Sebagai content creator yang aktif membagikan video tips dan pengalaman dunia kerja lewat platform TikTok, Vina A. Muliana sering mendapatkan berbagai pertanyaan dari para fresh graduate dan pelamar mengenai lika-liku dunia kerja. Satu yang juga sering Vina dengar adalah wajar-tidaknya ketika seorang pelamar kerja mendapatkan pertanyaan yang bersifat pribadi, atau bahkan menyudutkan dan melanggengkan tuntutan sosial terhadap perempuan pekerja, pada saat sesi wawancara.
“Misalnya, ‘Gimana, ya, Kak, kalau pas tes wawancara kerja, aku ditanya alasan kenapa pakai kerudung? Kalau nanti diterima kerja, bersedia lepas kerudung enggak? Kalau disuruh pakai baju-baju tertentu, mau enggak? Banyak juga yang ditanyai, ‘Kenapa umur segini baru mulai kerja? Emang, enggak punya pasangan?’” ujar Vina dalam panel ‘Obrolan Kantor: Seberapa Aman Kantormu dari Kekerasan Seksual?’ yang diselenggarakan Magdalene bekerjasama dengan The Body Shop Indonesia, (28/7).
Menurut Vina, meski bukan secara langsung, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal ini berpotensi menjadi kekerasan seksual verbal yang terjadi di tempat kerja. Ia juga mengatakan, nampaknya, hampir semua perempuan pernah mengalami kekerasan di tempat kerja, cat calling, termasuk menerima komentar-komentar yang berbau seksual.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan
Cara perusahaan memperlakukan para karyawan maupun calon karyawan menunjukkan nilai dan budaya yang dianut perusahaan tersebut. Hal ini seharusnya dijadikan pertimbangan besar bagi para calon pekerja untuk menentukan di mana dia akan memulai ataupun melanjutkan perjalanan kariernya, ujar Vina.
“Wawancara itu kan dua arah. Bukan hanya perusahaan yang bertanya sama kamu, kamu juga bisa bertanya pada perusahaan. Kamu bisa nilai, apakah budaya kerjanya sesuai dengan kondisi dan kepribadianmu. Apakah mereka punya aturan yang melindungi hak-hak pekerja perempuan? Apakah perusahaan memberi kesempatan berkarier yang sama bagi perempuan dan laki-laki, juga orang-orang yang sudah berkeluarga?” katanya.
Menanggapi hal itu, Vina menyampaikan pentingnya bagi para perempuan calon pekerja untuk menyadari, mereka memiliki hak untuk menolak menjawab atau melakukan hal-hal yang tidak dikehendakinya, sekalipun itu dilakukan oleh pihak perusahaan.
“Kadang, para career starters belum tahu dunia kerja seperti apa, jadi merasa semua perlakuan itu sepatutnya mereka terima. Hal ini yang sebenarnya harus terus disosialisasikan. Kita harus sadar pentingnya set boundaries di dunia kerja.”
“Kamu bisa mengatakan, ‘Mohon maaf, saya kurang nyaman bila harus menjawab pertanyaan tersebut. Apa boleh kita lanjut ke pertanyaan selanjutnya?’” tambahnya.
Melengkapi pendapat Vina, CEO & Coach HR Academy, Srie Wulan membenarkan, kekerasan seksual di kantor bisa hadir kapan saja dan dalam berbagai bentuk. Mengidentifikasinya juga berpondasi pada hal yang sangat mendasar, yaitu rasa aman dan nyaman.
“Apapun bentuknya, jokes seksual, omongan, ketika perempuan (korban) sudah merasa tidak nyaman, itu sudah merupakan pelecehan karena harga diri dan martabatnya sudah diganggu. Ketika mengalami, speak up itu penting. Bisa secara langsung, bersama-sama karyawan lain, atau bahkan melalui petisi. Sepuluh orang saja menandatangani, seharusnya sudah bisa ditindaklanjuti,” kata Srie dalam panel yang sama.
Riset Never Okay Project, sebuah inisiatif yang bergerak dalam upaya penghapusan pelecehan seksual, bekerja sama dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan bahwa kekerasan seksual marak terjadi di dunia kerja. Sebanyak 62 persen pekerja menerima candaan/lelucon seksual, 34 persen dikirimi konten (foto, video, audio, teks, stiker) seksual tanpa persetujuan, 29 persen menerima komentar (hinaan atau kritik negatif) terhadap bentuk tubuh, dan 25 persen menerima rayuan seksual tanpa persetujuan.
Baca juga: Survei: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Pindah ke Dunia Maya di Tengah Pandemi
Hal itu merujuk pada riset bertajuk ‘#NewAbnormal Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work From Home (WFH)’ yang diselenggarakan pada 6-19 April 2020 dengan total 403 responden dari kalangan pekerja. Lebih dari setengah kasus kekerasan seksual yang terjadi disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa, di mana pelaku adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan jabatan lebih tinggi ketimbang korban.
Oleh karena itu, Srie mengatakan bahwa selain pribadi karyawan, perusahaan juga memiliki peran vital dalam mencegah kekerasan seksual di kantor. Hal yang dia rekomendasikan untuk perusahaan dalam menangani maupun mencegah tindak kekerasan seksual di kantor, ialah menciptakan standar operasional prosedur (SOP) komunikasi kekerasan seksual yang transparan.
Srie menjelaskan, “Perusahaan harus menciptakan sistem di mana korban bisa secara gamblang bicara dan menceritakan permasalahan (kekerasan seksual) yang ada. Harus juga diciptakan prosedur pelaporan dan tindak lanjut yang jelas ketika kekerasan seksual terjadi.”
“Jalurnya, bisa diawali dengan melapor ke supervisor, dilanjut ke human resources and development (HRD), lalu person in charge (PIC) yang khusus ditunjuk perusahaan untuk menanganinya. Ini membuat korban merasa nyaman dan aman.”
Jaga Kerahasiaan Korban
Associate Psikolog dari Yayasan Pulih Maria Puspita membenarkan bahwa aturan jelas mengenai kekerasan seksual di kantor akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi korban. Untuk mengoptimalkannya, menurut Maria, penting bagi perusahaan menjaga rapat rahasia korban. Misalnya, dengan membuka alur komunikasi pengaduan secara anonim, lalu tetap benar-benar menindaklanjuti kasus yang dilaporkan.
“Kebijakan kekerasan seksual harus berprinsip pada keselamatan penyintas. Berikan jaminan kerahasiaan supaya dia tetap bisa berfungsi dan bekerja dengan nyaman.”
“Sangat mungkin ada intimidasi dari pelaku atau pihak lain karena kekerasan seksual di kantor itu kekhasannya quid pro quo, atau melibatkan syarat hubungan kerja atau dasar pembuatan keputusan hubungan kerja. Misalnya, kalau dia mau berhubungan dengan atasannya, dia bisa naik jabatan, dan kalau tidak mau, sebaliknya atau dipecat.”
Baca juga: Perusahaan Wajib Lakukan Pencegahan Pelecehan Seksual dan Perlindungan Korban
Maria juga menekankan, setelah pengaduan ditindaklanjuti, perusahaan juga harus memberikan dukungan psikososial dan hukum berupa pendampingan selama melanjutkan proses hukum.
Menurut Head of Values, Comunity, and Public Relations The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya, edukasi juga mengambil peranan penting dalam pencegahan kekerasan seksual di kantor. Pada (8/7) lalu, The Body Shop meluncurkan kampanye ‘No! Go! Tell!’ yang mengajak orang-orang menghentikan segala bentuk kekerasan seksual. Menurut Ratu, langkah pertama yang diambil pihaknya dalam kampanye tersebut adalah memberikan edukasi secara internal kepada seluruh karyawannya.
“Satu bulan sebelum kampanye ini diluncurkan, kami mengadakan webinar edukasi pada karyawan-karyawan kami, juga survei untuk mengetahui seberapa banyak karyawan kami tahu mengenai kekerasan seksual. Jangan sampai kami mengajak publik, tapi karyawan sendiri tidak paham,” kata Ratu.
Hal itu juga dilatarbelakangi oleh temuan Ratu dan perusahaannya bahwa tak sedikit karyawan yang menjadi korban kekerasan seksual pada saat bekerja.
“Ketika ada periode promo besar-besaran, karyawan kami, para beauty advisor, menggunakan baju bertuliskan ‘SALE’. Ada saja yang datang dan menanyakan, ‘Kalau Mbak-nya di-sale juga, enggak?’ Ini tidak terlepas dari stigma terhadap beauty advisor, jadi banyak yang sekadar datang untuk mengajak kenalan atau meminta nomor handphone.”
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments