahanan dokumen anak juga merupakan tindak kriminal.

“Kalau ditahan pihak mana pun, termasuk keluarga, itu menjadi bagian dari tindak pidana. Itu bisa dikasuskan,” kata dia.

Kendati secara hukum DW sudah dinilai cukup dewasa dan mampu mandiri dalam mengambil keputusan, kenyataan berbicara lain. Agustini tidak menafikan fakta bahwa di Indonesia, ada tradisi kuat di mana orang tua cenderung merasa bertanggung jawab atas anaknya selama dia belum menikah.

Tak memilih melapor

DW merupakan satu dari segelintir anak yang berani melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dan meminta bantuan hukum. Di luar sana, banyak anak yang masih mengalami kekerasan dari orang tua tetapi urung keluar dari situasi beracun di rumah karena banyak alasan. Kurangnya akses serta informasi mengenai cara mengadvokasi diri menjadi alasan pertama.

Alasan biaya dan waktu terjadinya KDRT menjadi alasan lain. “Ulfa” mengaku sejak kecil mengalami kekerasan fisik dan psikis dari ibunya. Meskipun saat dewasa dirinya sudah melek soal KDRT dan mengetahui beragam cara mengadvokasi diri, ia tetap memilih tidak melapor karena sejumlah alasan.

“Memakai jalur hukum sempat gue pikirin. Tapi gue bingung juga kalau nanti tuduhan gue susah dibuktiin karena kejadiannya udah lama banget. Terus juga gue mikir soal biaya (mengurus lewat jalur hukum),” jelas perempuan 26 tahun ini.

Baca juga: Komnas Perempuan: Angka Kekerasan terhadap Anak Perempuan Naik Tajam

Senada dengan DW, Ulfa pun berkonflik hebat dengan ibunya sejak berpacaran dengan laki-laki beda agama pada 2018. Meski sang ibu melarangnya, namun Ulfa membangkang dan terus berpacaran sampai sekarang, dan ia bahkan pindah agama secara diam-diam sejak November 2019.

Ia sadar jika ibunya mengetahui hal tersebut, ibunya akan histeris dan melakukan ancaman-ancaman yang sempat dilontarkannya jika Ulfa sampai pindah agama dan menikahi pacarnya: Menceraikan ayah tiri Ulfa dan berdoa di makam kakek Ulfa supaya Ulfa mati.

“Pokoknya dia itu akan merusak orang-orang sekitarnya kalau nggak dapat yang dia mau, yaitu gue enggak pindah agama. Bagi dia, pindah agama itu aib,” kata Ulfa.    

Berbakti hanya kepada orang tua yang baik 

Alasan berikutnya dan biasanya yang paling kuat membelenggu anak adalah nilai agama dan budaya yang mengajarkan anak untuk selalu berbakti dan menghormati orang tua. Begitu mengakarnya nilai ini sampai berbagai undang-undang pun memasukkan kewajiban anak terhadap orang tua. Pasal 46 pasal 1 UU Perkawinan, misalnya, berbunyi, “Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik”. Sementara Pasal 19 poin a UU Perlindungan Anak menyebutkan, “Setiap anak berkewajiban untuk: a. menghormati orang tua, wali, dan guru”.

Nilai menghormati orang tua sendiri sama sekali bukan hal yang buruk, tetapi ini menjadi perkara ketika anak tidak menyadari batasan keras orang tua yang seperti apa yang wajar dan yang tidak. Akibatnya kekerasan yang dialami anak terus terakumulasi dan berdampak semakin buruk saat ia dewasa.

Terkait kepatuhan anak—terutama yang berusia di bawah 18—dan relasinya dengan nilai agama, cendekiawan muslim Siti Musdah Mulia berpendapat bahwa yang perlu diperhatikan lebih utama adalah apakah orang tua sudah menunaikan kewajibannya terlebih dahulu.

“Dalam Al-Quran, anak itu konsepnya sebagai amanah. Tentunya, yang punya kewajiban itu orang tua, bukan anak. Kalau berbicara soal anak itu berbicara haknya. Kata Rasul, berikan contoh terbaik kepada anakmu lewat perilaku, ucapan. Jadi, jangan berharap anak kamu punya perilaku yang baik kalau kamu tidak memberikan contoh,” jelas Musdah kepada Magdalene.

“Nggak ada tertulis kewajiban anak kepada orang tua, yang ada sebaliknya,” tambahnya.

Ketika anak mau menentukan nasib berbeda dengan kehendak orang tua, tidak semestinya orang tua memaksakan kemauannya, kata Musdah. Karenanya, ia menilai orang tua juga perlu mempunyai wawasan mengenai mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap anak dengan tetap mengingat tugas utama mereka yakni melindungi anak.

Jikapun ada kewajiban untuk berbakti kepada orang tua, itu dilakukan setelah anak berusia dewasa. Akan tetapi, ajaran ini perlu diterapkan dengan tetap memperhatikan situasi: Apakah orang tua bersikap baik atau tidak kepada anak.

“Bakti kepada orang tua itu sepanjang orang tua tidak melanggar ajaran agama. Jadi kalau orang tuanya jahat dan melanggar agama, apa harus tetap berbakti?” kata perempuan yang menulis buku Muslimah Reformis ini.

Illustrasi oleh Karina Tungari

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop